Suatu ketika, para istri Rasulullah (shalawat dan salam semoga tercurah) bertanya kepada beliau, siapa kelak yang paling duluan menyusul wafat. Mendengar pertanyaan ini, baginda Nabi menjawab bahwa yang paling duluan menyusul beliau adalah istri yang paling panjang tangannya. Mendengar jawaban ini, para ummul mukminin bergegas mengambil sebatang kayu. Dengan kayu ini, diukurlah tangan-tangan mulia istri Nabi. Diketahui bahwa yang paling panjang tangan adalah Sayidah Saudah. Kisah ini terdapat dalam hadis shahih riwayat Imam al-Bukhari (194-256 H) dan Imam Muslim (204-261 H).
Sebagaimana dikisahkan oleh Sayidah Aisyah, kebiasaan mengukur panjang tangan ini terus dilakukan setelah Kanjeng Nabi wafat, terlebih ketika para istri Nabi berkumpul. Hanya saja, selang beberapa tahun, ternyata bukan Sayidah Saudah (54 H) yang pertama kali wafat. Melainkan Sayidah Zainab (20 H). Istri Nabi yang bertangan pendek secara fisik. Tetapi sosok perempuan ini dikenal rajin tangannya. Biasa menyamak dan melubangi kulit serta gemar bersedekah di jalan Allah. Dari peristiwa ini, para istri Rasulullah baru sadar bahwa jawaban Nabi di atas tidak lain adalah majaz. Bukan panjang tangan secara fisik, melainkan panjang tangan suka berderma.
Kisah inilah yang menjadi pembuka dari buku karya Kiai Ali Mustafa Yaqub yang berjudul “al-Thuruq al-Shahihah fi Fahmi al-Sunnah al-Nabawiyyah” (2016). Karya yang sudah dialih bahasakan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Cara Benar Memahami Hadis” ini merupakan salah satu karya beliau yang penting untuk ditelaah lebih lanjut. Buku ini menjadi salah satu jejak kepakaran Imam Besar Masjid Istiqlal (2005-2016) itu dalam bidang hadis.
Secara sistematis, buku terbitan Pustaka Firdaus Jakarta setebal 268 halaman ini terbagi ke dalam tiga bagian. Pertama, pemahaman tekstual dan kontekstual hadis. Kedua, memahami hadis secara tematis. Ketiga, memahami kontradiksi hadis. Di bagian pertama, diulas secara teoritis dan aplikatif keberadaan majaz, takwil, dan illat dalam hadis. Tiga sub bab ini merupakan bagian yang menunjukkan pentingnya analisis teks atau kebahasaan dalam memahami hadis. Piranti analisisnya ialah konsep-konsep kunci dalam kajian balaghah dan ushul fiqih.
Sedangkan empat sub bab selanjutnya dijabarkan pentingnya menyingkap makna hadis dengan memperhatikan konteks. Dimulai dari sisi geografis, budaya Arab, kondisi sosial, hingga kronologi hadis. Sebagai misal, adalah kebiasan Nabi buang hajat di luar rumah. Meskipun kebiasaan ini terdapat dalam hadis-hadis shahih, namun tidak serta merta harus atau sunnah diikuti oleh umat Islam yang hidup di era sekarang. Tidak lain karena ada perbedaan kondisi sosial, dulu dan sekarang. Di era Kanjeng Nabi, masyarakat Arab tidak biasa membuat jamban di dalam rumah. Ketika buang hajat, mereka pergi ke luar rumah menuju padang pasir. Kondisi ini sudah berubah di era sekarang.
Dari titik inilah, terlihat betapa niscayanya memahami dan mengamalkan hadis dengan piranti keilmuan yang memadai. Baik ilmu untuk memahami teks ataupun konteks hadis.