Topik LGBT menjadi perbincangan hangat beberapa hari ini, setelah beredarnya podcast Deddy Corbuzier bersama Ragil Mahardika, yang disebut memiliki referensi seksual yang berbeda. Kondisi pun menjadi semakin gaduh ketika banyak otoritas agama berkomentar keras. Ketika saya menuliskan esai ini konten Youtube Deddy pun sudah di-take-down setelah berdiskusi dengan Gus Miftah.
Sebelumnya, komentar keras cum ujaran penghinaan dan tudingan sebagai penyebar gaya hidup LGBT tak pelak melekat langsung ke Om Deddy (panggilan akrab Deddy Corbuzier). Selain tudingan tersebut, perbincangan di dunia maya langsung mengerucut juga pada ancaman “Pelaku LGBT” di Indonesia.
Semakin ke sini, isu konten Youtube ini semakin liar. “Di zaman kemaksiatan dianggap wajar, dianggap open minded, dianggap toleran, dianggap modern, harus ada yang tetap berpijak pada prinsip yang benar dan baik. Support kebaikan, meski hanya menyebarkannya, atau dengan meninggalkan, nggak usah nonton konten-konten buruk, referensi-referensi negatif,” ujar Felix Siauw di akun media sosial miliknya.
Netizen pun semakin terbakar emosinya dengan beredarnya ajakan meng-unscribe podcast eks pesulap nomor wahid itu. Bahkan, kepada mereka yang dianggap bersimpati kepada Deddy pun langsung “diserang” sebagai pendukung perilaku penyimpangan seksual.
Iya, media sosial menjadi lahan terbuka untuk “menuding” dan “menyerang” pribadi sudah bukan hal asing lagi. Ketidaksetujuan kita terhadap isu-isu sensitif seperti ini langsung ditanggapi cukup emosional, bahkan terburu-buru.
Gerakan meng-unsubscribe kanal Youtube Deddy diklaim sebagai usaha boikot atas apa yang dilakukannya. Sayangnya, dalam kampanye tersebut imaji kita lebih berorientasi pada serangan kepada pribadi, ketimbang ide. Hal ini bisa dilihat dari tudingan dan komentar-komentar keras terhadap pribadinya.
Terlebih di era media sosial hari ini, serangan terhadap pribadi sudah biasa terjadi pada mereka yang memiliki perbedaan preferensi atau pandangan. Jejak digital kita dengan mudah sekali dipakai (baca: tanpa izin) untuk menuding, bahkan menista kita, dengan diberi embel-embel stigma dan cap.
Perbedaan pandangan di media sosial jauh sekali dari nilai-nilai Islam yang ideal. “Rahmat” yang disebut dalam ajaran Islam masih jauh dalam penerapannya, terlebih di media sosial. Apalagi, “Tabayyun” yang dianggap jarang sekali digunakan sebagai solusi dari berbagai perbedaan pendapat. Media sosial seakan menjadi surga bagi kebebasan berpendapat, juga dipakai untuk menyerang pribadi orang yang berbeda pendapat dengan kita.
Unsubscribe, Boikot, dan Gerakan Media Sosial
Dalam kegaduhan konten LGBT di podcast Deddy Corbuzier, ada hal yang menarik diperbincangkan, yakni ajakan Unsubscribe akun milik salah satu Youtuber paling laris ini. Tindakan tersebut dianggap sebagai mewakili emosi para netizen atas perkara kegaduhan ini. Laporan salah satu media daring menyebutkan Om Deddy kehilangan Subscriber hingga menyentuh angka 100.000 lebih. Saya tidak memiliki data berapa potensi kehilangan keuntungan yang dialami oleh Om Deddy akibat anjuran tersebut.
Tapi, apakah Unsubscribe tersebut adalah langkah yang tepat? Mungkin, lebih bijak kita ulik bersama seluk beluk gerakan media sosial. Sebab, unsubscribe adalah salah satu perkembangan dalam gerakan sosial pasca kehadiran media sosial.
Kita tidak bisa hanya berfokus melihat internet menyediakan wadah untuk gerakan protes kontemporer, di mana para aktivis menggunakan alat media sosial untuk menarik dan memobilisasi pendukung. Sebab, kajian Jennifer Hitchcock berjudul, “Social Media Rhetoric of the Transnational Palestinian-led Boycott, Divestment, and Sanctions Movement”, menyebutkan wacana media sosial gagal membangun hubungan emosional atau interaktivitas di lingkaran netizen, jika tanpa didukung narasi politik, sosial, dan retorikal.
Pelajaran yang perlu kita ambil dari gerakan Unsubscribe adalah unsur emosional tersebut dapat berpotensi, apa yang disebut oleh Manuel Castell, mempengaruhi proses pengambilan keputusan, menambah kekuatan argumen, mengarahkan perhatian, memotivasi tindakan, hingga mengubah “emosi menjadi tindakan”. Bahkan, Castell menggarisbawahi bahwa ketakutan dan antusiasme adalah dua emosi yang paling penting untuk gerakan politik.
Jadilah Netizen Yang Pemilih
Salah satu guru saya pernah bergurau, “Kita ini pengguna telpon pintar, namun kurang pintar untuk menggunakannya”. Candaan guru saya ini mungkin terdengar satir. Namun, kita sebagai netizen yang tergantung pada aktivitas di internet, termasuk media sosial, jelas dituntut lebih bertanggungjawab lagi terhadap segala kegiatan berselancar kita.
Sebab, dalam beberapa kasus emosional, macam kegaduhan konten LGBT di kanal Youtube Om Deddy Corbuzier, kita seringkali terseret dengan sangat mudah pada gerakan gegabah. Mengapa begitu?
Sebagai pengguna aktif media sosial, kita harus mulai gerakan Netizen yang pemilih. Karena, kita bisa menjadi pemilih yang aktif, merdeka, dan mandiri untuk menentukan apa yang mau kita konsumsi. Di saat bersamaan, kita juga harus bertanggungjawab atas semua produksi konten kita di media sosial. Jadi, menjaga diri untuk tetap dalam koridor kemanusiaan dan keadilan, agar kehadiran kita dapat menjadi manfaat sepenuh-penuhnya kepada sesama.
Gerakan unsubscribe bisa jadi terlihat bagus sebagai ungkapan emosional sesaat, namun agama kita tidak menganjurkan untuk mengedepankan emosi. Malah, kita harus lebih rasional dan cerdas guna menimbang setiap langkah di media sosial.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin