Konsep “Sekolah Islam Terpadu” pertama kali diluncurkan pada tahun 1993, sependek ingatan yang saya punya. Konsep itu muncul sebagai alternatif dari minimnya penyampaian materi pembelajaran agama Islam di sekolah umum dan beratnya penyampaian materi agama Islam di sekolah keagamaan (madrasah diniyyah). Secara sederhana, konsep “Sekolah Islam Terpadu” hampir mirip dengan Madrasah Ibtidaiyah untuk SDIT, Madrasah Tsanawiyah untuk SMPIT, dan Madrasah Aliyah untuk SMAIT.
Secara kebetulan, konsep “Sekolah Islam Terpadu” itu untuk pertama dijalankan oleh para aktivis gerakan tarbiyyah. Dan tentu saja, ada motif-motif selain pendidikan dari penerapan konsep “Sekolah Islam Terpadu” tersebut.
Namun, terlepas dari adanya motif-motif non kependidikan itu, fenomena “Sekolah Islam Terpadu” muncul sebagai kritik terhadap sistem pendidikan nasional yang pada saat itu mengacu kepada UU nomor 2 Tahun 1989. Para penggagas konsep “Sekolah Islam Terpadu”, menganggap bahwa sistem pendidikan nasional yang dikandung di dalam UU No.2 Tahun 1989, tidak memberi pondasi yang kuat bagi bangsa Indonesia, khususnya umat Islam, di dalam menyongsong era kompetisi pada abad ke-21.
Konsep “Sekolah Islam Terpadu” oleh para penggagasnya diupayakan untuk berada di antara kebijakan Depdikbud dan Depag. Meskipun tidak pernah diartikulasikan, konsep “Sekolah Islam Terpadu” menyiratkan adanya kekecewaan terhadap kebijakan pendidikan yang diterapkan oleh Pemerintah (Depdikbud dan Depag).
Mereka memandang bahwa kebijakan pendidikan yang diterapkan pemerintah tidak mampu bersikap adaptif terhadap tantangan perkembangan zaman tapi juga mengandung banyak persoalan serius. Suryama Majanasastra, salah seorang penggagas ide “Sekolah Islam Terpadu” pernah menunjuk konsep Link and Match, yang digulirkan oleh pemerintah melalui Mendikbud, sebagai contoh bermasalahnya kebijakan pemerintah itu.
Sementara itu, di sisi lain, menurut para penggagas “Sekolah Islam Terpadu”, ormas-ormas Islam seperti kehilangan sensibilitas terhadap permasalahan dunia pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan masa depan pendidikan umat. Ormas-ormas Islam, dianggap sudah terlalu sibuk dengan urusan mempertahankan eksistensinya di hadapan Rezim berkuasa (pada masa Orde Baru), di samping ada beberapa yang disibukkan oleh problematika internal mereka sendiri.