“We must all fight together for a free Palestine!” seru Rabbi Yisroel Dovid Weiss.
Bagi Rabbi Yisroel, apa yang dilakukan oleh pemerintah Israel tidak mencerminkan nilai-nilai sesungguhnya dari ajaran Yahudi. Kebijakan Israel yang mengklaim sepihak kawasan Palestina dengan dalih ayat-ayat Taurat sesungguhnya hanyalah tameng dari cara mereka untuk menjajah Palestina. Yang lebih menyedihkan, mereka mengatasnamakan ajaran suci Yahudi untuk semua tindakan bengis terhadap orang-orang sipil: dari mencuri, menganiaya, hingga melakukan pembunuhan masal secara membabi buta.
Padahal, esensi dasar Yahudi adalah cinta kasih. Sebelum gerakan zionisme mengglobal, kaum Yahudi dan Muslim di Palestina hidup dengan damai. Tak hanya relasi Yahudi-Muslim saja yang harmonis, tetapi juga dengan kelompok umat beragama lain, seperti umat Kristen yang turut hidup berdampingan. Lalu, bagaimana sejarahnya sampai terjadi konflik berkepanjangan ini?
Kebencian terhadap Yahudi di Eropa dan Dampaknya pada Palestina
Dilansir dari catatan jurnalis Al Jazeera, awal mulanya adalah catatan sepihak yang berusia lebih dari 100 tahun yang lalu. Pada tanggal 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, Arthur Balfour, menulis surat yang ditujukan kepada Lionel Walter Rothschild, seorang tokoh utama dalam komunitas Yahudi Inggris.
Surat tersebut singkat saja, hanya 67 kata, namun isinya memiliki dampak besar terhadap Palestina yang masih terasa hingga hari ini. Surat itu mengamanatkan pemerintah Inggris untuk “mendirikan rumah nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina” dan selanjutnya dapat memfasilitasi pencapaian tujuan ini. Surat pendek tersebut selanjutnya dikenal sebagai Deklarasi Balfour.
Pada intinya, Eropa yang kurang cocok dengan Kaum Yahudi berjanji kepada gerakan Zionis (sebuah gerakan politik, nasionalis, dan keagamaan yang muncul pada akhir abad ke-19 dengan tujuan utama mendukung pendirian negara Yahudi) untuk membantu mereka memiliki negara sendiri.
Gerakan Zionis lahir sebagai respons terhadap penganiayaan dan diskriminasi yang dialami oleh Yahudi di berbagai negara Eropa pada abad ke-19. Para pemimpin gerakan Zionis, seperti Theodor Herzl, berusaha untuk mengumpulkan dukungan internasional dan mengorganisasi pemukiman Yahudi di Palestina.
Imigrasi Yahudi dan Ekskalasi Konflik di Palestina
Mandat Inggris tersebut diimplementasikan dari tahun 1923 dan berlangsung hingga tahun 1948. Selama periode tersebut, Inggris memfasilitasi imigrasi Yahudi massal, terutama bagi penduduk yang melarikan diri dari Nazisme di Eropa. Inisiatif Inggris tadi nyatanya tidak meminta persetujuan dari otoritas Palestina.
Dengan kebijakan sepihak itu, warga Palestina lantas amat terkejut oleh perubahan demografi negara mereka dan konfiskasi tanah mereka oleh Inggris yang secara sewenang-wenang diserahkan kepada para pemukim Yahudi.
Imigrasi Yahudi secara masal tanpa perundingan terlebih dahulu dari tuan rumah tentu membuat tensi sosial antara warga meningkat. Dampaknya, ketegangan antar warga pun memuncak yang menyebabkan pemberontakan Arab, yang berlangsung dari tahun 1936 hingga 1939.
Sebagai bentuk respon, pada bulan April 1936, Komite Nasional Arab yang baru dibentuk mengajak warga Palestina untuk melancarkan mogok umum, menahan pembayaran pajak, dan melakukan boikot produk Yahudi sebagai protes terhadap kolonialisme Inggris dan imigrasi Yahudi yang semakin meningkat.
Mogok selama enam bulan tersebut ditekan dengan keras oleh Inggris, yang meluncurkan kampanye penangkapan massal dan melaksanakan penghancuran rumah sebagai hukuman, sebuah praktik yang masih dilakukan oleh Israel terhadap warga Palestina hingga hari ini.
Meski terus mengalami tekanan, pemberontakan terus digencarkan. Fase kedua pemberontakan dimulai pada akhir tahun 1937 dan dipimpin oleh gerakan perlawanan petani Palestina, yang menargetkan pasukan Inggris dan kolonialisme. Tak terima atas perlawanan warga lokal, pada paruh kedua tahun 1939, Inggris membalasnya dengan serangan brutal. Desa-desa dibom dari udara, jam malam diberlakukan, rumah-rumah dihancurkan, dan penahanan administratif serta pembunuhan menjadi hal yang umum pada waktu itu.
Untuk menekan terjadinya pemberontakan berikutnya, Inggris lalu bekerja sama dengan komunitas pemukim Yahudi dan membentuk kelompok bersenjata agar dapat mengancam warga lokal yang mencoba melawan. Di dalam Yishuv, komunitas pemukim pra-negara tersebut, banyak senjata diselundupkan secara rahasia dan pabrik senjata didirikan untuk memperluas Haganah, paramiliter Yahudi yang kemudian menjadi inti dari tentara Israel pada masa selanjutnya.
Menilik sejarah singkat tadi, terlihat jelas bahwa konflik Israel-Palestina sesungguhnya bukanlah konflik agama. Namun, akarnya adalah kolonialisme dan kebencian terhadap kelompok minoritas. Jadi, jangan sampai terkecoh dengan propaganda kekerasan atas nama agama, karena sekali lagi, agama hanyalah tameng semata.