Perdebatan tentang falsafah dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memang tidak pernah surut sepanjang zaman. Persoalan ideologi negara menjadi bagian penting dalam proses—yang terus menerus—untuk menjadi Indonesia. Inilah tahapan dimana sengketa dan kompromi politik mencipta dinamika dalam sejarah negeri ini: sebagai nation-state. Kisah-kisah perdebatan pada awal masa kemerdekaan, ketika para petinggi bangsa merumuskan dasar negara, sejatinya sampai saat ini masih terus berdengung.
Kampanye dan diskusi yang terkait dengan dasar negara masih mempertontonkan perdebatan—yang kadang kala disertai ketegangan—antara Islam dan Pancasila. Panggung politik masih menyediakan ruang kosong bagi perdebatan untuk merumuskan jawaban atas ideologi negara. Bahkan, pada masa kontestasi menjelang Pemilu 2014 dan 2019 ini sebagai penanda pesta demokrasi termutakhir, perdebatan tentang ideologi dasar negara, masih terus diucapkan dan hingga kini terus menerus diperbincangkan. Tentu, jika diteruskan perdebatan tentang falsafah negara tidak akan pernah surut. Peristiwa debat ide antara Soekarno dan Natsir, masih berkelebat dalam catatan sejarah Indonesia. Pandangan Natsir tentang Islam Indonesia, yang menggunakan kerangka mayoritas, bertemu dengan perspektif Soekarno yang menjawab Islam sebagai ide dan praktik dalam bernegara.
Di panggung yang berbeda, perdebatan Soekarno dengan Haji Agoes Salim terus berdenyut. Ide-ide tentang perdebatan ini, masih berjejak dalam saripati gagasan antara pendukung Soekarno dan pengikut Agoes Salim. Bagi Agoes Salim, nasionalisme Islam menjadi pilihan penting untuk meredam aksi-aksi sektarianisme dan chauvisime. Tentu, pilihan ini juga berjejak pada pemikiran yang mendalam, hasil refleksi dan diskusi dengan pelbagai peradaban dunia. Sedangkan, Soekarno mengajukan argumentasi tentang kemungkinan negara yang menganut paham nasionalisme sekuler. Ide Soekarno berdialog dengan peradaban dunia, yang diambil saripatinya dalam merumuskan Pancasila.
Kontekstualisasi Dasar Negara
Jika merunut pada catatan sejarah, terutama sidang Konstituante dalam merumuskan dasar negara, tentu mengerucut pada perdebatan tentang Islam dan Pancasila. Di tengah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), pada 29 Mei-1 Juni 1945, Natsir dan Kasman Singodimedjo bersikukuh untuk mengaktualisasikan Islam sebagai falsafah negara.
Singodimedjo beranggapan bahwa Islam menjadi bagian penting dari tradisi berbangsa dan bernegara warga Indoensia. “Dengan alasan-alasan universal maka kita sampai pada pengakuan adanya kedaulatan hukum Tuhan. Dan karena hukum Tuhan itu agama, maka pengakuan itu berarti pengakuan kepada kedaulatan agama, maka pengakuan itu berarti pengakuan kepada kedaulatan agama. Dengan alasan-alasan dialektis-indonesianis maka kita sampai pada pengakuan bahwa agama di Indonesia yang kuantitatif dan kualitatif berpengaruh di Indonesia adalah Islam, karena Islam adalah faktor nasional Indonesia yang terpokok dan yang menguasai psyche Indonesia,” ungkap Singodimedjo (2008: hal. 88).
Perdebatan ini ditandai dengan peristiwa Piagam Jakarta, tentang tujuh kata yang menjadi representasi kepentingan kelompok yang mengusung Islam sebagai dasar negara secara formal. Akan tetapi, kubu nasionalis tetap beranggapan bahwa Islam sebagai dasar etik, yang tidak usah termaktub secara formal, akan tetapi menjadi bagian dari semangat keindonesiaan. Islam sebagai dasar moral, bukan secara kaku menjadi dasar hukum formal. Perdebatan ini terus meruncing, bahkan bersisa hingga saat ini.
Lalu, bagaimana merespon falsafah negara, di tengah koyaknya nilai-nilai Pancasila, terutama oleh kontestasi ideologi di negeri ini? Setidaknya, perlu menyegarkan diskusi tentang penyegaran nilai Islam dan Pancasila.
Selain perdebatan personal, falsafah dasar negara juga menyeret pengurus Sarekat Islam (SI) untuk melangsungkan diskusi pemikiran. SI Pusat berkontestasi dalam ranah ide dengan SI Semarang. SI Pusat mengharap hadirnya Negara Islam Indonesia yang kuat dengan barisan pengusaha Pribumi yang kokoh. Sedangkan, SI Semarang berkeinginan tidak adanya kelas dalam horizon pengusaha di Indonesia. Pengusaha pribumi yang kuat memancing lahirnya kelas-kelas kapitalis baru. Sedangkan, dalam pandangan SI Semarang, kelas kapitalis itu sama saja dengan membunuh iklim usaha di Indonesia, yang tidak sesuai dengan prinsip kebersamaan. Demikian pula, kapitalisme dalam pandangan SI Semarang merupakan prinsip yang tidak baik.
Ringkasnya, perdebatan tentang relasi Islam dan Pancasila tidak pernah surut, karena terkait dengan kepentingan nasional tentang visi dan idelogi bangsa. Nilai strategis ini terus dirumuskan dalam rangka proses menjadi Indonesia, yang sampai saat ini masih berlangsung.
Harmonisasi Islam-Pancasila
Di tengah kontestasi ideologi negara, meletakkan kembali Pancasila sebagai referensi ide menjadi bagian penting dari usaha mempertahankan NKRI. Semangat “NKRI harga mati” yang didengungkan oleh para Kiai dalam jajaran Nahdlatul Ulama, tidak lantas memperbandingkan dengan Islam. Justru, Pancasila dapat bersanding harmonis dengan nilai-nilai Islam, dengan perspektif yang lebih jernih dalam berbangsa dan bernegara.
Bagi Indonesia, negeri dengan keragaman budaya dan agama, tentu menjadikan Pancasila sebagai referensi ideologi politik menjadi pilihan penting. Strategi berbangsa dan bernegara, dengan tetap meletakkan prinsip saling menghormarti dan mengasihi merupakan akar sejarah dari lahirnya Pancasila. Momentum Hari Kesaktian Pancasila—dengan silang sejarah yang terus dimaknai dalam riset dan publikasi—perlu menghadirkan semangat untuk menjadikan Pancasila sebagai referensi tunggal kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemudian, nilai-nilai agama menjadi asas bagi komunikasi antar personal dan komunal. Pada titik ini, usaha-usaha untuk merobohkan nilai-nilai keragaman budaya dan tradisi yang tercermin pada prinsip pancasila, tidak dibenarkan hadir di bumi pertiwi.
Sudah saatnya, kita menyegarkan kembali pandangan atas ideologi berbangsa, dengan meletakkan secara harmonis Pancasila sebagai prinsip berbangsa dan Nilai agama sebagai bagian dari komunikasi budaya [].