Ustadz Abdul Somad tiba-tiba menjadi buah bibir setelah ia menyatakan diri mendukung salah satu capres. Memang, banyak yang menunggu keputusan UAS bahkan ada yang ingin ia tidak memihak alias netral dalam pilpres. Namun akhirnya UAS memilih dengan didahului proses yang menarik. Dan, pilpres juga sudah berlangsung. Tinggal menunggu waktu saja siapa pemenang, tapi menarik jika kita melihat kembali keputusan politik beliau ini.
UAS dalam kesaksiannya menceritakan bahwa ia telah menjumpai ulama yang tidak terkenal namun bertaqwa. UAS mengatakan ulama itu makan dari padi yang ditanam sendiri, minum dari sumur yang digali sendiri. Siapa sosok tersebut? Barangkali kita tidak akan pernah mengetahuinya. Terpenting ialah bagaimana UAS kemudian yakin pilihannya yang terbaik.
Menurut saya, UAS telah melakukan ijtihad politik. Merujuk makna sederhana kata “ijtihad” yang berasal dari bahasa Arab, yaitu “Ijtihada Yajtahidu Ijtihadan”. UAS telah melakukan usaha sungguh-sungguh dalam memutuskan sebuah perkara, dalam hal ini pemimpin yang pantas memimpin Indonesia.
Hal lain yang patut menjadi teladan bagi kita selain ijtihad politik UAS ialah sikap beliau yang tidak ingin diberi jabatan dan menghindari kekuasaan. Sikap itu menunjukkan bahwa UAS merupakan ulama yang dapat dijadikan teladan. Jarang kita temui ditengah perlombaan manusia meraih kekuasaan, bahkan menghinggapi pimpinan ormas Islam.
Ijtihad politik yang dilakukan UAS juga mengajarkan kepada kita bahwa sikap fanatisme dalam politik itu tak baik, bisa menggagalkan akal sehat, merusak iman dan menjauhkan kita dari kebaikan. UAS tidak langsung percaya ketika orang maupun media menyampaikan informasi soal capres. Ia melakukan perjalanan spiritual dengan menjumpai ulama wara’ dan zuhud.
Ijtihad politik yang dilakukan bisa dan halal kita terapkan dalam memutuskan pilihan pemimpin. Hal ini terkait dengan maraknya hoaks yang beredar. Kita bisa menjumpai guru ngaji dan kyai yang kita percayai kejujuran dan keikhlasannya. Dengan demikian, pilihan kita bukanlah pilihan yang didasari berita bohong dan pencitraan akan tetapi melalui proses perenungan dan pengkajian.
Apa yang dilakukan UAS sekaligus mengajarkan bahwa dunia termasuk politik dapat berdimensi akhirat. Hal itu sesuai dengan pesan indah Ali ibn Abi Thalib.
“Sesungguhnya dunia ini adalah rumah kebenaran bagi orang-orang yang menelitinya secara cermat dan mendalam, suatu tempat tinggal yang penuh kedamaian dan kerehatan bagi orang-orang yang memahaminya, dan yang terbaik sebagai lahan bagi orang-orang yang ingin mengumpulkan bekal bagi kehidupan akhirat. Inilah tempat untuk mencari ilmu dan hikmah bagi orang-orang yang ingin meraihnya, tempat beribadah bagi sahabat-sahabat Allah dan bagi para malaikat. Inilah tempat yang di dalamnya para nabi menerima wahyu dari Sang Rabb. Inilah pula tempat bagi para wali Allah untuk menyelenggarakan amal-amal baik dan untuk meraih imbalan yang setimpal; hanya di dunia ini mereka bisa berdagang untuk memperoleh rahmat Allah, dan hanya ketika hidup di sini mereka bisa menukar amal-amal baik mereka dengan surga. Nah, setelah ini semua, masihkah ada yang akan bicara tentang keburukan dunia ini?”
Pesan Ali ibn Abi Thalib diatas menguraikan banyak hal. Pandangan negatif tentang politik sebenarnya karena politik tidak dijalankan sesuai tujuannya. Dalam kehidupan tatanan sosial perkara pemimpin merupakan hal yang fundamental. Islam mengajarkan betapa penting memilih pemimpin karena pemimpin akan terkait dengan urusan umat. Wajar bila MUI merekomendasikan agar umat Islam tidak golput.
“Kepemimpinan adalah pengganti tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia dengannya,” kata Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkamus Sulthaniyah, 1/3.
Karenanya kita patut bersyukur dengan sikap UAS yang menentukan pilihan capres bukan berdasarkan hawa nafsu kekuasaan. Keinginannya agar tak diundang ke istana dan menolak jabatan politik adalah bukti wara’ dan zuhudnya seorang UAS. Bila UAS begitu berhati-hati dalam menentukan pilihan, melalui proses yang panjang, tidak mudah termakan hoaks, maka kita sejatinya juga harus demikian. Karena pilihan kita harus berdimensi dunia–akhirat.
Jadi, bagaimana menurut Anda?