Jika ingin jujur dan blak-blakan, dengan apa kita mengonsep jati diri kita selama ini? Sebagai warga Negara atau Muslim, atau dengan legawa menyebut Muslim yang berNegara, atau seperti konsep Gus Dur, bahwa kita adalah warga Negara Indonesia yang kebetulan Muslim?
Satu hal pasti, antara konsep agama dan konsep Negara, baik yang dipisah, digabung atau ditabrakkan sepotong-sepotong, saya pribadi merasa lebih cenderung aman berada di bawah lindungan agama, dibanding Negara. Negara yang saya sebut di sini, tentunya adalah Negara yang suka narik pajak tapi alpa pada tugas-tugasnya memberikan fasilitas publik yang layak dan tebang pilih dalam merayakan hukum. Koruptor yang bebas berkeliaran dengan wajah sumringah, juga kartel kriminal yang hanya mencekik kaum kelas bawah. Sedang dengan bermodal iman yang sedapat-dapat, meneguhkannya secara rasional maupun agak-agak, agama merupakan mata air kebenaran. Ia menjanjikan yang hakiki, melampaui dunia, sebuah tujuan yang tak berbatas.
Pengajian malam Jumat di kampung-kampung membuktikan itu. Kebetulan, di kampung saya, pengajian tersebut biasanya diadakan oleh Muslimat NU Ranting. Juga, pengajian bapak-bapak yang diadakan oleh takmir Masjid. Pengajian yang memanfaatkan momentum juga ada, contohnya seperti peringatan Maulid Nabi. Terutama pada pengajian rutinan itu, berdengung-dengung ceramah tentang sabar, syukur dan ikhlas.
Pak Kiai juga Bu Nyai, juga sering memberi wejangan agar jamaah sering-sering mendoakan para pemimpin agar diberi kemudahan dalam mengatur Negara. Betapa mengharukannya nasihat semacam itu jika sasarannya adalah warga kampung yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang parkir, tukang becak, kuli bangunan, tukang cuci-setrika, pedagang es kaki lima, dan lain-lain.
Jadi, ulama yang sebenarnya itu kerjaannya tidak hanya berdoa saja seperti yang dicitrakan oleh televisi dan media ibu kota. Jikalau para politikus baik yang selalu menang di tiap kontestasi pesta demokrasi, maupun para pemain baru yang masih berspekulasi itu berkunjung dengan sadar ke pesantren untuk menemui para ulama, hal itu bukannya tanpa pertimbangan strategi politik yang matang. Mereka sudah sadar betul bahwa kantong-kantong masyarakat kelas menengah, kelas bawah, hingga kelas kerak-kerak bawah, menggantungkan politik identitas serta pilihan-pilihan politiknya kepada ulama yang pada praksisnya juga mendampingi masyarakat.
Ngaku Murid
Tiba-tiba, pada zaman serba latah ini, anak-anak muda yang entah darimana asalnya berebut bangga mengaku-ngaku murid dari ulama tertentu. Ada juga yang sampai bertengkar sebab lebih ingin dianggap sebagai murid range satu atau santri khos. Di akun media sosialnya, mereka membawa-bawa nama Gus Dur dan Gus Mus, juga Cak Nun. Kenapa hanya tiga ulama kharismatik itu?
Tentu, selain karena beliau-beliau memang aktif mendengar dan mendampingi perjuangan wong cilik, juga karena kutipan-kutipannya yang tersebar di facebook, twitter dan instagram mudah kita jumpai. Menyebarkan kutipan Gus Dur, Gus Mus dan Cak Nun melegitimasi anak-anak muda atas sifat-sifat humanis dan keluhuran budi. Foto dan sabda Sang Guru dijadikan alat untuk memenangkan lomba debat polarisasi tafsir-tafsir atas agama dan realitas sosial.
Murid-murid “gumunan” yang baru menjadi jamaah pecinta ulama-ulama hafizahullah ini rasa-rasanya kok tidak beda level dengan kader-kader HMI, PMII dan IMM anyaran. Ibarat baru lolos Basic Training tingkat 1, sang kuda liar tanpa pacu kemudian berlari menantang semua lawan yang lewat di hadapannya.
Kondisi ini setali tiga uang dengan para aktivis dakwah kampus lulusan pesantren masjid kampus. Gelar aktivis yang secara sadar maupun tidak sadar didepan kata dakwah ini, sepertinya memang memiliki relasi logis dengan sikap sebagian besar mereka yang cenderung menggebu-gebu ketika menyampaikan sesuatu yang mereka anggap sebagai kebenaran. Puncaknya, beredar meme-meme ofensif cum pretensius seperti konten ungkapan yang menyetarakan muslimah-muslimah yang belum memakai jilbab dengan buah busuk atau kue yang dikerubungi lalat, atau konten-konten yang bersifat mencekam hingga citra Islam nampak kaku dan gelap.
Apa bedanya dengan gelar pegiat Maiyah? Aktivis Gusdurian? Jamaah forum pecinta ulama A, B, C?
Mas yai Ahmad Tsauri (murid Maulana Habib Luthfi Bin Yahya) titip pesan, dalam Jami ushul fil Aulia, etika terhadap ulama itu adalah datang, dengan kerendahan hati, tinggalkan pangkat, jabatan, ilmu, tahta apalagi harta. Di hadapan guru, tidak ada masalah lebih besar selain adab. Ketika kita mengindahkan adab terhadap guru, maka Allah akan mengecilkan urusan lainnya, sebaliknya ketika menganggap masalah lebih besar dari melebihi keharusan beradab terhadap guru, maka Allah akan memperbesar masalah kita.
Bolehlah mendaku para Hafizahullah itu sebagai guru kita, cukup dibatin saja, tapi apa kita masih cukup tahu malu untuk mengaku sebagai murid? Lha wong ngaji “betulan” saja tidak sungguh-sungguh pernah kok.
Melanjutkan Tugas
Banyaknya Syaikhul Islam yang dipanggil oleh Allah SWT, membuat kita ingat akan tercerabutnya ilmu-ilmu Allah dari bumiNya. Dalam proyeksi pandang yang lebih sempit, berkelebat bayangan tubuh ceking Munir Said Thalib, seorang Muslim yang memaknai Islam sebagai teologi pembebas kaum marjinal, mati dibunuh pada perjalanannya sebagai whistleblower yang akan menyampaikan kebenaran data-data orang yang dihilangkan oleh Orde Baru. Keteduhan suara Gus Dur dalam melagukan syiir tanpo waton berbisik-bisik di telinga bersama kegembiraan mengingat gerak Mbak Alissa Wahid dan kawan-kawan yang semakin terpola.
Di belahan dunia yang mengklaim Negara para warasat al anbiya, Timur Tengah, deru bising senjata terus merisak kekokohan makna As Salam dan As Silmu. Keriuhan yang menyedihkan wajah cinta dan kemanusiaan itu dialirkan frekuensinya melalui gaung-gaung laman-laman serta berbagai media seperti televisi dan radio yang mempromosikan darah dan kesakitan. Mereka sebut itu jihad, mereka teriakkan kalimat-kalimat ALLAH pada seminar-seminar yang menyeru penghilangan nyawa manusia yang berbeda cara pandang, mereka titipkan semboyan “we are the enemies of non-believers” pada cap-cap sablon pakaian anak-anak balita mereka yang cepat atau lambat akan mewarisi ideologi pembenci perbedaan.
Akan mampukah kita sebagai anak-anak muda kelak mengejar kapasitas Nurcholish Madjid, Imadudin Abdulrahim, Endang Saifuddin Anshari, Ahmad Sobary atau Kuntowijoyo dalam keilmuan? Masih adakah kehendak kita untuk mengejar akhlak Buya HAMKA, Haji Agus Salim dan Pak Natsir dalam berpolitik? Seberapa kuat langkah kita kelak untuk berjalan bersama mereka yang kalah seperti para Kiai Mbeling? Atau seberapa ikhlas kita mampu meninggalkan panggung kontestasi politik dan ekonomi hanya untuk kembali mengajar alif, ba, ta tanpa dibayar seperti kiai-kiai kita di pesantren?
Berguru, sekaligus memiliki arti siap untuk melanjutkan tugas kemanusiaan. Seperti tak cukup waktu kita hanya untuk bersahut pembenaran. Al wajabat aktsaru minal awqaat, kewajiban yang ada lebih banyak dari waktu yang tersedia.