Aksi kekerasan, intoleransi, bahkan bom bunuh diri belum hilang sepenuhnya di Indonesia. Beberapa tahun terakhir, kita masih menyaksikan serangkaian peristiwa yang merenggut nyawa banyak orang. Sialnya, sebagian aksi kekerasan itu dilakukan atas nama agama. Ia digunakan oleh kelompok pengusung teologi maut untuk melakukan aksis kekerasan, seperti bom bunuh diri di gereja, penyerangan markas polisi, dan seterusnya.
Memang tidak ada satu pun ajaran agama yang melegalkan kekerasan, bahkan agama mengaramkan praktik kekerasan atas nama apapun. Tapi nyatanya agama dijadikan tameng oleh orang yang tidak mengerti ajaran agama, supaya kekerasan yang mereka lakukan terlihat mulia dan suci.
Almarhum Buya Ahmad Syafii Maarif sejak dulu sudah mengingatkan agama bisa menjadi bencana bagi kemanusiaan. Dalam pengantar buku Ilusi Negara Islam, Buya mengatakan, “Bencana bisa saja terjadi bila pemeluk agama kehilangan daya nalar, kemudian menghakimi semua orang yang tidak sefaham dengan aliran pemikiran mereka yang monolitik. Contoh dalam berbagai unit peradaban umat manusia tentang sikap memonopoli kebenaran ini tidak sulit untuk dicari. Darah pun sudah banyak tertumpah akibat penghakiman segolongan orang terhadap pihak lain karena perbedaan penfasiran agama dan ideologi.”
Ketidakbiasaan menerima pandangan yang berbeda merupakan masalah klasik yang belum tuntas sampai sekarang. Masih banyak pemeluk agama, khususnya dalam kasus Islam, tidak mengerti sepenuhnya indahnya perbedaan, dan tidak mau menerima pandangan yang berbeda. Parahnya, ketidakmengertian itu diwujudkan melalui aksi kekerasan.
Doktrin kebenaran tunggal dan menutup kebenaran yang lain ini pada gilirannya sangat mudah dimanfaatkan afiliator teologi maut untuk mengajak orang lain melakukan kejahatan dan kekerasan. Penganut teologi maut ini harus dilawan dan narasi mereka mesti dilawan dengan narasi yang moderat. Buya Syafii Maarif mealamatkan teologi maut bagi siapa saja yang berani mati dengan tidak berani hidup.
Dalam sebuah pidatonya, Buya mengingatkan agar kelompok moderat tidak diam menghadapi narasi pengusung teologi maut. Beliau mengatakan, “Yang penting sekarang adalah orang-orang normal, orang-orang yang siuman seperti kita ini jangan diam. Sebab kalau diam, yang akan merajalela mereka. Menghadapi segala macam kekerasan, ketidakberesan, persekusi, jangan diam. Itu sangat berbahaya bagi Indonesia, untuk demokrasi kita, dan generasi yang akan datang. Apalagi medsos yang tak terkendali. Ini tantangan terberat, tapi itulah hidup. Hidup tanpa tantangan bukan hidup. Kalau takut dengan tantangan, gak usah datang ke bumi.”
Pengusung teologi maut ini, selain memanfaatkan doktrin agama, biasanya mereka juga memanfaatkan situasi politik. Kekacauan politik mendorong mereka untuk merebut kekuassaan dengan cara singkat. Mereka tidak mau bertarung secara demokratis, tetapi memanfaatkan cara kekerasan untuk bikin kacau, dan merebut kekuasaan. Alternatif dari kekacauan itu menurut mereka adalah syariat. Syariat Islam mesti ditegakkan melalui kekuasaan, sekalipun jalan kekerasan harus ditempuh.
Padahal penerapan syariat dalam level negara tidak semudah yang dibayangkan. Ada banyak literasi tentang masalah ini yang perlu didiskusikan. Misalnya, sebagian ulama tidak mensyaratkan negara Islam itu mesti menggunakan aturan hukum Islam secara literal, tetapi negara Islam itu adalah negara yang menjamin keamanan, keselamatan, dan keadilan bagi warga negaranya. Artinya, negara Islam tidak dipahami secara literal dan formalis. Tapi oleh penganut teologi maut, negara Islam dipahami secara sempit.
Buya Syafii Maarif mengakui tidak ada sistem politik yang sempurna. Bahkan, demokrasi itu bisa menciptakan orang seperti Hitler, Mussolini, Franco, dan Donald Trump. Begitu juga dengan demokrasi di Indonesia, sama sekali belum sehat. Kalau tidak dibenahi, suatu saat akan menjadi sumber malapetaka untuk sementara waktu. Tetapi untuk jangka panjang, tidak ada pilihan lain, kecuali melalui sistem demokrasi yang sehat dan kuat, Islam moderat dan inklusif akan tetap membimbing Indonesia untuk mencapai tujuan kemerdekaan yang sesungguhnya.
*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT