Menjadi manusia di tengah hiruk-pikuk dunia modern memang kepalang brengsek ya. Apalagi di tengah usia 20-an, dengan gejolak ke-misqueen-an kita yang tidak terlahir sebagai anak sultan. Sebagai kelas pekerja, penghasilan tidak kunjung bikin kaya. Tempat kerja dan bos yang toxic. Prestasi nggak ada yang bisa dibanggakan. Cita-cita yang makin jauh, begitu pula cinta yang terus menerus ambyar. Mulai dari loving someone we can’t have, terhalang restu orang tua atau sedang gelisah-gelisahnya menjalani peliknya LDR: Love Different Religion atau Lho Ditinggal, Rek..
Gimana enggak, di usia-usia ini kita mulai ditonjok kanan-kiri oleh tuntutan hidup yang makin banyak. Tuntutan dari orang tua yang belum juga terpenuhi, komentar dari lingkungan sekitar yang makin menusuk hati, belum lagi kegelisahan eksistensi diri kita yang ingin ini, ingin itu, banyak sekali tapi tak kunjung tercapai.
Sudah begitu, bagi kita yang hidup jauh dari kampung halaman dan orang tua, situasi tidak pernah gampang. Tidak ada tempat bercurah, lingkaran pertemanan makin menyempit, karena diikat asas profesionalisme. Tempat bernaung bernama keluarga dan sahabat tidak tersedia setiap saat.
Tidak heran, banyak anak muda sekarang akrab dengan rasa gelisah dan khawatir yang datang tanpa permisi. Salah satu bentuknya adalah rasa waswas di dalam hati, yang dalam bahasa kekinian disebut dengan anxiety. Salah respon bisa-bisa bikin stres, dan berujung depresi.
Jamaah ambyar, Rahimakumullah.. apa sih sebenarnya waswas itu?
Al-Quran secara gamblang menyebut kata was was di surat an-Nas, yang merupakan surat terakhir di al-Quran. Surat an-Nas diterjemahkan ke bahasa Indonesia sebagai berikut:
Aku berlindung kepada Tuhannya manusia, Rajanya manusia, Sesembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) setan yang tersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia dari golongan jin dan manusia.
Waswas seringkali diterjemahkan sebagai bisikan setan yang tersembunyi, dengan bisikan ada di dalam kurung. Dan ini yang populer di pemahaman banyak Muslim sebab dilegitimasi terjemahan versi Kemenag. Makanya, penulis sedikit curiga Terjemahan Quran versi Kemenag ini ikut bertanggungjawab kenapa banyak anak muda yang ketika mengalami stres dan depresi dikenai stigma ‘kerasukan setan’, ‘kurang beribadah’, ‘jauh dari agama’ oleh generasi yang lebih tua. Menyebalkan bukan, ketika depresi dikira kesurupan, ‘diobati’ dengan ruqyah atau semacamnya, alih-alih pendekatan via terapi atau konseling.
Masih tentang arti waswas, satu penjelasan dari KH. Bahaudin Nur Salim alias Gus Baha’ di satu kesempatan ngajinya, cukup gamblang menjelaskan apa arti waswas di surat An-Nas. Menukil redaksi dari Imam Abu Hasan Syadzili, penulis syarah Kitab Hikam, Kiai bersahaja dari Rembang itu menyampaikan:
وسواس يدخل بينك وبين حبيبك يذكرك أفعالك السيئة وينسيك أفعالك الحسنة ويكثر عندك ذات الشمال ويقلل عندك ذات اليمين ليعدل بك عن حسن الظن بالله وكرمه إلى سوء الظن بالله ورسوله, فإحذروا
Rasa was was, kurang lebihnya: kegelisahan yang jadi penghalang di antara dirimu dan kekasihmu (yakni Allah dan Rasul-Nya) yang menjadikanmu hanya mengingat perbuatan-perbuatanmu yang buruk, dan melupakan perbuatan-perbuatanmu yang baik. Lantas membuatmu memperbanyak hal negatif, dan sedikit berbuat baik. Bahkan bisa mengubah pandanganmu yang awalnya berbaik sangka kepada Allah dan kemuliaan-Nya, menjadi berburuk sangka kepada Allah dan Rasul-Nya. Berhati-hatilah dengan rasa waswas..
Gus Baha’ menambahkan, sambil memberi konteks teologis. Bahwa episode buruk yang pernah terjadi di diri kita tidak boleh jadi alasan mengesampingkan kebenaran absolut. Kebenaran absolut berupa kasih sayang Tuhan dan kewajiban menyembah-Nya, berlaku untuk semua manusia, dan rasa waswasmu bukan alasan untuk mengingkari itu.
Masih dari Gus Baha’, ilustrasi kebenaran ini sederhana, ambil contoh rumus 1+1=2. Rumusan itu adalah kebenaran absolut yang diakui semua manusia. Maka rumus 1+1=2 tetap dipegang dan jadi kebenaran yg berlaku buat semua manusia. Entah itu Kiai, profesor, penjudi, pemabuk, sampai anak SD, tunduk dan berpegang dengan kebenaran absolut itu.
Dalam konteks sebagai hamba, walaupun kita pernah berdosa sebanyak apa, segelap apapun babak yang pernah kita hidupi, jangan sampai rasa waswas pelan-pelan menggerogoti kepercayaan diri yang, naudzubillah, memberi alasan untuk menjauhi kebenaran absolut Tuhan.
Rasanya sangat wajar Gus Baha’ mewanti-wanti untuk tidak putus asa kepada Tuhan. Betapa banyak dari kita, yang sadar atau tidak, kerap kali menyalahkan takdir Tuhan atas apa yang terjadi. Lebih buruk lagi, rasa waswas berpotensi mendorong kita untuk memilih merusak diri sendiri, hanya karena anggapan “Tuhan enggak sayang sama aku”.
Tulisan ini mungkin tidak memberi jawaban apapun atas rasa waswas, anxiety yang sedang kita alami. Hanya saja, pasti ada rahasia mengapa kitab suci al-Quran ditutup dengan surat an-Nas yang jelas-jelas sangat peduli dengan suasana hati kita sebagai manusia.
Jika bukan sebagai tanda kasih sayang Tuhan kepada hambanya, apa lagi?
Coba ambil jarak sejenak, barangkali itu hanya waswas dan kekhawatiran berlebih yang ada di hati saja. Kalau boleh meminjam lirik lagu Rehat-nya Mas Kunto Aji: Tenangkan hati, semua ini bukan salahmu. Jangan berhenti, yang kau takutkan takkan terjadi…
Untuk kalian yang sedang tidak baik-baik saja, penulis berharap tidak putus asa atas kasih sayang Tuhan yang kadang tersembunyi, tak selalu tampak di depan mata. Tetap semangat, terus berbaik sangka. Semoga nasib baik berpihak kepada kita semua.