Bagi orang yang menyangka “bunga bank” merupakan riba akan berusaha mencari institusi perbankan yang dirasa aman secara spiritual, atau paling tidak ia bisa diverifikasi halal secara hukum Islam. Jalan keluar yang paling memungkinkan adalah memilih bank Syariah, seperti institusi perbankan Syariah yang ada di masa sekarang.
Namun apakah “bagi hasil” dalam perbankan Syariah benar-benar bebas dari praktik ribawi? Ada yang menyebut “bagi hasil” dan “bunga bank” sifatnya berbeda, sehingga menganggapnya non-ribawi. Ada pula yang menyebutnya sama, hingga status keharamannya tak jauh beda. Akan tetapi yang hampir dapat dipastikan perbankan Syariat memakai uang dari produksi bank sentral yang jelas-jelas dikelola secara ribawi.
Seorang kawan berkelakar: bukankah ini seperti membuat lumpia dengan kulit yang halal tapi isinya dari daging yang haram?
Kerap saya dengar dari pembicaraan orang yang meyakini bunga bank sebagai riba: selama sistem perbankan di Indonesia masih bersifat ribawi maka dampaknya pada nilai keuangan (currency) negara yang tidak stabil. Ekonomi Indonesia akan terpuruk. Dalam kasus yang mikro, jika umat muslim sampai berani terjerat dalam pinjam-meminjam ribawi dengan bank yang menerapkan sistem “bunga” maka sendi-sendi kehidupan ekonomi mereka akan terkeropos.
Bahkan ada yang mengancam dengan hadits: “Apabila zina dan praktik ribawi kian marak dilakukan penduduk suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri itu menghalalkan dirinya untuk disiksa oleh Allah.” (HR. Hakim)
Mutlak, riba jelas haram. Namun apakah bunga bank (konvensional maupun syariah) termasuk riba, masih dalam perdebatan. Masing-masing sikap, baik mengharamkan maupun memperbolehkan, memiliki dalil teologis dan rujukan argumentatif yang sama besar. Dua-duanya pun diwakili oleh fatwa dari ulama-ulama yang bukan sembarangan. Semisal Grand Syeikh Al-Azhar, Sayid Thanthawi, adalah salah satu ulama yang memberikan keterangan bunga bank adalah halal. Di pihak seberang adalah Syaikh Wahbah Zuhaili yang bersikukuh mengharamkan bunga bank.
Siapa/apa pendapat yang benar? Wallahu a’lam!
Jika diperkenankan untuk mengambil sikap, karena keadaan sulit sekali untuk tidak bersentuhan dengan perputaran “uang ribawi” dari bank sentral (dlarurat), saya pribadi lebih memilih pendapat Syaikh Ibn Hajar yang memberikan dispensasi (indifa’ itsmi I’tha` al-riba li al-dlarurah) pada kredit ber-“bunga” (Fath Al-Mu’in: III/26).
Lantas, benarkah bunga bank berdampak pada ekonomi seorang muslim yang pasti bakal terseok-seok?
Untuk hidup sejahtera, memerlukan usaha. Usaha dapat dalam bentuk pekerjaan, dan jelas sebuah pekerjaan memerlukan modal. Jika Anda memiliki kerabat atau teman yang kaya, dan dapat meminjam modal dari mereka tanpa unsur riba, maka beruntunglah Anda.
Permasalahannya adalah jika tidak ada yang memiliki nasib seberuntung Anda, dan tentu jumlah manusia ini banyak, lantas hanya ada bank atau institusi kredit yang menerapkan “bunga” sebagai jalan satu-satunya. Apakah meminjam kredit di sana secara dzatiyah dapat mengakibatkan dirinya terkena adzab dari Allah berupa ekonomi yang terperosok dan menjerumuskannya dalam kehinaan rejeki yang kian dalam?
Jika peminjam mengajukan nominal di atas batas kemampuannya, maka peminjam bertindak salah karena berutang terlalu besar. Jika akhirnya tidak mampu membayar hutang, apakah “bunga bank” menjadi kambing hitam?
Untuk berhutang pada bank, institusi ini membatasi nominal utang sebesar 30% dari nilai kemampuan peminjam. Artinya standar kemampuan mengembalikan pinjaman dilihat dari 80% aset yang menjadi jaminan.
Jika peminjam memalsukan aset, sehingga dia lolos verifikasi pinjaman, maka dia salah. Jika peminjam memompa besaran aset agar dapat meminjam kredit yang lebih besar dari kemampuannya membayar, maka dia salah. Jika ada oknum di dalam bank yang kongkalikong dengan peminjam agar dapat utang, maka dua-duanya salah.
Jika pada akhirnya ekonomi peminjam ini terpuruk, karena tak mampu membayar hutang yang sedari awal sudah di luar batas kemampuannya, apakah “bunga bank” menjadi kambing hitam?
Ada baiknya penggagas anti-riba (baca: bunga bank) meletakkan hadits nabi di atas secara tepat, situasi yang tepat, dan pada tempat yang tepat. Karena hadits tersebut boleh dikata sebagai nubuwat, dan nubuwat adalah keyakinan. Keyakinan bukanlah fakta obyektif. Dan ekonomi (mu’amalah) sebenarnya tidak mungkin dengan begini cara kerjanya.
***
Rumail Abbas, GusDurian Jepara, Historian, Peneliti Budaya Pesisiran di Yayasan Rumah Kartni, tinggal di: @Stakof.