Ketika pergi ke Istanbul, sudah dipastikan para pelancong akan mengunjungi masjid legendaris Masjid Sultan Ahmet I yang megah. Namun, tidak banyak yang mengetahui sejarah diturunkannya Sultan Ahmet I dari singgasananya karena tanaman dari Nusantara: tembakau.
Masjid Sultan Ahmet I atau dikenal juga dengan Blue Mosque merupakan salah satu landmark kota Istanbul yang paling terkenal. Masjid ini dibangun sepanjang tahun 1609-1616 M atas prakarsa Sultan Ahmet I, dan proses pembangunannya dilaksanakan oleh arsitek imperial pada masa itu, Sedefhar Mehmet Aga.
Seakan hendak melengkapi kemilau mahamegah Istanbul, masjid raksasa dengan enam menara ini pun dibangun di kompleks jantung utama ibu kota kesultanan, yang menghimpun Istana Imperial Topkapi Saray, Masjid-Gereja Hagia Sophia, juga lapangan kuno Byzantium Hypodrome.
Sultan Ahmet I adalah sultan ke-14 dinasti adidaya Turki-Ottoman. Ia memerintah ketika berusia 14 tahun, sepanjang masa 14 tahun dari 1603 sampai 1617 M. Tahun 1603 M, masa ketika ia dinobatkan sebagai sultan, bertepatan dengan tahun 1014 Hijriah. Sebelum wafat pada tanggal 14 November 1617 M, ia terlebih dahulu sakit selama 14 hari.
Sosok sultan muda ini digambarkan sebagai seorang sastrawan dan sufi. Ia mengarang satu buku kumpulan puisi sufi, dan juga pengikut tarekat Maulawiyyah. Sejarawan Ottoman Ziya Nuraksun menceritakan jika Sultan Ahmet I memakai pakaian sangat sederhana, berbeda dengan para leluhurnya, dan mengikuti pola hidup para darwish.
Dalam salah satu puisinya, Sultan Ahmet I menulis:
“hendaklah rumah sejati kita ini, yaitu hati kita,senantiasa diterangi oleh cahaya:
cahaya berdzikir kepada Allah
hendaklah kota-kota ini dihiasai oleh bangunan-bangunan maha elok dan megah:
bangunan berdzikir kepada Allah”
Apakah karena pola hidup men-darwish ini jugalah karir militer imperium Ottoman mulai mundur dan kerap mengalami kekalahan? Kita tidak tahu. Yang jelas, wilayah kekuasaan imperium mulai banyak berkurang, baik di Eropa atau pun di Timur-Persia.
Pada masa kekuasaan Sultan Ahmet I, ditandatangani perjanjian damai Zsitvatorok antara Kekaisaran Ottoman dengan Kerajaan Habsburg (Austria). Perjanjian damai itu menyudahi serangkaian kecamuk perang besar antar kedua negara selama enam puluh tahun sebelumnya, terhitung sejak masa Sultan Suleiman Kanuni (w. 1566 M). Di masa pemerintahan Sultan Ahmet I pula, Kesultanan Ottoman harus menyerahkan banyak kota-kota pentingnya di wilayah timur, seperti Georgia, Azerbaijan, Tabriz, dan Baghdad, kepada Kesultanan Savafid-Iran yang saat itu dipimpin oleh Syah Abbas I.
Memasuki tahun 1615 M di masa pemerintahan Sultan Ahmet I, mulai tersebar di pasar-pasar Istanbul dan pasar-pasar besar di wilayah imperial Ottoman lainnya sebuah barang dagangan baru yang sangat asing dan berbau aneh, berupa potongan daun-daun kering yang dipadatkan. Barang tersebut dapat dibakar di sebuah pipa dan dihisap asapnya. Rasanya sangat nikmat dan membuat orang kecanduan. Barang tersebut dibawa oleh kapal-kapal pedagang Holanda dari negeri timur jauh, negeri kepulauan yang kaya akan rempah-rempah: Nusantara. Orang-orang Holanda yang membawa barang tersebut menyebutnya “Tabako”, sementara orang-orang Ottoman menyebutnya “Tunbaku” (Persia), “Tutun” (Turki), atau “Tabag” (Arab). Di kepulauan Nusantara, tempat pedagang Holanda mengambil tanaman ini, dikenal dengan nama “Tembakau”. Konon tanaman “Tobako” berasal dari daratan Amerika (yang pada saat itu di”salah istilahkan” dengan nama Hindia Barat) dan dipopulerkan oleh para pedagang Portugis dan Spanyol, lalu dikembang biakkan di Nusantara (yang saat itu dinamakan kepulauan Hindia Timur).
Tersebarnya “Tabako” di masyarakat Ottoman ini melengkapi persebaran sebuah barang baru setengah abad sebelumnya di seantero Ottoman: “Kahve” (kopi). Berbeda dengan “Tabako”, Kahve dikonsumsi dengan cara dididihkan bersama air panas lalu diminum. Kahve pada mulanya berasal dari Yaman dan dibawa ke Istanbul pada 1555 M oleh gubernur Ottoman untuk Yaman, Ozdemir Pasha. Kahve pun ramai dikonsumsi. Ia memiliki efek candu dan bisa membuat orang melek semalam suntuk. Fenomena ini memantik perdebatan hukum mengkonsumsi Kahve di antara para ulama, antara halal dan haram.
“Tabako” menjadi barang dagangan favorit di pasar-pasar Ottoman. Ia pun ramai dikonsumsi. Orang menghisapya bersamaan dengan meminum “Kahve”. Kabar tentang merebaknya fenomena ini sampai juga pada telinga sang Sultan. Ia pun memanggil Seyhul Islam dan jajaran ulama fikih lainnya. Diputuskanlah fatwa haram mengkonsumsi “Tabako” ini, diqiyaskan dengan hukum mengkonsumsi “Banj” (ganja).
Di sisi yang lain, fenomena perdebatan hukum mengkonsumsi “Kahve” dan “Tabako” ini menarik untuk dikaji. Jika kita menelaah warisan manuskrip dan literatur kategori fikih abad ke-16 sampai 19 M, akan banyak kita dapati karya-karya seputar “Hukm Syarb al-Qahwah wa al-Dukhân” (Hukum Mengkonsumsi Kopi dan Tembakau).
Terlepas dari perdebatan itu, justru “Tabako”-lah yang menjadi semacam buah simalakama dan kutukan bagi Sultan Ahmet I. Ketika sang sultan mengumumkan fatwa pelarangan “Tabako”, barang tersebut justru menjadi konsumsi favorit kalangan Jenisari, satuan pasukan elit imperial yang punya “kekuatan terselubung” untuk menaik-turunkan para sultan Ottoman. Para Jenisari pun mengamuk atas fatwa tembakau tersebut dan akhirnya memakzulkan Sultan Ahmet I dari singgasananya pada musim gugur tahun 1617 M.