Masjid Suleymaniye: Eco Sufisme di Balik Jejak Arsitek Muslim yang Mendunia

Masjid Suleymaniye: Eco Sufisme di Balik Jejak Arsitek Muslim yang Mendunia

Kesatuan pengetahuan yang terejawantahkan dalam Masjid Suleimaniye mampu menjadi cermin masyarakat Muslim modern tentang kesatuan Tuhan yang juga berarti kesatuan alam semesta.

Masjid Suleymaniye: Eco Sufisme di Balik Jejak Arsitek Muslim yang Mendunia

Mimar Sinan, namanya begitu melegenda di seantero kawasan Usmani bahkan hingga Eropa. Ia merupakan seorang arsitek sekaligus insinyur sipil terkemuka di bawah kepemimpinan Sulaiman I, Selim II dan Murad III. Masjid Suleymaniye yang terletak di atas bukit dengan pemandangan kubah-kubah kecil berlatar belakang selat Bosporus dengan laut berwarna biru adalah satu di antara beberapa masterpiece Sinan yang sungguh mengagumkan.

Melalui Masjid Suleymaniye, Sinan seolah ingin membawa pesan yang sakral sekaligus agung bahwa spiritualitas merupakan bentuk pengejawantahan dari ketundukan manusia akan keagungan alam semesta.

Semesta tak ubahnya seperti al-Qur’an. Ia menghamparkan tanda-tanda (bahasa arab: ayah) dari percikan cahaya Tuhan, atau dalam bahasa teologinya disebut Kalāmullāh. Untuk itulah dalam memahami hakekat kebesaran Tuhan, Islam mengenal ayat-ayat kauniyah (alam semesta) dan ayat qauliyah (al-Qur’an).

Di dalam ceruk kubah-kubah masjid nan gigantis, Sinan menambahkan sebuah kaligrafi kufi bertuliskan beberapa ayat dari Surat Al-Ikhlas. Ayat-ayat itu melambangkan tentang Keesaan Tuhan. Bagi siapapun yang memasuki masjid karya Mimar Sinan ini, mereka seakan dibawa kepada sebuah perjalanan spiritual yang utuh, memadukan nilai-nilai kesatuan antara yang imanen dan transenden, antara yang lahir dan batin, antara alam semesta dan spiritualitas.

Dalam sejarah peradaban Islam, keindahan tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai spiritualitas. Bahwa para pakar teknik, arsitek, dan semua yang terlibat dalam membangun bangunan-bangunan sakral seperti masjid, zawiyah, karavanserai, rumah dan tempat publik lainnya sangat memperhatikan estetika sekaligus keseimbangan kehidupan makhluk hidup sekitarnya. Spiritualitas yang mereka pahami merupakan satu paket pengetahuan tentang bagaimana memandang semua ciptaan Tuhan dalam kesatuan yang sama, yang harus dijaga karena merupakan bagian dari cahaya Tuhan.

Hal ini dapat dilihat dari materi yang dipakai, unsur-unsur penataan ruangan, sakralitas elemen air, metafora dekorasi yang mempunyai makna dalam akan relasi spiritualitas manusia dan alam semesta. Meskipun detail corak dekorasi, bentuk bangunan serta penggunaan unsur-unsur alam yang dipakai dapat berbeda dari tradisi seni arsitektur yang membentang dari kawasan Persia hingga ke Andalusia, namun nilai-nilai kesatuan antara keindahan dan spiritualitas, termasuk di dalamnya bagaimana melihat alam dalam pusaran kehidupan manusia menjadi satu unsur paling kuat dan terlihat dalam sejarah peradaban Islam.

Terdapat salah satu hadist Nabi yang cukup masyhur dan kerapkali digunakan sebagai legitimasi tentang keindahan penciptaan, atau dalam bahasa al-Qur’an disebut Ihsan, yaitu Kataballāhul Iḥsān ‘alā Kulli Syai’, hadist arbain. Hadist inilah yang menjadi pondasi dalam mengekspresikan beragam ekspresi seni, bentuk, laku, pandangan manusia sebagai wujud dari pancaran spiritualitas manusia. Nash-nash al-Qur’an dan Hadist cukup banyak yang membicarakan tentang jalan spiritualitas ini, yang tidak hanya terpaku pada nilai syariat namun juga hakekat. Pandangan inilah yang kemudian dapat dijadikan pendekatan baru manusia dalam berelasi dengan alam, atau biasa disebut dalam istilah modern dengan eco-sufisme.

Eco Sufisme

Kerusakan lingkungan merupakan topik yang sangat krusial, bahkan dapat dikatakan problem kemanusiaan dan alam ini harus menjadi prioritas utama untuk dicarikan solusinya bagi kehidupan manusia modern. Bagaimana mungkin kita acuh terhadap problem lingkungan sedangkan manusia sangat tergantung dengan alam semesta.

Interpretasi sufistik inilah yang dapat dijadikan alternatif pandangan lain guna mengajak manusia modern untuk memandang alam semesta dengan kacamata hakekat dan ketuhanan. Nilai pengetahuan yang lebih mengedepankan unsur materialisme dan positivisme semata akan menjadi problem utama ketika berbicara tentang lingkungan. Alam tak lagi dipandang sebagai bagian dari kehidupan manusia dan cahaya Tuhan, namun sebaliknya alam hanya dilihat dari materi dan sesuatu yang dapat dieksploitasi.

Sayyed Husein Nasr dalam sebuah kuliahnya bertajuk Islam and the Preservation of the Natural Environment mengatakan ketika Islam berada di puncak kejayaan (abad 9-13 Masehi) di berbagai bidang dan mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dunia, tradisi rasionalitas dan spiritualitas para ilmuwan Muslim berada dalam keseimbangan yang sama. Artinya, landasan spiritualitas, yang tentu saja tidak bisa dipahami sebagai ritual keagamaan semata menjadi bagian dari tradisi keilmuan mereka.

Ragam pengetahuan yang diproduksi dari bidang teknologi, astronomi, kedokteran, filsafat, ekonomi, dll tak ada yang kemudian mengarahkan kepada kerusakan lingkungan dan semesta. Di sinilah, ciri khas keilmuan umat Muslim pada abad pertengahan Islam terlihat jelas dalam mengedepankan tradisi rasionalisme yang tak lantas meruntuhkan nilai-nilai universal alam semesta.

Negara Muslim dan Problem Lingkungan

Di dalam perkembangan dunia modern permasalahan lingkungan cukup problematik, terlebih ketika melihat beberapa data bahwa kerusakan lingkungan yang parah terdapat di beberapa negara Muslim. Kerusakan lingkungan ini secara langsung bahkan berdampak pada kesenjangan ekonomi, sosial dan budaya.

Dalam hal sampah misalnya, Indonesia, sesuai yang dilansir oleh the Jakarta Post, membuang 23 hingga 48 juta metrik ton makanan setiap tahun. Lebih mengejutkan lagi, di atas Indonesia ada Saudi Arabia yang membuang lebih dari 40-51% limbah makanan per tahun-nya. Hal ini sangat ironis mengingat jumlah penduduk yang kelaparan juga meningkat.

Kapitalisme memang menjadi tantangan bagi negara berkembang yang mayoritas adalah negara berpenduduk Muslim. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan bagi umat Muslim untuk terus menggaungkan kesadaran dan turut terlibat meminimalisir kerusakan alam yang semakin parah. Alam akan selalu mencari keseimbangan, salah satunya adalah dengan mengubah prilaku umat Muslim dunia yang jumlahnya lebih dari 2 Miliar penduduk dan dianggap memiliki keyakinan kuat akan kepercayaannya.

Surat al-Rahman yang berbunyi “Wa al-Samā’a Rafa’ahā wa Waḍa’al Mīzān” merupakan legitimasi yang kuat tentang bagaimana al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan berbicara tentang konsep keseimbangan. Meskipun tidak ada nash al-Qur’an yang secara spesifik mengangkat tentang kerusakan alam, namun keseimbangan alam semesta yang juga dipahami sebagai ayat-ayat kauniyah diberikan porsi yang cukup banyak dalam al-Qur’an.

Pengetahuan dalam Islam tentang pentingnya menjaga alam semesta bukanlah hal baru, namun kesadaran manusia modern untuk kembali kepada spiritualitas alam semesta menjadi sulit digaungkan di saat gempuran teknologi modern tak lagi mengindahkan makna dari “ruh” itu sendiri. Spirituality atau rūḥāniyah, memiliki makna tentang inner reality of something, atau realitas yang terdalam dari segala sesuatu yang maujud.

Dalam Surat Al-Isra’ ayat 84 disebutkan “Quli al-Rūh min Amri Rabbī, wa Mā Ūtītum Minal Ilmī illa Qolīlan”, yang menjelaskan tentang ilmu hakekat termasuk hakekat alam semesta itu sendiri. Alam semesta mempunyai kecerdasan intelligence nya sendiri yang hanya diketahui oleh Sang Maha Hidup, atau al-Hayy. Untuk itulah bagi dalam pemahaman spiritualis makhluk dan alam adalah perpanjangan satu sama lain, karena pada hakekatnya tidak ada yang dinamakan benda mati. Semua lahir dari alam, dan tumbuh bersama alam. Seperti ungkapan dalam Surat al-Nuh ayat 17-18, “Allah telah menumbuhkanmu dari bumi, sebagaimana tumbuhan, dan kemudian Dia akan mengembalikanmu ke dalamnya dan mengeluarkanmu dari dalamnya”.

Ironisnya, hari ini kecenderungan beragama yang mengedepankan spiritualitas menjadi kurang populer. Sebaliknya, kesadaran untuk menerapkan gaya hidup syar‘i menjadi kian diminati umat Muslim tanpa mengetahui secara utuh bagaimana berelasi dengan alam semesta. Selebrasi ritualisme yang dipenuhi dengan dogma-dogma agama menjadi pemandangan beragama kita sehari-hari.

Tidak hanya Mimar Sinan, sang arsitek terkemuka Usmani, yang menjadi salah satu perwujudan bagaimana pengetahuan dan teknologi seberapapun berkembangnya pada saat itu, mampu berjalan harmonis dengan nilai-nilai spiritualitas. Namun karya-karya filsafat yang diproduksi oleh ilmuan Muslim terdahulu juga sangat kaya akan kesadaran spiritualitas alam semesta, seperti ensiklopedia ilmu pengetahuan yang dikompilasikan di Baghdad pada abad ke-10, Rasa’il Ikhwan as-Shafa tentang alegori perlawanan hewan dan manusia di sebuah pulau yang diceritakan dengan sangat apik.

Kesatuan pengetahuan yang terejawantahkan dalam Masjid Suleymaniye oleh Sinan mampu menjadi cermin masyarakat Muslim modern tentang kesatuan Tuhan yang juga berarti kesatuan alam semesta. Dan pemahaman spiritual dalam konsep kesatuan inilah yang menjadi prinsip utama dalam membangun sebuah peradaban, tak hanya bagi manusia namun juga alam semesta.