Masjid Salimiye di kota Edirne (Hadrianopolis), dibangun atas prakarsa Sultan Selim II, anak dari Sultan Suleiman (Kanuni) sepanjang tahun 1569-1575 M oleh sang arsitek Mimar Sinan. Masjid ini juga menjadi masterpiece arsitek agung Turki-Ottoman itu (selain Suleymaniye Camii di Istanbul).
Namun tak banyak yang tahu jika masjid besar ini menjadi saksi bisu yang menyimpan kisah hubungan diplomatik antara Kekaisaran Turki-Ottoman dengan Kesultanan Aceh. Turki-Ottoman pada masa itu tercatat sebagai adidaya dunia yang menguasai tiga benua: Eropa, Afrika, dan Asia. Sementara Kesultanan Aceh terhitung sebagai negara terbesar dan terkuat di kepulauan Asia Tenggara (Nusantara).
Hubungan antar kedua negara itu bermula pada masa pemerintahan Sultan Suleiman Kanuni (m. 1520-1566 M) dan anaknya Sultan Selim II (m. 1566-1574 M) dari pihak Ottoman, dengan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (m. 1537-1571 M).
Azyumardi Azra dalam “Islam in the Indonesian World: an Account of Institutional Formation” (2006: 169), melansir jika sejak dinobatkannya Alauddin Riayat Syah al-Qahhar sebagai Sultan Aceh pada 1537 M, ia pun kian meningkatkan kerjasama bilateral dengan beberapa kekuatan Muslim di manca negara, seperti Kesultanan Mughal dan Gujarat di India, juga dengan Kekaisaran Turki-Ottoman (dan tentu saja dengan kesultanan-kesultanan Muslim Jawa [Banten, Cirebon, dan Demak]).
Mengawali masa awal pemerintahannya, Sultan Aceh (al-Qahhar) melakukan ekspedisi militer untuk menaklukkan Portugis di Malaka. Sultan al-Qahhar membawa serta 3.000 pasukan Aceh dalam satuan armada laut yang besar untuk menggempur benteng Portugis di Malaka. Sayangnya ekspedisi ini tidak membuahkan hasil.
Dua tahun kemudian (1539 M), Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar memimpin pasukan Aceh dalam ekspedisi penaklukan Kerajaan Batak dan wilayah Sumatera lainnya. Pihak Aceh dibantu serta oleh 300 pasukan Ottoman dan 200 pasukan Malabar (India). Angka dan peristiwa ini terekam dalam catatan seorang pelancong Portugis, Fernão Mendres Pinto, yang berada di Nusantara pada masa itu.
Keberadaan pasukan Turki-Ottoman yang membantu pasukan Aceh sebagaimana catatan di atas, setidaknya menunjukkan bukti sudah adanya hubungan antara Kesultanan Aceh dengan Kekaisaran Turki-Ottoman, meski tingkat hubungan itu masih dalam skala yang kecil.
Pada 1562 M, Kesultanan Aceh untuk pertamakalinya mengirimkan duta utusan secara resmi ke Istanbul, ibu kota Kekaisaran Turki-Ottoman, untuk menandatangani perjanjian diplomatik. Duta dari Aceh itu pun diterima dengan baik di istana imperial Topkapi. Selain memberikan banyak hadiah, sang duta Aceh juga memberikan sepucuk surat untuk Sultan Suleiman, menyatakan penghormatan, memberikan kesetiaan, menegaskan jika sang Sultan adalah khalifah umat Muslim, sekaligus meminta bantuan Turki-Ottoman untuk memperkuat satuan pasukan Aceh guna menggempur Portugis dari Nusantara.
Sang Sultan menyambut baik duta perutusan Aceh, membalas surat Sultan Aceh, bahkan memberikan bantuan beberapa buah meriam beserta pasukan teknisinya. Pihak Ottoman juga mengutus seorang duta khusus untuk Aceh, konon bernama Lutfi Bey (melihat pangkat ‘Bey’ ini, berarti ia adalah seorang pejabat menengah setingkat gubernur di bawah ‘Pasha’).
Razaulhak Sah dalam “Aci Padisahi Sultan Alaeddin’in Kanuni Sultan Suleyman’a Mektubu (Surat Raja Aceh Alauddin kepada Sultan Suleiman, 1967)” mengkaji surat-surat diplomatik antara Kesultanan Aceh dengan Kekaisaran Turki-Ottoman pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah dengan Sultan Suleyman Kanuni. Artikel ini ditulis dalam bahasa Turki, jadi saya kesulitan untuk mensarikan isinya. Namun demikian, Razaulhak melampirkan kopian surat-surat diplomatik tersebut di halaman belakang kajiannya.
Lutfi Bey dan rombongan bantuan Turki disambut dengan suka cita di Aceh. Dari kunjungan lapangannya ini, Lutfi Bey melaporkan peran sekaligus posisi penting Aceh di mata Turki-Ottoman sebagai kontrol dan kekuatan besar Islam di kawasan Nusantara, baik sebagai kekuatan dagang atau pun kekuatan militer, khususnya untuk menghadapi Portugis yang kian menancapkan pengaruhnya di Nusantara dan India.
Empat tahun kemudian (1566 M), Lutfi Bey kembali ke Istanbul dan melaporkan perkembangan hal-hal seputar Kesultanan Aceh kepada Sultan Suleiman dan Divan (majlis tinggi imperial). Lutfi Bey juga membawa serta surat dari Aceh yang menegaskan jika Aceh menyatakan diri sebagai wilayah bahagian dari Kekaisaran Turki-Ottoman. Meski sedang sibuk oleh proyek penaklukan Vienna untuk ketiga kalinya (1529, 1531, dan 1566 M), namun sang Sultan dan Divan tetap memberikan perhatian serius atas upaya peningkatan hubungan Turki-Ottoman dengan Aceh.
Di tahun yang sama, Sultan Suleiman wafat dalam perjalanannya saat ekspedisi Szigetvár. Ia pun digantikan oleh anaknya, Selim II. Upaya peningkatan hubungan antara Turki-Ottoman dengan Aceh pun terus berlanjut. Pada 1568 M, Selim II mengirimkan armada ke Aceh dalam jumlah yang cukup besar. Armada itu berangkat dari Suez, Laut Merah. Sayangnya, di tahun yang sama, sebuah pergolakan terjadi di Yaman. Armada tempur lengkap yang semula hendak diproyeksikan ke Aceh itu pun berlabuh di Aden untuk menyelesaikan masalah Yaman, dan hanya dua kapal saja yang berlayar ke Aceh, dipimpin oleh Kurdoğlu Hızır Reis (‘Reis’ adalah gelar laksamana dalam tradisi Turki-Ottoman).
Kehadiran dua kapal bantuan dari Turki-Ottoman untuk Aceh itu dampaknya sungguh luar biasa. Di sana terdapat pula para ahli pembuat senjata, teknisi meriam, juga prajurit terlatih. Mereka semua yang kemudian mengajarkan ilmu militer dan strategi perang laut kepada Kesultanan Aceh. Kekuatan militer Aceh pun berkembang pesat. Armada laut Aceh diperkuat, tentara kian dilatih, ratusan meriam berukuran sedang diproduksi bersama persenjataan lainnya.
Pada 1568 M, Kesultanan Aceh pun memutuskan kembali menggempur Portugis di Malaka untuk yang keempat kalinya (sebelumnya pada 1521, 1537, 1547 M). Satuan pasukan Aceh juga diperkuat oleh para tentara bantuan dari Turki-Ottoman. Tony Jacques dalam “Dictonary of Battles and Sieges” (2007: 620) menyebut jumlah pasukan gabungan Aceh dan Turki sebanyak 15.000 orang saat pengepungan itu. Sayangnya, upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Lebih disayangkan lagi, Kesultanan Johor di Semenanjung justru berada di pihak Portugis.
Sultan Alauddin Riayat Syah wafat pada 1571 M, disusul oleh Sultan Selim II yang wafat pada 1574 M. Hubungan antara dua negara itu, Turki-Ottoman dan Aceh pun terus berlanjut dan kian berkembang. Pengiriman duta terus berlangsung dari kedua belah pihak. Bantuan Turki-Ottoman untuk Kesultanan Aceh juga terus berlanjut.
Sejarah hubungan antara Kekaisaran Turki-Ottoman dengan Kesultanan Aceh-Nusantara ini perlu untuk terus digali, dikaji, dan dikembangkan lebih lanjut. Saat ini, setidaknya ada beberapa rujukan penting yang secara khusus berkaitan dengan tema kajian ini, di antaranya adalah Mehmet Ozay (The Relationships Between The Sultanate of Aceh and The Ottoman State), İsmail Hakkı Göksoy (Ottoman-Aceh Relations According to the Turkish Sources), dan utamanya buku “From Anatolia to Aceh. Ottomans, Turks, and Southeast Asia” (disunting oleh A.C.S. Peacock dan Annabel Gallop), juga buku “Mapping the Acehnese Past” (disunting oleh Michael Feener, Patrick Daly, dan Anthony Reid).
Kairo, Januari 2016
A. Ginanjar Sya’ban