Mungkin ini pemandangan lumrah di sekitar kita: ada orang sepuh atau dengan kelemahan anggota badan berjalan dengan tongkat, datang ke masjid ikut sholat berjamaah, tapi ia tampak terseok dan berhati-hati sekali masuk masjid karena akses masuk pintu masjid adalah beberapa anak tangga, mungkin dua atau tiga.
Dan di dalam masjid, orang tersebut akan memilih tempat yang dekat jendela atau dekat dengan tiang, sehingga ia bisa bertumpu saat bangun dari ruku’ atau sujud. Mungkin saja itu adalah pilihannya sendiri, atau memang tidak ada opsi kursi untuk shalatnya.
Fenomena kurangnya keterjangkauan (accesibility) rumah ibadah bagi orang-orang dengan kelemahan fisik atau disabilitas masih belum menjadi perhatian banyak pengelola rumah ibadah. Para penyandang kelemahan atau disabilitas jadi mesti menyesuaikan mayoritas yang “normal”. Mungkin saja pengabaian tersebut bisa karena ketidaktahuan, atau memang para stakeholder terkait memilih untuk berfokus pada melayani kalangan mayoritas, yaitu yang mampu secara fisik.
Sayangnya, hal tersebut merupakan sikap ableism – sikap menilai semua orang mampu dan mesti mengikuti apa yang orang-orang “normal” lakukan.
Barangkali kita mesti bersepakat bahwa rumah ibadah adalah fasilitas publik. Rumah ibadah didirikan untuk umat atau komunitasnya, bukan untuk perseorangan. Disabilitas sebagai bagian dari civil society adalah kalangan yang kerap termarjinalisasi; baik secara langsung maupun dalam aspek penyediaan layanan yang asesibel bagi mereka. Tak terkecuali, dalam penyediaan rumah ibadah.
Pasca meratifikasi CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disabilities), Indonesia telah mengamanatkan dalam UU No. 8 tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas bahwa setiap penyandang disabilitas mesti terbebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan kesemena-menaan, serta memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain.
UU tersebut mengatur banyak sekali hak-hak dasar disabilitas dalam partisipasi publik. Salah satu hak yang diatur oleh UU tersebut adalah hak keagamaan. Dinyatakan secara eksplisit pada pasal 14: “…memperoleh kemudahan akses dalam memanfaatkan tempat peribadatan;…”.
Disabilitas dapat dilihat sebagai dua model: disabilitas sebagai problem medis – semata soal kecacatan fisik maupun mental, dan disabilitas sebagai problem sosial. Disabilitas sebagai problem medis dapat diselesaikan dengan tunjangan teknologi medis maupun digital yang sangat membantu masyarakat tunadaksa, tuli, maupun tunanetra. Peranti medis sudah jauh lebih maju untuk membantu penyandang disabilitas. dibanding sekian dekade lalu.
Akan tetapi, diskriminasi dan pengabaian terhadap disabilitas di masjid atau rumah ibadah lainnya adalah problem disabilitas sebagai problem sosial. Sebagaimana disinggung di atas, ada problem ableism atau “tuntutan atas normalitas” yang perlu diatur dalam pranata sosial yang inklusif.
Selain melalui perangkat hukum maupun undang-undang, pranata sosial dalam masyarakat muslim sangat memungkinkan terwujud lewat otoritas fikih, fatwa, atau dukungan ulama. Mengingat masyarakat muslim Indonesia memiliki kepatuhan tertentu terhadap fatwa maupun arahan para pemuka agama mereka.
Para kiai dan intelektual telah banyak berusaha memberi jalan keluar melalui dukungan fatwa maupun penjelasan agama yang memadai pada disabilitas. Nahdlatul Ulama memiliki seperangkat fatwa disabilitas yang sebagiannya sudah dikompilasi dalam Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas, dan Muhammadiyah telah mengeluarkan fatwa Fikih Difabel yang telah dibahas dalam Munas Tarjih ke-31 tahun 2020 lalu.
Itu baru soal membentuk pranata melalui otoritas. Bagaimana dengan penyediaannya?
Bicara kebutuhan penyandang disabilitas pada masjid atau rumah ibadah lainnya, Arif Maftuhin dalam bukunya Masjid Ramah Difabel: Dari Fikih ke Praktik Aksesibilitas menyatakan bahwa tempat ibadah yang aksesibel, setidaknya memiliki arsitektur, media komunikasi, dan sikap komunitas yang tidak menghalangi anak-anak dan jamaah disabilitas untuk bisa melakukan community engagement di masjid – baik itu bersuci, sembahyang, mengaji, maupun memimpin jamaah.
Contohnya: menyediakan akses masuk masjid yang berupa jalan sedikit melandai dibanding anak tangga, menyediakan kursi untuk jamaah yang tidak dapat sembahyang secara berdiri, bantuan pengayaan bahasa isyarat untuk para pengajar agama, handtrail di tempat wudhu dan kamar mandi, dan banyak lainnya.
Tentu saja, contoh tersebut lebih dapat dipahami dengan adanya keberpihakan dan kehendak untuk mendengar kebutuhan para difabel. Pada akhirnya, kondisi cacat, sakit, ataupun disabilitas tidak menghalangi hak keagamaan seseorang. Dibutuhkan lebih dari sekadar apresiasi pada difabel, melainkan juga mesti ada dukungan sosial, mengikis sikap ableism, juga penyediaan akses yang berkeadilan.
Agama Islam sendiri mengajarkan untuk memerhatikan hak disabilitas secara setara. Kisah yang paling mudah dipahami dari Al Quran, adalah dalam asbabun nuzul surah ‘Abasa: Nabi Muhammad bermuka masam ketika kedatangan seorang sahabat tunanetra, yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum yang ingin turut berkumpul bersama Nabi. Allah langsung menegur sikap beliau yang “hanya” mengabaikan sahaba tunanetra tersebut. Wallahu a’lam.