Babak Baru Penegakan HAM di Tangan Joko Widodo

Babak Baru Penegakan HAM di Tangan Joko Widodo

Presiden Jokowi menyampaikan pidato yang mengugah terkait penegakan HAM (Hak Asasi Manusia) di Indonesia. “Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” ujarnya.

Babak Baru Penegakan HAM di Tangan Joko Widodo

Dua hari lalu  (11/1), Presiden Jokowi menyampaikan pidato yang mengugah terkait penegakan HAM (Hak Asasi Manusia) di Indonesia. “Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” ujarnya.

Kalimat ini menjadi babak baru dalam penegakan HAM di Indonesia. Bagaimana tidak, pengakuan dari Pemerintah ini diikuti dengan daftar peristiwa pelanggaran hak asai manusia di masa lalu, mulai dari Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, hingga Peristiwa Jambo Keupok di Aceh tahun 2003.

Kejadian-kejadian yang dimasukkan dalam 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu tersebut hanyalah puncak gunung es. Tanpa mengabaikan tingkat ringan-berat, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang panjang dan tak kalah kompleks. Sebab, banyak pelanggaran dan kegagalan Negara dalam menjamin hak asasi warganya.

Di antaranya, akhir tahun kemarin saja masih ada kawan-kawan dari Kristen yang mendapatkan penolakan atas pelaksanaan ibadah Natal di rumah pribadi mereka, atau seorang Bupati Lebak yang yang tidak memberikan izin Ibadah Natal pada para pemeluk agama Kristen di Maja, Jawa Barat dan menyarankan dilakukan di luar daerah. Kedua kejadian ini mendapatkan atensi publik karena mencuat di media, termasuk media sosial.

***

Dalam pelanggaran HAM berat, kewajiban Negara tidak saja mengakui namun juga meratifikasi dan pemulihan hak-hak mereka yang menjadi korban dalam kejadian tersebut. Presiden Jokowi sudah memulai langkah baru dengan menyampaikan pengakuan atas pelanggaran hak asasi yang terjadi di di Indonesia. Langkah-langkah Negara ke depan tentu masih dinanti oleh kita semua.

Tentu sudah menjadi tugas Negara menjadi menjaga dan memenuhi hak asasi seluruh warganya. Sayangnya, dalam perjalanannya, Negara seringkali mengambil solusi yang merugikan kelompok minoritas, khususnya dalam kasus-kasus terkait agama. Hal ini dilakukan Negara untuk menjaga harmoni di tengah kehidupan masyarakat.

Harmoni sering gagal mendukung kehidupan yang adil dan setara sebagaimana nilai yang dijunjung dalam hak asasi manusia. Sebab, harmoni masih diartikan kedamaian yang dicapai dengan mencari jalan dalam mengurangi konflik, khususnya terkait agama. Dengan kata lain, tuntutan yang dapat memancing emosi warga mayoritas “sebaiknya” ditekan atau dihilangkan.

Negara memang mendapatkan penghargaan karena telah menjaga kedamaian di wilayahnya. Konflik pun ditekan sebisa mungkin, terkhusus soal agama yang sering memancing emosi warga. Tak pelak, tuntutan untuk menghadirkan beragam ekspresi keberagamaan yang beragam pun biasanya dikorbankan.

Kelompok minoritas yang selama ini kesulitan mendapatkan akses atau mengekspresikan keberagamaan mereka semakin terjerumus dalam kondisi yang sulit. Memaksakan harmoni ketimbang pemenuhan hak asasi warga negara biasanya mengharuskan kelompok minoritas mengalah. Sikap Negara tersebut biasanya merugikan, karena proses ibadah mereka biasanya dipindahkan, diberikan syarat-syarat yang berat, hingga tidak jarang digagalkan.

Saya melihat sikap di atas adalah bukti absennya peran Negara dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Walaupun dengan representasi yang berbeda, Negara seharusnya tetap hadir dan menjamin seluruh warganya mendapatkan keadilan dan kesetaraan dalam menjalankan mengekspresikan keberagamaan mereka, termasuk menjalankan ibadah sesuai dengan ajarannya.

Saya yakin masih banyak kasus kegagalan Negara dalam menghadirkan keadilan dan kesetaraan bagi warga negara tanpa harus membeda-bedakan identitasnya. Dua insiden di atas hanya secuil cerita pahit yang dialami kelompok minoritas dalam menjalankan ibadah di negeri ini. Sisanya masih banyak kisah-kisah memilukan yang harus mereka alami, namun terpendam dengan beragam alasan, termasuk trauma dan tekanan pihak lain.

***

Memilih untuk mengedepankan harmoni adalah salah satu kegagalan Negara dalam penegakan dan pemenuhan HAM selama ini. Harmoni menjadi alasan Negara untuk berlindung dalam menghadirkan keadilan dan kesetaraan pada setiap warga.

Ketika harmoni malah menjadi solusi yang merugikan bagi sebagian warga, maka rentan dapat mengamputasi hak asasi mereka. Bagaimana bisa warga yang memiliki hak untuk mengekspresikan agamanya atau beribadah sesuai ajarannya harus dikorban demi menghormati perdamaian atau kondisi kondusif di masyarakat hari ini.

Kapan ini akan berakhir? Mungkin pertanyaan ini cukup relevan pasca pidato Jokowi kemarin. Pengakuan Negara atas pelanggaran HAM berat di masa lalu bisa menjadi tonggak awal untuk menghadirkan kehidupan yang adil dan setara, termasuk soal pemenuhan hak beribadah atau ekspresi keberagamaan yang selama ini sering diamputasi.

Sebenarnya, setiap pelanggaran HAM dengan beragam tingkatannya selalu menyisakan trauma masa lalu yang mengendap di memori warga. Trauma buruk yang terus mengendap dan bertumpuk di benak warga bisa menjadi “bola liar” yang dapat dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Politik identitas yang mengakibatkan segregasi di masyarakat Indonesia yang akhir-akhir ini dikeluhkan oleh banyak orang, tidak lain merupakan pemanfaatan “bola liar” dari pengamputasian hak asasi warga negara selama ini oleh Negara. Memori kolektif masyarakat kita “membiarkan” perlakuan buruk pada kelompok-kelompok minoritas.

Kita sering berharap trauma tersebut bisa sembuh seiring berjalannya waktu. Sayangnya, harapan tersebut sering menguap begitu saja. Konflik-konflik berlatar agama hari ini tidak jarang berawal dari trauma-trauma masa lalu yang kelam.

Semoga pidato Jokowi yang menegaskan pengakuan Negara atas pelanggaran HAM berat di masa lalu, bisa menjadi tonggak awal penegakan HAM yang adil dan setara bagi siapa saja. Jangan sampai kita merasakan apa yang dikatakan oleh Nam Do-san, karakter fiktif di salah satu film Start-Up, “Pada akhirnya, waktu (pun) tidak bisa mengobati.”

Fatahallahu alaina futuh al-arifin