Kita masih ingat betul beberapa gerakan bekedok agama dengan tujuan politis beberapa saat silam. Aroma politik berselimut agama begitu kental dan bisa terprediksikan saat itu. Masjid Istiqlal adalah satu targetnya.
Bagaimana ada gerakan shalat Jum’ah berjamaah, shalat subuh berjamaah dan lain sebagainya. Sepintas, ini adalah ide cemerlang di tengah lesunya orang memahamai agama secara mendalam. Namun aroma keanehan-keanehan sungguh begitu banyak terjadi di sana.
Pertama, dari kostumnya, sebagian pengikut gerakan berjilid-jilid dengan Masjid Istiqlal sebagai markasnya adalah dahulu orang yang menyuarakan larangan ziarah kubur wali songo.
Alasan mereka, mengguakan hadis riwayat Imam Muslim bahwa tidak boleh ada orang yang melepaskan kendali (pergi jauh) kecuali dalam rangka menuju Masjid Al Haram, Masjid Al Nabawiy dan Masjid Al Aqsha. Dalil hadis di atas untuk mematahkan supaya orang tidak ada yang berbondong-bondon ziarah Wali Songo.
Namun, di saat lain, mereka mengadakan gerakan-gerakan yang berpusat di Istiqlal. Padahal pesertanya dari penjuru daerah yang jauh-jauh. Dari sini, sudah terlihat bagaimana mereka menggunakan dalil agama untuk melayani syahwatnya saja.
Kedua, beragam kegiatan pergerakan ibadah dan demo yang memerlukan dana tidak sedikit itu mengapa hanya digencarkan sebelum proses Pilkada Jakarta dihelat. Lalu setelah itu menjadi ‘mlempem’?
Padahal kalau tulus beribadah karena Allah mengapa ada perbedaan antara sebelum dan sesudah Pilkada. Bukankah Allah yang sebelum dan sesudah Pilkada itu masih selalu sama? Tapi bagaimana bisa ibadahnya berbeda semangatnya?
Ketiga, sebelum Pilkada, Istiqlal digaungkan menjadi pusat ibadah ini dan itu, namun mengapa dengan tiba-tiba ada himbauan mengosongkan masjid Istiqlal karena khutbah akan diisi oleh orang hebat yang tidak sepaham dengan mereka.
Dengan berbagai hal tersebut, nampak jelas bahwa Istiqlal sudah mulai menjadi objek non-ibadah bagi sebagaian orang. Ada yang berusaha merebut Istiqlal hanya digunakan sebagai panggung politik saja.