Saya sedang membaca buku “Islam Tuhan Islam Manusia” karya Haidar Bagir. Sebuah buku yang sempat menjadi perbincangan hangat di sosial media beberapa waktu lalu ketika kampus IAIN Surakarta hendak menyelenggarakan talkshow dan bedah buku cetakan penerbit Mizan tersebut. Acara bedah buku yang hendak digelar mendapat reaksi penolakan dari beberapa ormas Islam di Surakarta. Alasannya, karena Haidar Bagir dianggap Syiah, kafir, sesat dan ada ketakutan ia menyebarkan paham Syiah. Padahal buku ini menyimpan kedalaman ilmu dan sungguh buku ini ditulis dengan kerendahatian. Dalam buku ini, diurai fenomena yang terjadi sekarang sekaligus solusi yang ditawarkan. Jika membaca dengan hati terbuka, maka pembaca akan mendapatkan kejernihan pikiran.
Dalam tulisan yang berjudul “Cinta sebagai Basis Agama” ia mengkritik apa yang terjadi pada sebagian kecil masyarakat di negara ini. Bahwa, kegairahan beribadat tak jarang berjalan beriringan dengan pikiran cupet, fanatik, mau menang sendiri, dan menyalah-nyalahkan pandangan orang yang berbeda pendapat. “Hanya pandangan sayalah pemahaman yang benar.” Yang lain salah, bid’ah, sesat, kafir, dan sebagainya. Hal ini seolah menjadi ‘trend beragama’ saat ini. Bahkan barangkali akan lebih afdhol (utama) jika hal ini diikuti dengan jihad, perang, dan membunuh orang yang dianggap kafir. Seharusnya kegairahan beribadat berjalan seiring dengan pikiran terbuka, inklusif, dapat dengan rendah hati menerima perbedaan dan tidak mengkafirkan orang lain.
Nah, di tengah asyiknya baca buku tersebut, saya tak habis pikir dengan berita aksi pembunuhan terhadap dua anggota Brimob di masjid Falatehan Jakarta Selatan (30/06). Berdasar info yang beredar di media, penikaman terhadap dua anggota Brimob dilakukan setelah shalat Isya. Seusai shalat, pelaku langsung menusuk anggota brimob sambil meneriakkan kalimat thaghut dan Allahuakbar. Terbesit dalam hati kecil saya, lho kok setelah shalat di masjid bisa-bisanya membunuh orang? Seharusnya shalat menjadikan seseorang memiliki keterbukaan hati, ketenangan pikiran, yang tadinya marah sebelum shalat jadi tidak marah atau setidaknya menurun tingkat kemarahannya. Selain itu, shalat pun dapat menjadi salah satu bentuk ekspresi cinta kepada Tuhannya. Di dalamnya terdapat keintiman hubungan antara makhluk dan pencipta.
Masjid dalam sejarahnya pun merupakan tempat ibadah sekaligus tempat untuk belajar, berdiskusi ilmu, berdiskusi masalah sosial, politik, bahkan sebagai tempat untuk menyantuni orang-orang yang tidak mampu. Bukan tempat untuk membunuh orang. Sungguh sebuah ironi.
Apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Tak lain karena kedangkalan ilmu. Saya jadi teringat dengan apa yang dikatakan oleh Gus Mus dalam acara Mata Najwa beberapa waktu lalu. Najwa, presenter dalam acara tersebut bertanya apa yang harus dilakukan supaya ekstrimisme berkurang? Gus Mus menjawab: dengan ilmu. Pernyataan Gus Mus sejalan dengan apa yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw, bahwa nabi sering duduk di masjid bersama jamaah untuk berdiskusi tentang ilmu daripada memperbanyak ibadah.
Dalam bukunya, Haidar Bagir mengatakan bukan berarti ibadah tidak penting, namun memperbanyak ibadah tanpa disertai wawasan yang cukup dan pikiran terbuka justru bisa melipatgandakan kerusakan akibat kesalehan yang sering tak terkendali. Nah kiranya, jika beragama disertai dengan wawasan dan pikiran terbuka maka para pemeluk agama akan semakin inklusif dalam menerima perbedaan, tidak akan cepat menghakimi orang, dan tidak akan menganggap dirinya yang paling benar, apalagi sampai membunuh seseorang. Jika beragama menjadikan kita ekslusif pada perbedaan, menghalalkan pembunuhan karena berbeda, tidak peduli pada persoalan kemanusiaan maka ada kekeliruan dalam proses beragama kita.
Maka bagi yang sedang menggebu-gebu ingin mempelajari Islam, datanglah kepada ulama yang benar-benar ulama seperti Prof Quraish Shihab dan KH Mustofa Bisri. Carilah ulama yang sanad keilmuaannya jelas. Yang apabila kita mendengarkan ceramahnya, hati kita akan merasa adem, ayem, tentrem. Bukan kepada ulama yang merangsang gairah kemarahan semakin naik. Alih-alih membuat kedamaian dan ketentraman umat, tetapi malah membuat kerusuhan. Wallahhu a’lam.
Laelatul Badriyah, Penulis adalah pegiat di Islami Institute dan aktivis di Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC).