Masjid merupakan tempat sentral dakwah Islam. Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya Tradisi Pesantren memasukkan masjid dalam unsur pokok pesantren. Pada umumnya, pesantren diawali dengan berdirinya masjid. Dulu masih berbentuk langgar atau mushalla. Dari sinilah pengajian kiai bermula. Para santri mengaji usai salat rawatib. Lalu karena santri sudah cukup banyak, mereka mendirikan pondokan dan berdirilah pesantren seperti saat ini.
Buntet sebagai salah satu pesantren tertua juga tak lepas dari sejarah pendirian masjidnya. Masjid Agung Buntet Pesantren saat ini merupakan petilasan Kanjeng Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati. Hal ini diceritakan oleh K.H. Abdul Hamid Anas.
Mulanya, Kanjeng Syarif Hidayatullah tiba di Jawa setelah berkelana ke Campa dan Tiongkok. Konon, beliau diminta oleh Rasulullah pada saat jumpanya, untuk senantiasa belajar di mana pun berada. Tiba di Cirebon, beliau berguru pada Syaikh Datuk Kahfi.
Beliau kemudian mendapat isyarat untuk pergi ke pamannya yang berada di Muara Tua. Saat ini, Muara Tua terletak di sekitar Keraton Kasepuhan. Di sana, beliau menemui Mbah Kuwu. Mbah Kuwu atau dikenal juga dengan sebutan Pangeran Cakrabuana itu tidak serta merta mempercayai Kanjeng Sunan itu sebagai keponakannya. Beliau menancapkan golok ke tanah. Kanjeng Sunan dimintanya untuk mencabut golok seberat dua kwintal itu. Mudah saja bagi Syarif Hidayatullah mencabut benda tajam tersebut, cukup dengan satu tangan.
Mbah Kuwu masih belum percaya, jika yang di hadapannya adalah keponakannya dari Mesir itu. Kemudian, beliau meminta Kanjeng Sunan untuk menebang pohon yang paling besar di sekitar Muara Tua itu dengan golok yang telah dicabutnya. Sekali tebas, pohon besar itu roboh dengan tangan Syaikh Syarif. Barulah Mbah Kuwu itu percaya.
Dari Muara Tua itu, perjalanan ke Buntet Pesantren bermula. Keduanya berjalan ke arah timur mengikuti isyarat yang diterimanya. Setelah beberapa kilometer, lalu berbelok ke arah selatan. Kemudian masuk ke arah barat. Keduanya lalu menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampailah kedua waliyullah itu di tanah Buntet Pesantren.
Mbah Kuwu dan Syarif Hidayatullah untuk beberapa waktu tinggal di tempat tersebut, tepatnya sebelah selatan masjid. Sunan Gunung Jati pun melaksanakan shalat di tempat yang kini dibangun Masjid Agung Buntet Pesantren. Tempat tinggal Sunan Gunung Jati itu lalu dibangun rumah pusaka K.H. Abdul Jamil. Saat ini, K.H. Nahduddin Royandi Abbas yang tinggal di rumah tersebut sepeninggal K.H. Abbas Abdul Jamil.
Melihat sejarah tersebut, K.H. Abdul Hamid Anas menyebut Buntet Pesantren sebagai buq’atun mubarokah, desa yang diberkahi. Beliau pun berpesan kepada Ketua Dewan Khidmat Masjid Agung Buntet Pesantren K.H. Ade Nasihul Umam, agar menamai masjid tersebut sebagai masjid agung, sebab keberkahannya menjadi petilasan Kanjeng Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah.
Kekhasan
Masjid Agung Buntet Pesantren memiliki arsitektur yang sangat unik. Secara fisik, masjid ini menurut penuturan Kiai Hamid, panggilan akrab K.H. Abdul Hamid Anas, dibangun pada masa kepemimpinan K.H. Abdul Jamil. Memasuki masjid tersebut, jamaah harus menaiki lima anak tangga. Konon ini sebagai simbol rukun Islam.
Masjid yang terletak di tengah wilayah Pondok Buntet Pesantren itu memiliki dua kamar yang berarti dua kalimat syahadat. Dalam masjid ini juga terdapat sembilan pintu sebagai perlambang walisongo. Ruangan dalam pintu sembilan itu didesain memuat 99 orang sebagai simbol asmaul husna. Selain itu, keunikan lainnya terdapat pada atapnya yang terdiri dari tiga tingkatan. Hal ini menandai tingkatan bergama, iman, islam, dan ihsan. Model atapnya hampir mirip dengan atap Masjid Agung Demak. Selain itu, model demikian juga sebagai wujud akulturasi budaya karena kemiripannya dengan pura Hindu.
Mimbar khatib masjid ini juga unik. Setiap Jumat dan hari raya, mimbar tersebut diliputi kain putih. Penulis sampai saat ini belum mengerti kenapa demikian. Apakah hanya berfungsi sebagai penutup celah antar tiang, atau kah ada maksud lain? Wallahu a’lam.
Dulu, di samping masjid terdapat pohon sawo (sekarang sudah ditebang guna pembangunan MTs NU Putri). Menurut penuturan salah seorang warga Buntet Pesantren, Akhmad Ali Hasyim, pohon tersebut sebagai tanda bahwa di wilayah tersebut terdapat anggota pasukan Pangeran Diponegoro. Kita tahu, bahwa Pangeran Diponegoro menganut Tarekat Syatariyah. Buntet Pesantren sebelum juga menganut Tarekat Tijaniyyah, sudah lebih dulu menganut Tarekat Syatariyyah sejak Sunan Gunung Jati yang kemudian turun temurun sampai sekarang. K.H. Mutaad, ayahanda K.H. Abdul Jamil, atau menantu pendiri Pondok Buntet Pesantren, merupakan salah satu anggota pasukan Pangeran Diponegoro.
Hal ini juga bisa dilihat di beberapa pesantren lain, seperti Pesantren Gedongan dan Pesantren Benda Kerep. Kedua masjid di dua pesantren tersebut memiliki arsitektur yang hampir sama dengan Masjid Agung Buntet Pesantren. Namun, masjid Pesantren Gedongan telah direhab sehingga sudah tidak terlihat bentuk aslinya. Sementara itu, Buntet Pesantren dan Benda Kerep masih mempertahankan arsitektur sesuai bentuk aslinya. K.H. Abdullah Abbas, menurut penuturan Kiai Hamid, meminta agar bentuk masjid tidak diubah. Meskipun tidak besar, Mbah Dulah, panggilan akrab K.H. Abdullah Abbas, berpesan agar tidak dipugar. Putra Kiai Abbas itu membiarkan bentuk masjid seperti asalnya.
Tradisi
Empat kali dalam setahun, Masjid Agung Buntet Pesantren menggelar genjringan, yakni pada (1) Maulid Nabi Muhammad Saw., tepat pada malam tanggal 12 Rabiul Awal; (2) Isra Mi’raj Nabi Muhammad Saw., tepat pada malam tanggal 27 Rajab; (3) Khatmil Quran pada malam tanggal 15 Ramadan, dan (4) Khatmil Quran pada malam 28 atau 29 Ramadan.
Gelaran pertama didahului dengan pengajian kitab al-Barzanji karya Syaikh Ja’far al-Barzanji. Para santri menggunakan kitab Madarijus Shu’ud, syarah al-Barzanji, karya Syaikh Nawawi al-Bantani. Kitab tersebut dibaca secara bergantian oleh tujuh kiai selama tiga hari. Puncaknya, di hari keempat, tepat pada malam tanggal 12 Rabiul Awal, seluruh kiai, santri, dan masyarakat Buntet Pesantren berkumpul marhabanan. Usai marhabanan, barulah genjringan ditabuh hingga tengah malam.
Adapun gelaran kedua diawali dengan pengajian kitab Qisshat al-Mi’raj karya Syaikh Dardir. Kitab ini juga dibaca selama tiga hari oleh tujuh kiai yang telah ditunjuk oleh DKM.
Seperti pada umumnya kenduri, kegiatan tersebut juga diramaikan dengan bancakan. Para kiai makan dalam satu nampan, sedangkan santri dibagikan nasi bungkus. Para penabuh genjring dan orang-orang yang turut mendendangkan syair-syairnya juga makan bersama usai gelaran tersebut.