Menjelang masuknya bulan suci Ramadhan kemarin, saya sangat senang, karena mendapati banyak pesan ucapan selamat untuk menunaikan ibadah puasa dari teman Non Muslim. Teman saya juga tidak lupa mengucapkan mohon maaf lahir batin. Saya pun menjawabnya dengan penuh syukur dan bahagia, semoga kita semua mendapatkan keberkahan di bulan suci Ramadan ini.
Dari ucapan tersebut saya timbul pertanyaan, kenapa ya Ramadan disebut sebagai bulan suci? Bahkan teman saya yang Non Muslim pun ikut memohon maaf lahir batin kepada saya. Seakan-akan memang ada harapan besar di bulan yang penuh berkah ini. Harapan kedamaian dengan siraman rohani yang menyejukkan, harapan ketenangan karena di mana-mana al-qur’an dilantunkan.
Ketika Ramadan disebut sebagai bulan suci, lalu siapakah yang mensucikan bulan ini? Allah, manusia, hewan, ataukah malaikat?
Di dalam sebuah hadis Qudsy disabdakan:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَناَ أَجْزِي بِهِ
“Setiap amalan anak Adam itu untuknya kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang membalasnya. (HR. Bukhari)
Dari hadis ini, setidaknya kita mengetahui, bahwa Allah Swt sendirilah yang mensucikan bulan Ramadan, karena di dalam bulan ini terdapat hambanya yang bertaqwa; yakni dengan menjalankan ibadah puasa. (al-Baqarah 183).
Sehingga puasa yang kita kerjakan adalah untuk Allah dan Allah sendiri yang menilainya. Karena bisa saja kita mengaku di depan banyak orang berkata sedang berpuasa, namun dibelakang kita sedang makan atau minum. Bisa saja kita mengaku sedang berpuasa, tetapi tidak mencerminkan seseorang yang menahan nafsu dan amarah, Allah pula yang tahu. Oleh sebab itu, penjelasan hadis qudsy tersebut begitu terang.
Kembali ke pertanyaan saya di atas, sesuci apakah bulan Ramadan? ada satu hadis yang sudah sangat familiar dan menarik untuk saya ulas dalam tulisan ini, yang kurang lebih artinya: “barang siapa berpuasa di bulan Ramadan dengan penuh iman dan mengharap pahala, diampunilah dosanya yang terdahulu.” (HR. Abu Hurairah)
Tentu hadis tersebut dengan tafsiran, bahwa orang tersebut tidak mengulangi perbuatan yang dapat berakibat dosa, sebagaimana yang pernah dikerjakan.
Dari hadis ini, saya juga mendapatkan sebuah pemahaman bahwa di bulan Ramadan Allah Swt saja memberikan maaf dan ampunan kepada siapa saja yang mengharap ampunan serta ridho-Nya. Allah juga berjanji melipatgandakan pahala serta amal ibadah hamba-hambanya yang dikerjakan di bulan Ramadan. Lalu, mengapa kita sebagai hamba-Nya, enggan memberi maaf, enggan berbuat baik, enggan menyampaikan pesan-pesan damai, sementara Allah sendiri melipatkan apa yang kita kerjakan.
Kesucian Ramadan tidak akan pernah luntur dengan banyaknya orang yang makan dan buka warung di siang hari, namun kesucian Ramadan kembali dipertanyakan ketika masih banyak orang yang gemar menebar benci dan caci maki, sementara ia mengaku sebagai orang yang tengah menahan lapar dan dahaga di siang hari. Wallahhu a’lam.