Bagaimana masa depan agama di tengah modernisme dan perubahan tradisi masyarakat global? Bagaimana agama menyikapi isu-isu kemanusiaan, sekularisme dan perdamaian? Buku karya John D Caputo ini, memberi perspektif yang menarik bagaimana masa depan agama, dalam kondisi dunia yang chaos ini. Meski buku ini mendasarkan argumentasinya pada konteks teologi Kristen sebagai basis analisisnya, ternyata isu-isu yang disajikan dapat menjadi pelajaran penting bagi kaum muslim, dan bahkan lintas agama.
Dalam pengantar buku ini, Haidar Bagir mengungkapkan pertimbangan penting, kenapa karya John D Caputo selayaknya diapresiasi sebagai terobosan cara berpikir dalam memadang agama. Ada tiga argumentasi penting yang mendasarinya: Pertama, Karya John D Caputo tentang agama cinta memiliki resonansi yang cukup kuat di kalangan kaum muslim. Dalam catatan Bagir, kritik atas pemahaman agama yang bersendi pada legal-formal, dalam karya Caputo memiliki kesamaan nilai dengan apa yang sedang dipahami oleh umat muslim. Terlebih, konsep sufistik menjadi tawaran di tengah dunia yang sedang chaos.
Kedua, umat muslim dapat belajar dari karya Caputo tentang bagaimana hidup di tengah era modern. Bahwa, setiap agama sejatinya memiliki tantangan yang sama, yakni dinamika sekularisme. Dalam catatan Bagir, umat muslim sejatinya memiliki tantangan yang sama dengan umat Kristen, meski dalam beberapa aspek, sekularisme di kalangan penganut Kristen lebih kuat dibandingkan kalangan umat muslim.
Ketiga, Caputo memberikan ruang dialog sekaligus perdebatan dalam argumentasinya tentang “agama tanpa agama”. Ide dekonstruktif ini, bisa jadi menjadi kritik pedas bagi mereka yang memami agama sebagai legal-formal. Dengan bekal pemahaman dan tradisi mistisime St Agustinus dan filsafat dekonstruksi Derrida, Caputo mengajukan modus keberagaman yang relevan bagi era post-sekularisme atau post-modernisme dalam era ini.
Agama tanpa Agama
Kekuatan John D Caputo dalam buku ini, adalah bagaimana ia secara kritis mempertanyakan doktrin-doktrin agama, menyelami tradisionalisme-sekularisme, hingga mengajukan konsep agama cinta sebagai jawaban atas pencarian umat manusia.
Caputo menulis bahwa, “gagasan di buku ini, bagaimana bergerak melampaui keharfiahan, fundamentalisme, dan takhayul yang sama sekali palsu, tanpa mengulangi kritik Pencerahan terhadap agama yang memandang rendah agama. Suatu agama tanpa agama, bagaimanapun, membutuhkan kebenaran religius, tetapi sejenis kebenaran yang berbeda dengan omongan ‘agama yang benar berarti agamaku satu-satunya agama yang benar’. Agama-agama, dalam bentuk plural, bersifat unik dan merupakan oase praktik-praktik etis dan narasi-narasi religius yang khas, dan menurut saya menjadi saksi dari berbagai cara yang berbeda dalam mengasihi Allah, tetapi tanpa klaim kepemilikan ekslusif atas kebenaran” (hal. 136).
Dengan menggunakan perspektif dekonstruksi ala Derrida, John D Caputo sejatinya ingin membongkar kenaifan dalam beragama, serta doktrin-doktrin legitimasi agama yang sering melahirkan kekerasan dan hegemoni. “Agama apapun akan lebih baik tanpa gagasan bahwa ia adalah ‘satu-satunya agama yang benar’ dan yang lain bukan, seakan-akan beberapa agama sedang berada dalam kontes menyingkirkan satu sama lain demi kebenaran religius. Mereka harus membuang gagasan sebagai ‘sang agama yang benar’. Mereka harus berhenti melangsungkan iklan negatif tentang agama orang lain atau orang yang kurang beragama, dan mereka perlu mengubur kebiasaan mengklaim bahwa kepercayaan mereka yang tertentu ialah yang paling pas untuk realitas yang ada di luar sana” (hal. 137).
Menurut Caputo, agama adalah cinta kasih Allah, ‘Allah adalah kasih”, yang merupakan inti religius. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa, apa yang dimaksudkan oleh Agustinus, bahwa ketika kita mengasihi apapun, sungguh Allah-lah yang kita kasihi, betapapun sulitnya. Atau, dapat berarti bahwa, sebagaimana yang dimaksudkan oleh filsuf feminis Prancis, Luce Irigaray, bahwa kasih adalah sesuatu kekuatan Ilahi, suatu lingkungan pergaulan Ilahi yang mendorong para kekasih ke dalam pelukan satu sama lain dan membiarkan mereka bermesraan satu sama lain (hal. 157). Caputo dengan jeli merombak pemahaman dan doktrin-doktrin agama yang selama ini dipahami sebagai kemandekan berpikir umat beragama.
Dengan hadirnya buku ini, Caputo mengajak pembaca untuk menelaah kembali ajaran-ajaran fundamental agamanya. Bahwa, agama apapun, sejatinya ditujukan untuk kebaikan manusia: untuk kemanusiaan, untuk cinta dan kebahagiaan. Caputo mengingatkan kembali hakikat agama, bukan sebagai sarana kekerasan ataupun kekuasaan. Dengan agama cinta, manusia memasuki tatanan baru berupa hidup dalam garansi perdamaian[].
Info Buku:
John D Caputo| Agama Cinta, Agam Masa Depan| Mizan, 2015
ISBN: 978-602-1210-00-0
Munawir Aziz, Penulis buku “Pahlawan Santri” (Pustaka Compass, Mei 2016), disapa via @MunawirAziz