“Ndak ada, musik di dalam masjid itu ndak ada!”
“Mungkar! Demi Allah mungkar!”
Teriak seorang bapak-bapak berjenggot agak putih, berbaju gamis krem, berselendang tas selempang hitam. Ia tampak sangat emosional menceramahi para pemuda yang bermain rebana di dalam masjid tempat ia kebetulan singgah. Sembari menunjuk-menunjuk ia menjelaskan bahwa masjid itu tempat untuk ibadah, bukan untuk berbuat kemungkaran. Musik yang dimaksud si Bapak adalah rebana di dalam masjid, yang barangkali akan digunakan untuk acara hadrah malam itu.
“Terus kamu hujjahmu apa? Kalau ndak mungkar hujjahmu apa?” Semakin dibantah, bapak itu semakin menjadi-jadi.
Video yang terjadi di Masjid Al Ikhlas Palm Spring Jambangan Surabaya tersebut lantas viral. Saya sendiri menemukannya pertama kali di kanal media mainstream di YouTube. Jujur saja, saya takjub dengan keberaniannya menyampaikan sesuatu yang menurutnya mungkin sangat prinsipil. Namun saya lebih banyak menyayangkan, lha wong rebana di dalam masjid saja masih jadi ikhtilaf ulama, mengapa penyampaiannya kudu “sebrutal” itu.
“Langsungkanlah pernikahan itu di masjid dengan diiringi tabuhan,”
Mengulik sirah, rebana sebenarnya diperkenankan oleh Nabi Muhammad melalui kisah seorang perempuan yang bernazar kepada Nabi. Sesaat sebelum Rasulullah berangkat berperang, seorang perempuan berkata, “Ya Rasulullah, aku bernazar ketika Engkau hendak berangkat perang, jika Engkau kembali dengan selamat aku bernazar akan memukul rebana di atas kepala-Mu ya Rasulullah.”
Spontan Nabi menjawab, “Penuhilah nazarmu.”
Di dalam “Bab Nazar”, bernazar harus minimal dengan sesuatu yang mubah, bukan haram. Dan jika Rasulullah memerintahkan memenuhi nazar si perempuan, artinya tidak ada masalah soal objek nazarnya. Artinya, memukul rebana di saat orang bergembira atas kedatangan atau keselamatan Nabi jatuh dalam hukum mubah atau sunnah.
Inilah yang diamalkan para ulama untuk mengiringi sanjungan kepada Rasulullah dan juga digunakan oleh penduduk Madinah ketika menyambut Rasulullah dengan tala‘al badru ‘alaina. Dengan demikian, mengiringi salawat dengan rebana bukanlah sesuatu yang terlarang.
Adapun masalah memainkan rebana di dalam masjid, itulah yang masih menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Karena ini masih ikhtilaf, bagi yang mengingkari maupun yang mengadakannya harusnya tidak berlebihan-lebihan sehingga bisa terjadi konflik antara yang setuju dan menolak.
Umumnya, para ulama yang membolehkan rebana dalam masjid menggunakan hujjah hadis riwayat Imam Tirmidzi dari Aisyah Raḍiyallāhu ‘Anhā,
… أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ
“Umumkanlah pernikahan ini dan langsungkanlah pernikahan itu di masjid dengan diiringi tabuhan (terbangan) …”
Hadis tersebut menyiratkan bahwa rebana boleh dimainkan di waktu-waktu tertentu untuk mengiringi kebahagiaan umat Muslim, dalam pernikahan misalnya, atau bergembira dengan datangnya sang Nabi.
Lain soal jika rebana dimainkan ketika masjid sedang penuh sesak oleh jemaah salat Jum’at. Itu yang tidak boleh karena hal yang mubah tidak bisa mendisrupsi ritual yang wajib. Jika seseorang nekat main rebana ketika salat Jum’at dilaksanakan, ia kemungkinan besar akan dilempar kotak infaq oleh mas-mas takmir setempat.
“Kamu kalau main musik itu diluar. Main musik di masjid itu haram!”
Pertama, si bapak itu tegas menggunakan diksi ‘musik’, bukan ‘rebana’. Keduanya memang dalam satu rumpun, rebana bagian dari alat musik. Namun, dalam diskursus ulama, topik ‘musik’ memantik perdebatan lebih intens daripada rebana. Sebagian besar ulama menegaskan kebolehan rebana. Namun, mereka tiba-tiba terbelah menjadi kubu-kubu ketika menghukumi musik. Ya begini, ‘musik’ saja masih sangat ikhtilaf, apalagi nambah ‘musik di dalam masjid’.
Jika si bapak bergamis itu mengatakan ‘mungkar ada musik di masjid’, ya nyatanya memang ada dalilnya. Ulama yang sepakat tentang hal ini mengatakan bahwa salah satu pelanggaran agama di rumah Allah adalah dengan memainkan musik di dalam masjid. Tapi ini ‘musik’, bukan ‘rebana’. Sedangkal pengetahuan saya, dua hal itu memuat konsekuensi hukum yang berbeda.
Kedua, bagaimanapun, penyakit masyarakat kita adalah mendahulukan prejudis daripada dialog. Lihat saja si bapak bergamis itu. Ia sepertinya ‘kekenyangan’ dalil pengharaman musik sampai-sampai menutup mata terhadap keragaman berpikir dan pendapat.
Si bapak bahkan sempat bersumpah atas nama Allah untuk melegitimasi argumennya tentang kemungkaran musik di masjid. Ngeri-ngeri sedap memang. Apalagi, ia bersumpah sambil melotot.
Mungkin, si bapak bercelana hitam cingkrang itu perlu diajak ngobrol tentang sejarah hadrah, rebana, bagaimana dinamika perdebatan musik di kalangan ulama, dan utamanya tentang fungsi-fungsi masjid di zaman Rasulullah. Tapi kok saya ragu, orang seperti ini bisa terbuka untuk diajak dialog. Wallāhu a‘lam.
Allah Menyuruh Musa Menasihati Fir’aun dengan Tutur yang Baik
Ketika pertama kali menyimak video tersebut, saya sempat mengidentifikasi model penyampaian si bapak bergamis, apakah itu nasihat, dakwah, atau kecaman. Tapi, ketika saya hendak ber-positive-thinking, saat mendengar kata ‘nasihat’, saya selalu membayangkan kata-kata yang bijak, penuh kasih, dan penuh pemahaman. Bukan dengan kata-kata amarah dan emosi yang meluap-luap.
Si bapak bergamis itu tidak sadar, ketika nasihat atau dakwah disampaikan dengan kemarahan yang tidak terkendali, risiko menghasilkan dampak yang merusak terhadap hubungan antarmanusia bisa sangat tinggi. Bagi si bapak bergamis, mungkin itu adalah dakwah. Tapi bagi pemuda di Masjid Al Ikhlas itu, mereka mungkin merasa diserang dan menjadi defensif, sehingga pesan yang ingin disampaikan menjadi terhambat.
Padahal hikmah ini sudah dicontohkan dalam kisah Musa. Untuk menyadarkan Fira’un yang melampaui batas, Allah mengutus Nabi Musa dan saudaranya, Nabi Harun untuk mengingatkan pemimpin itu agar sadar diri. Perintah-Nya bukan untuk membentak dan mengancam Fira’un dengan azab. Melainkan dengan kata-kata yang lemah lembut (QS. Taha: 43-44).
Walakhir, saya tetap memberi kredit bagi keberanian si bapak bergamis menyampaikan pendapatnya. Namun saya jauh menyayangkan karena sikap dan perangai seperti itu rentan melahirkan gesekan antar sesama umat Muslim.
Pe’er untuk si bapak bergamis, dan terutama untuk saya sendiri, mungkin begini, ia kudu lebih bersemangat lagi mendalami seluk beluk ajaran Islam dan dinamika percakapan hukum di kalangan ulama. Dan yang juga krusial, si bapak perlu lebih sering melebur dengan keberagaman agar tidak gagap jika bertemu dengan kultur yang menyelisihi cara pandang agamanya.