Dalam filsafat Islam, landasan tugas seorang manusia sebagai khalifah di muka bumi didasarkan pada statusnya sebagai mikrokosmos atau disebut juga sebagai alam kecil.
Umumnya, kita lebih akrab dengan sebutan manusia sebagai mikrokosmos ketimbang alam kecil. Istilah mikrokosmos untuk manusia disandingkan dengan sebutan makrokosmos untuk alam raya. Sedangkan istilah alam kecil ditemukan dalam karya Ikhwan al-Shafa’ yang berjudul Risalah Ikhwan al-Shafa’.
Sebagaimana yang dicatat oleh Prof. Mulyadhi Kartanegara dalam Lentera Kehidupan, Ikhwan al-Shafa’ menyebut manusia sebagai alam kecil dan menyebut alam sebagai manusia besar (al-insan al-kabir). Menurut penjelasan Guru Besar Filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah tersebut, tujuannya ialah untuk melihat relasi yang kuat antara alam dan manusia. Hal itu tidak didapatkan dalam penggunaan istilah mikrokosmos dan makrokosmos.
Nah, pertanyaannya di sini, mengapa manusia disebut sebagai alam kecil? Mudahnya, manusia menyimpan segala unsur yang ada pada alam semesta ini. Sebut saja unsur air, unsur tumbuhan, dan unsur hewan.
Manusia Sebagai Alam Kecil
Unsur tumbuhan yang terejawantah pada diri manusia dalam bentuk daya tumbuh. Sebagaimana tumbuhan, manusia memiliki daya untuk tumbuh. Makna tumbuh di sini bersifat fisik. Contoh kecilnya ialah pertumbuhan rambut dan bulu pada fisik manusia. Itu menunjukkan kekhasan pertumbuhan alamiah yang jelas ada pada alam raya.
Selain itu, reproduksi juga menjadi ciri dari daya tumbuh ini. Tumbuhan memiliki sistem reproduksinya. Manusia pun memilikinya dengan sistem yang berbeda.
Selanjutnya, unsur hewan. yang terejawantah pada diri manusia dalam bentuk daya gerak. Gerak (harakah) merupakan ciri yang ada pada hewan yang membuatnya dapat berpindah dari satu posisi ke posisi lain. Manusia juga memiliki daya gerak itu, yang membuatnya bisa menjalankan aktivitas sehari-hari.
Unsur hewan lainnya yang diwarisi oleh manusia ialah daya mengindera. Maksud indera di sini tak hanya terbatas pada indera fisik, seperti melihat, mendengar, mencium, meraba, atau merasakan, melainkan juga indera batin. Makna indera batin di sini ialah kemampuan untuk mengingat, mengkhayal, dan lainnya.
Nah, jika hewan terbatas pada hal itu, manusia bergerak lebih maju. Manusia juga memiliki daya akal yang tak dimiliki oleh hewan, apalagi tumbuhan. Itulah sebabnnya lazim di tradisi filsafat Islam dan manthiq (logika) untuk menyebut manusia sebagai hewan yang berpikir (al-insan hayawan al-nathiq).
Penting untuk dicatat bahwa pemaknaan akal dalam Islam bukanlah seperti pikiran (mind) yang merujuk pada otak sebagai organ. Akal di sini lebih bersifat spiritual, bukan material. Dalam filsafat Islam, akal merupakan daya yang ada pada malaikat atau langit dalam emanasi Neoplatonis. Oleh sebab itu, akal manusia memiliki hubungan dengan akal langit.
Sang Khalifah Yang Bertugas Menjaga Alam Raya
Penjelasan manusia sebagai mikrokosmos memanglah terdengar antroposentris. Namun, itu tak menunjukkan kebolehan manusia untuk bersikap angkuh di hadapan makhluk lain. Status manusia sebagai alam kecil justru membuat manusia memiliki kewajiban sebagai khalifah atau yang umumnya diartikan sebagai wakil Tuhan di muka bumi.
Sebagai wakil atau pengganti, tugas manusia tidaklah mudah. Menurut Mulyadhi, manusia sebagai khalifah memiliki beberapa tugas. Di antaranya adalah mengabdi kepada Tuhan, memutuskan dengan adil di antara makhluk, dan melakukan perbaikan moral sosial.
Pada konteks tulisan ini, sesuai dengan relasi antara alam dengan manusia yang telah dijabarkan di atas, manusia merupakan alam kecil. Anggaplah kita merupakan saudara kecil dari alam raya. Sebagai saudara kecil, tugas manusia sebagai khalifah adalah dalam memutuskan dengan adil di antara makhluk merupakan poin yang penting untuk ditekankan.
Makhluk Tuhan yang dimaksud tentu tidak hanya manusia, tetapi meliputi alam raya dan seisinya. Itu artinya, bersikap adil tak hanya dilakukan kepada sesama manusia, melainkan juga kepada alam raya dan seisinya, termasuk hewan dan tumbuhan.
Sebagai alam kecil, manusia haruslah menyadari jika dirinya merupakan miniatur bagi alam. Sebaliknya, alam sebagai manusia besar menjadikannya memiliki kaitan erat dengan kemanusiaan. Karena itu, apapun yang terjadi di alam raya ini akan berdampak bagi kehidupan manusia. Struktur organis ini yang menguatkan relasi antara manusia dan alam.
Karena segala yang terjadi pada alam raya berdampak pada kehidupannya, manusia sebagai alam kecil seharusnya menyadari betapa pentingnya menjaga alam raya. Karena, menjaga alam raya sama dengan menjaga kehidupannya dan generasi penerusnya. Sebaliknya, merusak alam raya sama dengan merusak atau membinasakan kehidupannya. [NH]