Bagaimana sih, Sejarah Bertemunya Dunia Islam dan Filsafat Yunani?

Bagaimana sih, Sejarah Bertemunya Dunia Islam dan Filsafat Yunani?

Bacaan ringkas sejarah pertemuan dunia Islam dan filsafat Yunani.

Bagaimana sih, Sejarah Bertemunya Dunia Islam dan Filsafat Yunani?

Pergumulan atau interaksi orang-orang Islam dengan peradaban Yunani sudah dimulai sejak masa awal Islam. Disebutkan bahwa al-Harits ibn Qaladah, seorang sahabat Nabi, sempat mempelajari ilmu kedokteran di Jundisapur, Persia. Interaksi ini mendapatkan bentuknya yang paling nyata seiring dilakukannya proses perluasan wilayah atau pembebasan (al-futûh̠ât) di sejumlah daerah yang menjadi pusat-pusat peradaban Yunani seperti Iskandariyah (Mesir), Damaskus, Antioch, Ephesus (Syria), Harran (Mesopotamia), dan Jundishapur (Persia).

Khasanah ilmu pengetahuan Yunani di beberapa tempat tersebut menjadi harta karun yang tak ternilai harganya. Di tempat-tempat itu lahir dorongan untuk melakukan kegiatan penelitian dan penerjemahan karya-karya filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani yang nantinya didukung dan disponsori oleh para penguasa Muslim (Madjid, 2005). Hellenisme, yakni semua pemikiran, kesenian, kesusastraan, dan kebudayaan yang terkait Yunani,  akhirnya menjadi salah satu unsur terpenting yang mempengaruhi kehidupan masyarakat Muslim (Hitti, 2008).

Sebagai contoh yaitu salah satu ajaran Neoplatonisme yang nantinya banyak diadopsi oleh dunia Islam adalah idenya tentang “Yang Esa” (the One) sebagai prinsip tertinggi atau sumber penyebab. Neoplatonisme yaitu aliran filsafat yang dikembangkan oleh Plotinus (w.270 M) yang memadukan arus besar filsafat Yunani Klasik seperti Platonisme, Aristotelianisme, Pythagorianisme, dan Stoisme (Fakhry, 2002).

Penerjemahan karya-karya berbahasa Suryani ataupun Yunani ke dalam bahasa Arab kira-kira dimulai pada abad ke-8 M. Sumber-sumber klasik memuji dukungan Khalid ibn Yazid (w. 704 M) dari Dinasti Umayyah sebagai penyelenggara penerjemahan karya-karya kedokteran, kimia, dan astrologi ke dalam bahasa Arab. Ia menyediakan sejumlah harta dan memerintahkan para sarjana Yunani yang bermukim di Mesir. Upaya ini merupakan awal mula dilakukannya proyek penerjemahan dalam sejarah Islam.

Pada masa Dinasti Abbasiyah, Khalifah Harun Al-Rasyid beberapa kali melakukan serangan ke Romawi dan menjadi jalan masuknya manuskrip-manuskrip Yunani terutama yang berasal dari Amorium dan Ankara. Pada masa Al-Makmun, dia mengirim utusan ke Konstantinopel untuk menghadap ke Raja Leo dari Armenia dalam rangka mencari manuskrip-manuskrip Yunani tersebut. Untuk memahami naskah-naskah tersebut, khalifah bersandar pada terjemahan dari para sarjana di daerah yang ditaklukkan, baik Yahudi, Kristen, maupun Penyembah Berhala (Shabi’in). Para sarjana ini menjadi penghubung pertama yang memperkenalkan orang-orang Arab-Muslim dengan peradaban Yunani, sebab naskah-naskah tersebut terlebih dahulu diterjemahkan ke dalam bahasa Suryani dan kemudian ke dalam bahasa Arab.

Puncak interaksi antara Islam dan peradaban Yunani terjadi pada masa pemerintahan Al-Ma’mun. Teks-teks Yunani tidak hanya diperlukan dalam bidang ilmu pengetahuan, filsafat, dan kedokteran saja, tetapi juga untuk mendukung kecenderungan rasionalistik Mu’tazilah yang dijadikan sebagai mazhab negara. Pada masa Al-Ma’mun inilah didirikan Baitul Hikmah di Baghdad pada 830 M sebagai perpustakaan dan institut penerjemahan. Baitul Hikmah yang dipimpin oleh Yuhanna ibn Masawaih (w. 857 M) dan digantikan oleh muridnya, Hunain ibn Ishaq (w. 873), adalah institut terbesar sepanjang sejarah penerjemahan karya-karya filsafat dan kedokteran Yunani.

Di antara karya-karya yang berhasil ditermejahkan di dalam Baitul Hikmah ini antara lain Analytica Posteriora karya Aristoteles, Synopsis of the Ethic karya Galen, sejumlah intisari karya-karya Plato seperti Sophist, Permenides, Politicus, Republic, dan Laws. Ish̠âq ibn H̠unain dikatakan berhasil menerjemahkan dari bahasa Suryani sejumlah karya-karya Aristoteles seperti  Categories, Hermeneutica, Generation and Corruption, Nicomachean Ethics, De Plantis, dan beberapa bagian dari Physics.

Adapun karya Aristoteles lainnya yaitu Metaphysics diterjemahkan oleh Asthât (Eustathius) dan Yah̠ya ibn Adi. Yah̠ya ibn Adi bersama Abû Bishr Mattâ, gurunya, juga dipercaya menerjemahkan karya Aristoteles lainnya yaitu Rhetoric dan Poetics. Dua karya terakhir ini merupakan bagian dari karya utama Aristoteles dalam bidang logika yang dikenal dengan Organon dalam tradisi Arab dan Suryani.

Pengaruh Peradaban Yunani dalam Dunia Islam

Babak penerjemahan karya-karya Yunani tersebut segera dilanjutkan dengan aktivitas kreatif para sarjana Muslim. Dalam proyek pembangunan budaya, mereka tidak hanya membaurkan kebijakan kuno Persia dan Yunani klasik, tetapi juga mengadaptasi keduanya sesuai dengan kebutuhan khusus dan pola pikir mereka. Banyak karya-karya baru bermunculan dalam berbagai bidang keilmuan seperti kimia, astronomi, matematika, dan geografi. Begitu juga dalam bidang hukum, teologi, filologi, dan bahasa di mana mereka berhasil mengembangkan pemikiran dan penelitian yang orisinil (Hitti, 2008).

Dari berbagai unsur peradaban Yunani, khususnya dalam bidang pemikiran, Neoplatonisme dan Aristotelianisme merupakan yang paling berpengaruh di dalam dunia Islam. Pemikiran Neoplatonisme sangat berpengaruh dalam pembentukan filsafat Islam. Ibnu Sina, misalnya, dapat dikatakan sebagai seorang Neoplatonis karena ajarannya tentang mistik perjalanan ruhani menuju Tuhan sebagaimana yang dimuat dalam karyanya yang berjudul Isyârât.

Baca juga: Benarkah Filsafat Bertentangan dengan Islam?

Selain itu, pengaruh besar lainnya yaitu Aristotelianisme yang dapat disaksikan dengan kenyataan bahwa kaum muslim banyak yang menggunakan atau memanfaatkan metode berpikir logis menurut logika formal atau silogisme Aristoteles. Dalam dunia filsafat, Aristoteles mendapatkan penghormatan yang begitu tinggi sehingga mendapatkan julukan sebagai “guru pertama”. Namun demikian, perlu dicatat bahwa kebanyakan yang diambil oleh para filosof Muslim bukanlah pikiran asli Aristoteles melainkan pikiran, pemahaman, dan tafsir orang lain terhadap pemikiran Aristoteles (Madjid, 2005).

Perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam inilah yang kemudian mengantarkan Eropa menuju era Renaisance. Proses transmisi keilmuan ini khususnya terjadi di sejumlah tempat seperti Andalusia, Sicilia, dan Suriah yang pernah menjadi bagian dari peradaban Islam. Wilayah-wilayah itu kemudian membangun dasar-dasar ilmu yang memberi pondasi pemikiran Eropa pada Abad Pertengahan.

Bacaan :         

Baried, Siti Baroroh dkk. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: BPPF UGM. 1994.

Fakhry,Majid. Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis. Bandung: Mizan. 2002.

Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin, dan Peradaban. Jakarta: Dian Rakyat, 2005.

Hitti, Phipip K. History of The Arabs. Jakarta: Serambi Ilmu, 2008.