Seorang eks musisi salah satu band terkenal di Indonesia menyarankan agar kaum muda menjauhi musik. Alasannya adalah musik haram. Dengan demikian, industri musik harus ditutup rapat-rapat agar peluang kemaksiatan yang lain tidak memapar umat.
“Jadi dengan menutup pintu musik dan industri musik kalian menutup banyak hal yang sifatnya mudarat yang mungkin kalian tidak menyadari ya. Mungkin hanya ngedengerin musik aja. Kalo sejuta orang berpikiran seperti itu otomatis sponsor akan masuk, orang penjual khamr juga akan masuk,” jelas Uki eks Noah dalam video di Youtube.
Persoalan musik dalam Islam sebetulnya termasuk wilayah khilafiyah. Persoalan khilafiyah merupakan sesuatu yang di dalamnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan Ulama. Dalam sejarah peradaban Islam sendiri, tidak sedikit ulama yang membolehkan musik, meski ada pula yang mengharamkannya. Masing-masing punya alasan dan dalil yang sama-sama kuat.
Sehubungan dengan hal ini, Ustadz Ahong mengatakan bahwa jika ada orang yang meninggalkan musik karena (dianggap haram) itu boleh. Hanya saja, musisi yang sudah hijrah itu tidak perlu menganggap profesi lain sebagai rendahan.
“Saya menghargai ketika ada seorang musisi yang hijrah dan meninggalkan musik. Tapi sebaiknya, musisi yang sudah hijrah ini tidak perlu menganggap hina dan rendah profesi lamanya. Kalau menganggap musik itu sebuah kemaksiatan bagi dirinya sendiri, ini masih dimaklumi. Tapi klo sampai menganggap maksiat musisi lain yg masih menikmati profesinya tersebut, ini sdh over dosis. Musik itu khilafiah, perbedaan pendapat ulama fikih,” terang Ustadz Ahong dalam cuitan di Twitter.
Lalu, bagaimana keseruan dari perdebatan tentang musik dalam Islam?
Pada berbagai kitab fikih klasik, musik dan alat musik memang diharamkan. Meski begitu, jika merujuk pada Al-Qur’an, maka tidak ada satu ayat pun yang secara tegas menyebutkan alat musik sebagai benda yang diharamkan.
Merujuk pada hadis, terdapat beberapa teks yang bercorak pro terhadap musik, ada juga yang bercorak kontra.
Di antara hadis yang pro terhadap musik di dalam kitab Ṣaḥīh Bukhāriy: Anna ‘āisyata zaffat imra’atan ilā rajulin min al-anṣār. Fa qāla nabiyyu allāhi ṣallā allāhu ‘alayhi wa sallama yā ‘āisyatu mā kāna ma’akum lahwun? Fa inna al-anṣāra yu’jibuhumu al-lahwu (Siti Aisyah mengantarkan pengantin wanita kepada pengantin pria yang merupakan orang Anshar. Lalu rasulullah bersabda: “Wahai Aisyah! Apakah kalian tidak bawa musik? Sungguh orang-orang Anshar itu menyukai musik”).
Sedangkan hadis yang kontra terhadap musik, semisal dalam kitab Ṣaḥīh Bukhāriy: La yakūnanna min ummatī aqwāmun yastaḥillūna al-ḥira wa al-ḥarīra wa al-khamra wa al-ma’āzifa (sungguh akan ada nanti sebuah golongan dari umatku yang menghalalkan kemaluan wanita (zina), sutera (bagi lelaki), khamr dan alat musik).
Fuqahā (ulama fikih) lalu berselisih pendapat tentang musik: ada yang mengharamkan, ada yang memakruhkan, bahkan ada yang membolehkan. Perbedaan pendapat ini, tidak terklasifikasi menurut zaman ke zaman, karena di setiap zaman (dimulai sejak era sahabat nabi) terus ada dua kelmpok ini; ulama yang pro dan ulama yang kontra terhadap musik.
Baca Juga, Musik yang Merepresentasikan Islam, Adakah?
Di antara ulama yang membolehkan musik adalah Imam al-Ghazali. Salah satu ulama yang mengharamkan musik adalah Imam Ahmad bin Hanbal (Abu Bakar Jabir al-Jazairi). Sedangkan ulama yang memakruhkan musik semisal, Imam Abu Hanifah (Asmaji Muchtar). Imam al-Syafi’i memakruhkan musik, dibaca melalui ungkapan beliau “memukul-mukul (al-taqtaqah) dengan tongkat (bersifat seperti memainkan musik) hukumnya makruh –permainan seperti itu biasa dilakukan orang-orang zindik– hingga mereka lupa membaca Al-Qur’an”. Di samping ini juga ada yang menilai Imam al-Syafi’i mengharamkan musik (Said Agil Husin al-Munawar, MA.).
Melihat perbedaan pendapat ulama dan beberapa hadis yang dinilai pro dan kontra terhadap musik, disimpulkan bahwa hukum keharaman musik pada berbagai kitab fikih klasik bersifat debatable, ikhtilaf (diperdebatkan). Dilacak melalui kajian historis yang bisa dijadikan pedoman alasan musik diharamkan, sulit menemukan asbāb al-wurūd (alasan berdasarkan konteks) yang secara detail dan konkret dari hadis yang kontra musik maupun yang pro.