Dalam kitab Nihayah az-Zain dinyatakan bahwa muntah secara sengaja (istiqa’ah) dan masuknya segala jenis benda berwujud (‘ayn) ke bagian dalam tubuh (jawf) melalui tenggorokan, lubang telinga, lubang hidung, mata, kemaluan, dan dubur adalah dua diantara beberapa hal yang membatalkan puasa.
Pengertian ‘ayn sebetulnya mencakup segala macam benda yang kasat mata, tetapi dalam konteks batalnya puasa, diberlakukan beberapa perkecualian, termasuk diantaranya air mandi dan ludah, dengan beberapa catatan untuk diperhatikan.
Air masuk yang tidak membatalkan puasa adalah air yang masuk ke dalam tubuh karena seseorang melaksanakan wajib mandi (baik karena junub, haid, maupun nifas) atau mandi sunnah (karena mau shalat jum’at, misalnya). Jika karena melakukan mandi itu secara tidak sengaja ada air yang masuk, maka hal itu tidak membatalkan puasa.
Dalam kasus ini berlaku kaidah hukum “Ridha bi sya-i ridha bi ma yatawaladu minhu“, menerima atau membenarkan sesuatu berarti pula menerima atau membenarkan pula segala sesuatu yang timbul darinya. Karena mandi wajib atau sunnah adalah tuntunan (baik sebagai keharusan maupun sekedar anjuran) syariat, maka konsekuensinya wajar yang timbul darinya (termasuk masuknya air secara tidak sengaja) harus diterima atau dibenarkan pula.
Atas dasar ini pula, hukum yang sama tidak berlaku pada mandi yang tidak dianjurkan atau diharuskan, semisal mandi atau menyegarkan badan (tabarrud) atau mandi dengan cara menyelam (slulup atau inghimas).
Dalam kedua kasus itu, maka masuknya air tetap membatalkan puasa, karena tidak ada anjuran untuk melakukan mandi karena alasan dan atau dengan cara seperti itu.
Jadi, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas, pada prinsipnya mandi keramas dalam keadaan berpuasa boleh-boleh saja, asal dapat dijaga agar tidak terjadi efek samping yang membatalkan puasa.
Sumber: Dialog Problematika Umat, Khalista, Surabaya, 2014