Sebagian orang berpikiran bahwa menikahkan anak itu lebih penting daripada menyekolahkan mereka. Memang, ada faktor-faktor sosial dan ekonomi yang melatari hal ini, misalnya kemiskinan. Tetapi asumsi bahwa pernikahan anak bisa menjadi pilihan ketika dilanda kemiskinan, dan karena itu lebih baik daripada menuntaskan usia sekolah, juga sesungguhnya salah.
Islam, dalam berbagai teksnya, baik al-Qur’an maupuan Hadis, menyatakan bahwa menuntut ilmu itu wajib. Yang paling kentara adalah pernyataan Nabi Saw yang diriwayatkan Imam Ibn Majah.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Dari Anas bin Malik, Rasulullah Saw bersabda: “Bahwa mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim” (Ibn Majah, no. hadis: 229).
Sementara, sebagaimana disebutkan dalam berbagai kitab fiqh, hukum dasar menikah adalah mubah karena ia adalah urusan syahwat, keluarga, dan sosial. Menikah menjadi sunnah jika diniatkan meneladani Nabi Saw dan komitmen untuk mendatangkan kebaikan pada diri dan keluarga. Ia bisa menjadi wajib jika jadi satu-satunya jalan untuk menghindarkan seseorang dari yang haram, tetapi tanpa melakukan haram yang lain dalam pernikahan.Tetapi, menikah juga dalam pernyataan fiqh bisa menjadi haram jika benar-benar mendatangkan hal-hal yang diharamkan, seperti kekerasan, kemudlaratan, dan kezaliman.
Jikapun pernikahan anak harus dilakukan karena sesuatu dan lain hal, maka ia harus dipastikan tidak mencederai hak-hak anak untuk memperoleh pendidikan. Lagi-lagi, karena pada prinsipnya pendidikan itu wajib sementara pernikahan anak itu mubah belaka.
Jika kita yakin dengan ajaran Islam bahwa pendidikan anak wajib, maka seharusnya seluruh komponen masyarakat, baik orang tua, keluarga, masyarakat, maupun negara, harus mengupayakan seoptimal mungkin agar anak-anak memperoleh pendidikan yang layak di usia mereka. Dan karena pernikahan bisa memalingkan mereka, terutama perempuan, dari pendidikan, maka kita semua seharusnya berusaha melakukan segala cara agar pernikahan tidak terjadi, agar tidak menjadi bumerang bagi pendidikan mereka.
Secara sosial, anak perempuan lebih rentan terhadap pernikahan. Karena itu, harus ada upaya ekstra dan kerja keras semua pihak agar anak perempuan memperoleh kesempatan pendidikan yang sama dengan laki-laki. Bahkan bisa jadi harus ada porsi dan kempatan lebih, karena perempuan akan menjadi ibu yang merawat anak dan membesarkan mereka. Jika perempuan pintar, kuat, dan tangguh, maka keluarga juga akan demikian. Seterusnya, masyarakat dan negara juga akan tangguh, kuat, dan sejahtera (baldatun thoyyibatun war rabbun ghafur).
Dus, karena pendidikan anak adalah wajib, ia harus menjadi prioritas utama.
Wallahu a’lam
Tulisan ini sebelumnya dimuat di Islamidotco pada tanggal 12 Oktober 2017 dan mubadalah.com