Islam terus menjadi sorotan dunia, semua lalu lintas pembicaraan di tingkat global tak pernah sepi dari pembahasan tentang dunia kaum muslim, baik di Timur Tengah, Asia Tenggara, maupun imigran muslim yang ramai-ramai masuk ke negeri Barat. Sorotan utama terhadap dunia muslim ini terkait apakah kaum muslim dapat menerima dan mengembangkan demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia dan multikulturalisme sebagaimana di Barat.
Percakapan tentang dunia muslim di tingkat global tersebut tak lepas dari berbagai kasus terorisme di level permukaan dan sulitnya kaum muslim menerima tata kelola kenegaraan model Barat yang menjunjung tinggi demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia dan multikulturalisme di level yang tak tampak. Walapun tentu saja cara pandang demikian ini adalah khas cara pandang Barat yang bias dengan jejak-jejak orientalisme.
Namun, demikian pun kekhawatiran Barat terhadap perkembangan dunia muslim yang semakin eksklusif tersebut toh ada buktinya juga. Ada fakta memang bahwa sebagian dari kaum muslim yang skriptualis dalam memahami ajaran Islam sehingga menimbulkan trend perilaku yang eksklusif dan ekstrimis. Dan dalam sekup yang lebih kecil lagi ada sebagian kaum muslim yang melakukan aksi terorisme.
Dengan demikan, fakta eksklusifisme hingga terorisme dalam Islam itu memang ada. Namun, barangkali yang keliru dari cara pandang bias Barat adalah bentuk pekembangan kaum muslim kekinian itu tidaklah tunggal. Ada kubu eksklusifis hingga ekstrimis dan ada juga kubu oposisinya, yakni kubu inklusif yang kosmopolit.
Di tulisan ini mencoba untuk memaparkan tentang role model dari kaum muslim jenis kedua tersebut, yakni muslim yang kosmopolit. Seperti apa itu muslim kosmopolit? Secara luas, kosmopolitanisme adalah sebuah kewarganegaraan dunia dan keinginan untuk terlibat bersama orang lain yang beragam.
Muslim kosmopolitan mau berinteraksi dan bertemu dengan berbagai kalangan yang beragam dan mau menyerap dan berbagi pikiran dan keunggulan kebudayaan. Dalam konteks kegentingan global seperti saat ini dimana banyak kaum muslim yang eksklusif. Maka kaum kosmpolit adalah muslim yang membuka diri terhadap bebagai unsur dari luar dirinya.
Apakah ada rujukan kesejarahan dari muslim kosmopolit ini? Menurut Gus Dur dalam artikelnya yang terkenal, Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam menggambarkan dengan gamblang bahwa peradaban lampau Islam itu sudah sangat kosmopolit.
Gus Dur misalnya menyontohkan kodifikasi al-Qur’an pada era Usman bin Affan. Bukankah itu adalah sebuah serapan dari tradisi Eropa tentang budaya ensiklopedia pengetahuan. Artinya, dalam perkembangan Islam awal pun, banyak menyerap dari budaya-budaya terbaik di luar Islam dengan tujuan untuk mengembangkan Islam itu sendiri.
Tidak hanya itu, lihat saja seorang ulama’ bernama Abu Uthman bin ‘Amr ibn Bakr al-Qinani al-Fuqaimi al-Bashri atau yang populer dengan nama al-Jahiz. Al-Jahiz terkenal sebagai ulama’ ahli binatang atau Zoologi pada abad ketiga hijriah. Al-Jahiz juga menulis sejarah, puisi dan teologi yang menyerap dari tradisi Hellenisme Yunani kuno.
Fakta-fakta demikian itu menampakkan bagaimana pergulatan kaum muslim sudah sangat terbiasa menyerap unsur-unsur terbaik dari budaya di luar Islam. Dalam konteks demikian itu, di konteks abad 21 ini yang relasi antar umat beragama secara luas sudah tidak ada konflik yang berarti. Di dunia yang penuh perdamaian ini, seharusnya kaum muslim lebih berperan aktif dan berkolaborasi dengan unsur peradaban global yang sedang berkembang.
Dalam upaya untuk tampil terbuka dan berkolaborasi dengan berbagai peradaban kemanusiaan global tersebut, kaum muslim kosmopolit hendaknya juga memperkenalkan apa yang oleh sejarawan Arnold Toynbe (yang dikutip Gus Dur dalam tulisan tersebut) sebagai Oikumene Islam. Yakni sebuah warisan peradaban Islam yang universal dan inklusif.
Di dalam ajaran Islam, secara substansi menurut Gus Dur mempunyai keprihatinan terhadap segala permasalahan kemanusiaan. Misalnya ada ajaran untuk selalu membela kaum miskin dan yang dilemahkan (lihat surah al-Ma’un). Nilai dari ajaran tersebut adalah bagian dari keprihatinan Islam terhadap tragedi kemanusiaan.
Di dalam ajaran tentang substansi ajaran Islam (maqoshid syari’ah), Islam juga peduli dengan permaslahan hak asasi manusia. Dalam maqoshid tersebut hak kebebasan memilih agama, hak untuk hidup, hak harta benda, hak keturunan/keluarga, dan hak profesi dijamin dalam Islam.
Dengan demikian, Islam memiliki warisan ajaran dan peradaban yang sudah begitu kosmopilit dan universal tersebut. Dan masalahnya demikian itu belum begitu ditampilkan dan tidak dipraktikkan oleh banyak kaum muslim. Jika kaum muslim mempraktikkan kosmpolitanisme tersebut barangkali problem eksklusifisme, intoleransi dan terorisme akan semakin terkikis atau bahkan lenyap. Wallahhu a’lam.
M. Fakhru Riza, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.