Di jam larut,
daun ketapang makin lebat berguguran
di luar rencana.
Dan kematian jadi akrab,
seakan kawan berkelakar
yang mengajak tertawa.
(Subagio Sastrowardoyo – “Dan Kematian Makin Akrab”)
“Dan kematian makin akrab”, demikian judul salah satu puisi yang selalu bergaung dalam langit-langit kesadaran saya akhir-akhir ini. Di tengah bunyi sirine ambulans yang saling bersahut-sahutan yang lebih ramai dari hari-hari sebelumnya. Bunyi sirine itu masih terus menggema di telinga saya, bersamaan dengan bunyi berita kematian yang tidak lagi jauh di sana, tapi sudah begitu dekat dan menjadi teman akrab.
Di tengah sahutan sirine, baik yang mengantar pasien atau pun yang mengantar jenazah Covid-19, pada saat yang sama banjir informasi juga menggenang di linimasa. Dari info orang meninggal di tengah perjalanan mencari UGD, atau info UGD yang tutup di beberapa daerah akibat kepenuhan pasien, atau tentang RS yang kolaps serta nakes yang berjatuhan, ditambah tabung oksigen yang langka dan bahkan sempat habis, hingga yang terbaru—beredar video orang-orang berebut Susu Beruang di pusat perbelanjaan.
Apa sebenarnya yang terjadi? Apa yang salah dengan Susu Beruang? Apa yang salah dengan susu sapi yang dibungkus dengan gambar beruang di luarnya?
Barangkali Susu Beruang adalah simbol kebingungan kita selama ini, paling tidak selama pandemi ini menghajar kita semua. Bagaimana tidak—publik tidak saja dibuat bingung oleh sebuah misinformasi tentang salah satu merek susu yang notabene sudah lama menjadi kebingungan banyak orang dari iklannya yang menghadirkan naga, susunya yang terbuat dari susu sapi dan terakhir diberi nama “Susu Beruang”, tiga unsur yang tidak saling berhubungan alias ra mashok! Mungkin inilah keadaan yang mewakili segelintir masyarakat Indonesia akhir-akhir ini. Sama-sama ra mashok mendapat berbagai infodemic yang juga tak kalah berbahaya dan mematikannya.
Fenomena Susu Beruang yang terjadi di salah satu pusat perbelanjaan beberapa waktu lalu yang sempat viral makin menegaskan mudahnya kita—manusia menjadi pemangsa bagi manusia lainnya. Di video tersebut, terlihat beberapa manusia berebut Susu Beruang dan tanpa tedeng aling-aling menerjang manusia lainnya yang masih berada dan berkerumun di sana. Dalam video singkat tersebut, menegaskan kembali manusia yang hendak menyelamatkan diri dengan—atau kalau perlu tak memperdulikan manusia lainnya. Satu ironi di tengah pandemi yang membutuhkan lebih banyak empati dan solidaritas antar manusia. “Ke mana kah sirnanya nurani embun pagi?”, jika menyitir Ebiet G Ade dalam salah satu tembangnya.
Nurani
“Mama saya di RS Sardjito memburuk, dan ventilator penuh. Mohon bantuannya. Saturasi sudah 36”, demikian secuplik permohonan salah seorang kawan relawan pada pukul 22.40 WIB (5/7/2021) di grup LaporCovid19 yang saya ikuti sejak bergabung menjadi relawan setahun lalu, ketika pandemi tak seganas hari ini.
Di saat-saat ini, ketika Indonesia per 5 Juli 2021, dalam catatan Kemenkes RI—kasus harian terdapat 29.745 orang dan kematian akibat Covid-19 di Indonesia hari ini sebanyak 558 orang. Angka yang terus melangit meski sudah ditekan dengan kebijakan baru bernama PPKM Darurat di area Jawa-Bali. Entah berapa banyak kalau PPKM tidak ditekan? Atau, entah butuh berapa kali lagi pemerintah mengganti istilah atau jargonnya namun tak jua segera mentaati mandat UU Karantina Kesehatan yang tertuang dalam No. 6 tahun 2018?
Di kondisi lainnya, tak ayal, di beberapa RS, di ruang UGD, para dokter harus mengambil keputusan yang begitu sulit ketika hanya sanggup menyelamatkan pasien yang dengan harapan hidup sedikit lebih tinggi dari pasien lainnya untuk diselamatkan. Dilema etik yang teramat besar bagi para dokter di garda layanan kesehatan tersebut yang dalam sumpahnya harus berpihak kepada kehidupan. Tapi, apa nak dikata?
Di samping itu, di tengah minimnya empati dan krisis keteladanan, khususnya dari kalangan pejabat pemerintah yang justru mencontohkan yang lain. Diperparah lagi oleh segelintir orang yang mendaku agamawan justru memancing di air keruh dengan membawa narasi yang kontaproduktif dan memancing kerumunan serta justru membawa pada narasi bahwa komunitas agama mereka yang jadi korban oleh karena rumah ibadah ditutup.
Di krisis multidimensional ini, sikap mau dan rela untuk mengakui keterbatasan kita adalah hal yang membawa kita (manusia mampu dan bisa bertahan lebih lama di dunia yang murung) pada situasi amburadul dan serba berantakan seperti sekarang ini. Dengan mau dan berani mengakui kerapuhan kita, justru tidak melemahkan kita, namun justru memberikan kekuatan dari dalam. Teolog Norwegia—Sturla Stålsett bahkan menyebut bahwa manusia adalah makhluk yang rapuh (homo vulnerabilis) yang diciptakan oleh Allah yang merapuh dalam cinta (Deus vulnerabilis).
Dengan menyadari kerapuhan dalam diri, akan memberi kemampuan untuk menghadapi semua kemungkinan terburuk yang mungkin kita hadapi di hari-hari ke depan. Fisik manusia mungkin lemah, tapi nurani tidak akan hilang—meski roh dan jasad dipisahkan oleh malaikat Izroil.
Malaikat Izroil
Dari deretan angka kematian tersebut—jumlah kematian tenaga kesehatan (nakes) juga mengalami kenaikan setelah sempat turun di bulan April 2021 dari 11 orang menjadi 52 orang di bulan Juni 2021, demikian data yang dihimpun oleh LaporCovid19. Para nakes yang berjuang membantu pasiennya mendapat pemulihan berisiko tinggi terpapar virus dan berbalik mengancam nyawanya atau menularkannya kepada keluarganya di rumah.
Para nakes juga manusia biasa, mereka bukan dewa atau sosok yang kebal dari virus ini. Mereka juga manusia yang memiliki ketakutan dan kerapuhan atas dirinya serta taat pada sumpah yang harus dijunjung sebagai altruis sejati. Berjuang dengan mengorbankan dirinya untuk raga yang lain.
Sudah saatnya menyadari kerapuhan tersebut dengan menjadi nakes bagi diri kita sendiri. Menyadari kelemahan dan kerapuhan kita. Mengenal tubuh dan segala keterbatasan yang dimilikinya. Menyadari bahwa kita semua berisiko karena kerapuhan yang kita miliki saat ini. Karena kematian akan terus mengintai dari jarak yang tak begitu jauh dari manusia.
Karena meski kita lari daripadanya, di mana pun kita berada, sekalipun di tempat terjauh dari galaksi ini, atau di balik tembok sekokoh apapun kita bersembunyi, malaikat Izroil akan menemukan kita dan segera menuntaskan jobdesk-nya. Karena disadari atau tidak—yang nyata, kita sedang berjalan ke arah kematian—sein zum tode, meminjam istilah Heidegger. Sudah minum Susu Beruang hari ini belum?