Terkadang kita sering melakukan simplifikasi terhadap nama atau sebutan tertentu. Misalnya, kata ulama. Ulama sering diartikan sebagai orang yang memiliki banyak pengetahuan dalam agama, itu saja. Begitupun dengan orang kaya, sering diartikan sebagai orang yang memiliki banyak harta. Pemimpin juga sering diartikan sebagai orang yang memiliki banyak rakyat.
Tentu hal ini mempengaruhi sikap kita sehari-hari. Misalnya, ketika kita menganggap bahwa orang kaya adalah orang yang memiliki banyak harta saja, akan menyebabkan penyempitan makna. Padahal, makna kaya dalam bahasa Arab adalah Ghinan ghoniyyu yaitu laa yahtaju ilaa syai’in (tak membutuhkan sesuatu), artinya ia sudah merasa cukup dengan apa yang ia miliki.
Secara gamblang dan jelas, Imam Syafii mengatakan dalam syairnya terkait hakikat dari ulama, orang kaya dan pemimpin:
إِنَّ الْفَقِيْهَ هُوَ الفَقِيْهُ بِفِعْلِهِ # لَيْسَ الفَقِيْهُ بِنُطْقِهِ وَمَقَالِهِ
وَكَذَا الرَّئِيْسُ هُوَ الرَّئِيْسُ بِخُلُقِهِ # لَيْسَ الرَّئِيْسُ بِقَوْمِهِ وَرِجَالِهِ
وَكَذَا الْغَنِيُّ هُوَ الْغَنِيُّ بِحَالِهِ # لَيْسَ الْغَنِيُّ بِمُلْكِهِ وَبِمَالِهِ
“Sesungguhnya orang faqih adalah ia yang mengerti dengan perbuatannya bukan pandai karena ucapannya. Begitu juga pemimpin, dia adalah orang yang memimpin dengan ahlaknya bukan banyak pengikutnya. Begitu juga orang kaya, dia adalah orang yang merasa cukup dengan keadaannya, bukan karena kerajaannya dan hartanya.”
Pada bait pertama Imam As-Syafii menjelaskan bahwa seorang faqih, yang mengerti ilmu agama adalah ia yang mengamalkan ilmunya, bukan hanya pandai berbicara mengenai apa yang ia ketahui.
Di sini kita dapat mengambil makna bahwa tujuan utama dari ilmu adalah untuk diamalkan. Bukankah ilmu yang tak diamalkan seperti pohon tak berbuah?
Pada bait kedua Imam As-Syafii menjelaskan arti seorang pemimpin, yaitu mereka yang memiliki ahlak yang terpuji. Bukan saja memiliki banyak pengikut.
Begitupun di bait selanjutnya beliau menjelaskan makna kaya yang hakiki, yaitu merasa cukup dengan keadaanya. Keadaan seseorang, baik ketika senang maupun susah, selama tidak diiringi dengan rasa bersyukur, pasti selalu merasa kurang.
Orang kaya sekalipun, jika ia tidak menumbuhkan rasa cukup dalam dirinya, maka rasa kekurangan akan terus muncul dalam dirinya, sehingga sebanyak apapun harta yang dimilikinya tidak akan membuatnya merasa cukup.
Lantas, sebagai seorang pelajar, sudahkah kita mengamalkan ilmu kita?
Jika kita seorang pemimpin, terlepas dari apapun macamnya, sudahkah berperilaku yang baik kepada orang lain maupun diri sendiri?
Begitupun dengan keadaan kita yang serba berkecukupan, sudahkah kita bersyukur kepada Yang Maha Pemberi rezeki?
Wallahu A’lam