Akhir-akhir ini kita sering mendengar terma “akal sehat” dalam diskursus politik kita. Terma ini sering digunakan oleh Rocky Gerung dengan nuansa yang sangat ideologis, yakni bahwa orang yang berakal sehat itu adalah yang minna bukan yang minhum. Lawan politik Rocky Gerung adalah pemerintah dan para pendukungnya sedangkan kawan politiknya ialah gerakan oposisi. Rocky Gerung yang merupakan artis politik tersebut tentu memosisikan dirinya dan orang-orang yang seide dengannya sebagai jama’ah yang berakal sehat.
Dalam artikel ini, kita tidak akan membahas pengertian akal yang penuh nuansa politis seperti yang digunakan Rocky. Artikel ini ingin mengungkap terma ini dalam konteks yang dikenal dalam pemikiran Arab dan Barat. Tentu, tulisan ini hanya akan fokus kepada sejauh mana “akal” dipahami dalam dua corak pemikiran: Arab dan Barat.
Dalam bahasa-bahasa Indo-Eropa, akal direpresentasikan dalam kata reason. Kata reason sendiri berasal dari ratio bahasa Latin yang berarti akal dan sebab-musabab. Cournot dalam artikelnya yang berjudul Essai sur les Fondements de Nos Connaissances et sur les Caractères de la Critique Philosophique mengatakan bahwa raison (akal dalam bahasa Perancis) terkadang bermakna “bakat orang yang bernalar” dan terkadang juga bermakna “relasi antara benda satu dengan benda lainnya sehingga dapat dikatakan bahwa akal manusia (atau akal subjektif) dapat memahami akal benda-benda (atau akal objektif).”
Akal dalam bahasa Eropa ini tentunya dapat dipahami sebagai proses mengetahui sesuatu berdasarkan kepada struktur internalnya, yakni relasi unsur yang satu dengan unsur lainnya. Ini artinya, akal juga bisa dalam pengertian memahami sesuatu dengan sebenar-benarnya berdasarkan kepada hukum sebab-musabab.
Sampai di sini, kita melihat bahwa akal dalam pengertian bahasa Eropa ini digerakkan oleh pandangan dunia yang objektif, yakni menyajikan sesuatu seperti apa adanya berdasarkan kepada hukum yang menggerakan unsur-unsur internal objek tertentu. Kesimpulan ini mungkin dapat diperjelas lebih jauh dengan membaca kamus filsafat yang ditulis Andre Lalande yang berjudul Vocabulaire Technique et Critique de La Philosophie.
Karena itu, kita coba bandingkan perngetian akal dalam bahasa Arab. Akal dalam bahasa Arab terepresentasikan dalam kata aqal. Dalam Lisan al-Arab, aql didefinisikan sebagai:
العقل: الحجر والنهى، ضد الحمق، والعاقل هو الجامع لأمره ورأيه، مأخوذ من عقلت البعير إذا جمعت قوائمه….العاقل من يحبس نفسه ويردها عن هواها، أخذ من قولهم اعتقل لسانه إذا حبس ومنع الكلام…وسمي العقل عقلا لأنه يعقل صاحبه عن التورط في المهالك أي يحبسه
“Aql” ialah daya untuk menahan dan mencegah. “Aql” karenanya lawan dari “dungu”. Orang yang berakal ialah aqil yang berarti orang yang mampu mengumpulkan pandangan dan pendapatnya. Arti seperti ini disimpulkan dari ungkapan: “aku mengikat (aqaltu) unta jika aku kumpulkan tali-talinya”…orang yang berakal ialah orang yang mampu menahan keinginan diri dan menghindari dari memperturut hawa nafsu. Dalam bahasa Arab ada ungkapan i’taqalat lisanuhu yang artinya “lidahnya terikat jika ia tertahan dan tidak bisa bicara..”. Disebut akal juga karena aql dapat mengikat pemiliknya dari terjerumus ke dalam kehancuran. Artinya akal dapat menahan diri pemiliknya dari terlibat dalam kerusakan.”
Sampai di sini kita melihat bahwa pengertian aql dalam bahasa Arab hanya sebatas pada pertimbangan moral, yakni mencegah dari memperturut hawa nafsu. Kata yang bersinonim dengan aql ialah nuha, yang merupakan jamak dari nahiyyah. Sedangkan nahiyyah, kata Ibnu al-Manzhur dalam Lisan al-Arab ialah “yang mencegah dari kejelekan” (nahiyyah tanha an al-qabih). Kata lain yang bersinonim dengan aql ialah al-hijaa yang dalam Lisan al-Arab diartikan sebagai “mengerti akan kesalahan-kesalahan” (at-Tafathun ilal maghalith aw al-aghalith). Sampai di sini kita tidak menemukan pengertian aqal sebagai “mengetahui sebab-akibat.”
Kata lain yang semakna dengan aql ialah adz-dzhihn. Kata ini meski mengandung arti “pemahaman” namun masih memiliki fitur makna moral. Ibnu al-Mandzhur menjelaskan bahwa dzhihn artinya terungkap dari ungkapan dzahanani ‘an kadza (ia memahamkan aku dari perbuatan jelek ini) yang artinya alhaanii (membuatku lupa tentang perbuatan ini). Dzhihn dalam Lisan al-Arab juga dapat berarti daya (al-quwwah).
Dalam Alquran kita temukan banyak sekali ayat-ayat yang mengandung kata aql. Kendati dalam Alquran aql tidak disebut dalam bentuk kata bendanya, aql dalam bentuk kata kerjanya menunjukkan arti kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana jalan petunjuk dan mana jalan kesesatan. Kecaman Alquran untuk orang-orang musyrik karena mereka tidak mampu membedakan mana jalan petunjuk dan mana jalan kesesatan dan itu artinya la ya’qilun (mereka tidak berakal).
Sampai di sini kita dapat menyimpulkan bahwa akal dalam pemikiran Arab digerakkan oleh pertimbangan moral dan itu artinya sangat subjektif. Akal dengan model seperti ini hanya digunakan untuk melihat mana yang baik dan mana yang buruk dari objek yang diteliti. Akal dalam pengertian seperti ini tentu mereduksi objek berdasarkan criteria tertentu.
Sedangkan dalam pemikiran Barat, pengertian akal digerakkan oleh pandangan dunia yang objektif, yakni meneliti sesuatu berdasarkan relasi internalnya menurut hukum kausalitas. Sehingga pertimbangannya sangat objektif di sini.
Sejarah membuktikan bahwa ilmu pengetahuan Arab yang hidup sampai saat ini yang meliputi fikih, usul fikih, kalam, filsafat dan tasawwuf semuanya digerakan oleh standar etika dan moral.
Fikih merupakan ilmu yang digunakan untuk kebutuhan mengetahui halal dan haramnya sesuatu. Tasawwuf ialah ilmu yang digunakan untuk menapaki jalan mana yang dapat mendekatkan diri kita kepada Allah dan jalan mana yang dapat menjauhkan kita darinya (maqamat wa ahwal). Ilmu kalam juga demikian. Ilmu ini digunakan untuk menilai keyakinan yang sesat dan keyakinan yang benar soal sifat, zat dan af’al Allah. Ilmu-ilmu ini diproduk berdasarkan pertimbangan moral.
Sedangkan ilmu pengetahuan di Barat sangat maju karena pengertian akal yang objektif ini. Dalam pemikiran Barat, akal itu kerjanya ialah mengungkap kenyataan seperti apa adanya tanpa embel-embel mana baik dan mana buruk. Yang terpenting adalah dapat mengetahui objek dengan sebenar-benarnya. Pandangan dunia yang seperti inilah yang dapat mengeksplor pengetahuan secara lebih maju. Kata Ibnu Rusyd, man Ankara al-asbab faqod Ankara al-ilm (barang siapa yang menolak hukum kausalitas, maka ia telah menolak ilmu pengetahuan), itu artinya jika akal tidak mengungkap hukum kausalitas ini, maka ia tidak mampu memproduksi dan mengembangkan pengetahuan.