Lupa merupakan sifat manusiawi. Ia tidak hanya terjadi saat mengerjakan aktivitas duniawi, akan tetapi juga kerap melanda saat melaksanakan aktivitas ibadah. Di antaranya adalah saat puasa Ramadlan. Setelah menikmati santap sahur, rasa kantuk kadang tidak bisa dibendung sehingga seseorang langsung tertidur pulas. Akibatnya, ia lupa melakukan niat hingga terbit fajar. Pertanyaannya kemudian, saat malam hari lupa niat berpuasa, batalkah puasa orang tersebut?.
Menurut pendapat madzhab Syafi’i, melakukan niat di malam hari adalah kewajiban (rukun) dalam puasa wajib, termasuk puasa Ramadlan. Sehingga apabila seseorang lupa niat, maka puasanya tidak sah. Pendapat ini berlandaskan pada hadits Nabi Saw:
من لم يبيت الصيام قبل طلوع الفجر فلا صيام له رواه الدارقطني وصححه
“Barang siapa tidak meniatkan puasa di malam hari sebelum terbit fajar, maka tiada puasa yang sah baginya”. (Hadits diriwayatkan dan dishahihkan al-Imam al-Daruquthni).
Meski puasanya tidak sah, diwajibkan bagi orang yang lupa niat di malam hari untuk menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan dan minum, karena lupa akan niat puasa mengindikasikan tidak ada kepedulian dengan perkara ibadah, sehingga termasuk bentuk keteledoran. Oleh karena tidak sah puasanya, di kemudian hari, ia wajib mengqadla’ puasanya tersebut.
Al-Khathib al-Syarbini mengatakan:
(ويلزم ) الإمساك ( من تعدى بالفطر ) الشرعي كأن ارتد أو الحسي كأن أكل عقوبة له ومعارضة لتقصيره (أو نسي النية ) من الليل لأن نسيانه يشعر بترك الاهتمام بأمر العبادة فهو ضرب من التقصير
“Wajib menahan diri (dari hal-hal yang membatalkan puasa) bagi orang yang terledor berbuka puasa dengan keteledoran yang bersifat syar’i seperti murtad atau keteledoran bersifat kasat mata seperti makan, sebagai bentuk hukuman dari ketelodarannya. Wajib juga menahan diri bagi orang yang lupa niat puasa di malam hari, sebab lupanya seseorang mengindikasikan tidak peduli dengan perkara ibadah, maka hal tersebut merupakan bagian dari keteledoran”. (Al-Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj).
Sementara menurut madzhab Hanafi, niat puasa Ramadlan tidak harus dilakukan di malam hari, bahkan cukup dilakukan di siang hari sebelum al-Dlahwah al-Kubra menurut versi al-Ashah. Menurut versi lain sebelum tergelincirnya matahari (al-Zawal).
Al-Dlahwah al-Kubra adalah separuh dari al-Nahar al-Syar’i (waktu siang menurut syariat). Al-Nahar al-syar’i adalah waktu mulai terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Dengan demikian apabila fajar terbit mulai jam 04.00 dan Maghrib jam 18.00, maka al-dlahwah al-kubra sekitar jam 11.00. (Referensi dari Fath al-Qadir Karya Ibnu al-Hamam al-Hanafi, juz 2, hal. 304-305 dan al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, juz 28, hal. 24).
Dengan demikian, berpijak dari pendapat madzhab Hanafi, orang yang lupa niat di malam hari, puasanya tetap sah asalkan ia di pagi hari niat berpuasa, sebelum siang (al-Dlahwah al-Kubra atau tergelincirnya matahari).
Demikian pula dinyatakan sah orang yang lupa niat puasa di malam hari menurut madzhab Maliki apabila di awal malam hari bulan puasa, seseorang sudah niat berpuasa secara penuh di sepanjang bulan Ramadlan sebagaimana lazim dilakukan di beberapa mushalla atau masjid tertentu. Menurut madzhab Maliki, cukup niat berpuasa di sepanjang bulan Ramadlan di awal malam bulan puasa tanpa harus mengulanginya di hari berikutnya sampai akhir puasa. (Referensi dari kitab Fath al-Mu’in Hamisy I’anah al-Thalibin, juz 2, hal. 221).
Demikian hukum puasa orang yang lupa niat di malam hari. Simpulannya terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama’ sesuai penjelasan di atas. Sebagai langkah berhati-hati, hendaknya puasa tetap diqadla’ mengikuti pendapat yang tidak mengesahkan. Semoga bermanfaat.