Ramai-ramai ihwal logo HUT RI ke-75 yang dianggap mirip salib sempat menjadi bahasan dan perbincangan yang cukup gempita. Tidak hanya di media sosial, polemik logo HUT RI itu bahkan mendorong orang melakukan selebrasi menyensor baliho yang telah terpasang di sebuah gedung bilangan Lhoksumawe.
Katanya sih logonya betulan mirip salib dalam bentuk besar, sehingga jika umat Islam melihatnya, khawatir akan menggoyahkan imannya, atau ada juga yang mempertanyakan “apa maksudnya pakai simbol agama?”
Memang, kegaduhan musiman di Indonesia tampak seperti rutinitas yang tak berkesudahan yang terus dipaksa untuk dimunculkan setiap momen tertentu. Telak, isu musiman kerap kali dibenturkan dengan sentimen terhadap satu agama atau kelompok.
Di belahan bumi lain, saya pernah singgah di sebuah masjid untuk menunaikan kewajiban sembahyang Maghrib. Di saat yang sama, seorang ustadz sedang mengumandangkan ceramahnya di masjid setempat. Bejibun ayat-ayat suci pun ia bacakan, demikian dengan dalil yang dikutip dari hadits Nabi untuk melegitimasi apa yang hendak Pak Ustadz itu ceramahkan.
“Masa iya, kita dianggap makar ketika kita ingin mendirikan dan mengubah sistem negara seperti negara yang sudah Rasulullah contohkan kepada kita. Itu sebuah kesunahan, maka dari itu, yok kita semangat mengamalkan sunah Rasul,” terang Pak Ustadz berapi-api.
Mendengar perkataan Pak Ustadz ini, awalnya saya merasa bodo amat. Sial, itu tidak bertahan lama. Imajinasi saya seketika mulai menerka. Sistem negara seperti apa yang dicontohkan Rasulullah SAW seperti yang dibilang oleh sang ustadz? Apakah sebuah negara yang tamaddun atau berperadaban, karenanya Rasulullah SAW mengganti Yatsrib dengan nama Madinah? Ataukah yang dimaksud di sini adalah sebuah daulah Islamiyah seperti yang tak pernah habis dikampanyekan sebagian kelompok?
Mestinya, jika merujuk pada bentuk negara yang dicontohkan Nabi SAW, kita harus merujuk pada bentuk tatanan masyarakat yang beradab dan bertambah maju. Bukan pada daulah Islamiyah.
Untuk memastikan praduga tersebut, saya lalu menjadi antusias mendengarkan ceramah pak ustadz yang tidak dapat saya lihat raut wajahnya karena tertutup hijab pembatas antara, ekhm, ikhwan dan akhwat.
Puncaknya, Pak Ustadz lagi-lagi mengajak para jamaah agar menyepakati bahwa tidak ada sistem terbaik di dunia ini selain daulah (Khilafah) Islamiyah.
“Sistem negara yang dijalankan hari ini tidak lain adalah sistem thogut. Jangan sampai kita mati dalam kondisi masih berada dalam kondisi seperti ini,” tegasnya. Masya Allah Pak Ustadz, saya menghela nafas mendengar ceramah yang demikian “heroik”.
Dua fenomena di atas memang berbeda secara situasional, tetapi serupa dalam konteks yang, dalam istilah Martin Van Bruinessen disebut sebagai gejala conservative turn. Atau sederhananya, ia dimengerti sebagai sebuah gejala yang amat kentara pasca runtuhnya orde baru di Indonesia. Karenanya wajah Islam mengalami pergeseran citra, yang tadinya berwajah sumringah, setelah reformasi wajah itu berubah menjadi garang dan sangar.
Konservatisme yang sedemikian bebal itu, demikian Martin Van Bruinessen, dapat menjamur subur setidaknya karena beberapa faktor. Pertama, hubungan antara demokratisasi dan memudarnya pengaruh pandangan keislaman yang liberal dan progresif. Kedua, menguatnya pengaruh Timur Tengah melalui alumni-alumninya yang menyebarkan pemahaman keislaman yang harfiah dan skripturalis kepada masyarakat serta melalui penerjemahan kitab-kitab ke dalam bahasa Indonesia. Dan, sebagai tambahan, belajar agama tanpa guru atau mata rantai keilmuan yang jelas termasuk penyumbang konservatisme yang cukup signifikan.
Sadar atau tidak, conservative turn ini selalu hadir di sela-sela aktivitas umat Islam Indonesia. Dalam kondisi merebaknya conservative turn seperti ini, kemunculan politik identitas yang sangat kental bernuansa agama dan terkadang menegasi agama lain pun tak terhindarkan.
Senada dengan itu, Azyumardi Azra pernah mensinyalir bahwa religious conservatism atau konservatif agama merupakan sebuah fenomena yang umum terjadi di masyarakat dengan dominasi agama tertentu. Konsekuensinya, yang besar merasa benar, dan yang lain dianggap salah. Pokonya ingin menang sendiri.
Selain contoh sederhana dari dua fenomena di awal tulisan ini, konservatimse agama juga menolak pemahaman dan pembaruan pemikiran serta praktik agama berdasarkan perkembangan dan kebutuhan zaman. Misalnya adalah menolak keluarga berencana dan menganjurkan banyak anak dengan dalih memperbanyak umat Nabi Saw, atau menolak imunisasi anak dengan dalih vaksin mengandung zat yang tidak halal. Sayangnya, semua itu dilakukan dengan hasrat kecurigaan semata, dan di saat yang sama tidak melakukan upaya-upaya yang bersifat kompetitif. (AK)