Seorang Muslim, tanpa diperintah, tentu dengan sendirinya akan tunduk kepada Alquran dan Sunnah. Dapat dipastikan, bahwa tidak ada satupun Muslim yang mengingkari untuk tidak tunduk kepada keduanya. Meski demikian, seiring dengan tidak mudahnya untuk mempelajari dan memahami keduanya, sebagian Muslim juga pada akhirnya lebih memilih mengikuti pendapat para ulama yang dinilai paham betul akan persoalan-persoalan yang menyangkut keduanya. Belakangan, seruan untuk kembali kepada Alquran dan Sunnah kembali mencuat dengan segudang gambaran tentang logika tunggal mendirikan negara Islam.
Sederhananya adalah bahwa sistem yang membayangi hidup bernegara meski diubah dengan sistem Islam yang mengacu kepada Alquran dan Sunnah. Sistem demokrasi saat ini misalnya, telah melahirkan banyak sekali keganjilan-keganjilan yang meruntuhkan nilai-nilai keadilan dan juga bahkan ketahuidan seperti korupsi, nepotisme, dan kekuatan modernitas yang tanpa batas. Oleh sebab itulah, tidak lain dan tidak bukan, satu-satunya solusi atas segala persoalan itu adalah merubah sistem negara itu sendiri dengan sistem Islam sebagaimana di contohkan Nabi.
Kegemilangan hidup bernegara dengan sistem Islam dalam catatan sejarah memang barangkali dibenarkan. Misalnya Nabi yang menjadi pemimpin di Madinah. Kemajuan Dinasti Umayyah dan Abbasaiyah. Serta Turki Ustmani yang acapkali membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Kenyataan sejarah yang demikian barangkali ada dalam bayangan hati dan pikiran mereka yang selalu memperjuangkan berdirinya negara dengan nilai-nilai Islam yang sangat lekat di dalamnya.
Benar bahwa panutan terbaik adalah Alquran dan Sunnah. Alquran memang, sebagaimana dikatakan Allamah Thabathaba’i merupakan undang-undang paling utama kehidupan. Amat jelas bahwa dalam Alquran terdapat banyak ayat yang mengandung pokok-pokok akidah keagamaan, keutamaan akhlak dan prinsip-prinsip umum hukum perbuatan. Memberikan arahan kepada manusia agar dapat mencapai kebahagiaan, ketenangan, dan pencapaian cita-citanya, yang di dalam naungan tujuan hidup manusia itu mereka juga berharap menemukan kemerdekaan, kesejahteraan, kesentosaan, dan lain-lain. Selain itu, melalui Sunnah Nabi manusia juga setidaknya diajak untuk hidup dalam geliat rasa kasih dan sayang.
Tidak ada yang keliru dari kedua sumber yang selalu dijadikan landasan untuk mendirikan negara Islam. Akan tetapi, barangkali sosok seperti apa yang akan mewakili Nabi sebagai pengganti untuk menjadi Sang Khalifah nantinya, adalah pertanyaan yang meski dijawab sebelum sistem itu sendiri berjalan pada akhirnya. Bukankah untuk menghindari subjektivitas kita kemudian dikenalkan oleh para ulama dengan ‘Ijma’, sebuah kesepakatan bersama. Titik persoalanya dengan begitu adalah bukan pada tentang dasar negara dan atau sistem yang dianut. Melainkan adalah pekerjaan rumah bersama agar bagaimana manusia-manusia itu dapat tumbuh dan memiliki pribadi yang Qurani serta meneladani Nabi.
Seorang Muslim mana yang dengan suka rela akan memberikan hartanya sebagaimana Abu Bakar dan Ustman. Seorang Muslim mana yang akan gagah berani dan hidup sederhana seperti Umar. Seorang Muslim mana yang akan sanggup menahan kesabaran sebagaimana kesabaran Ali bin Abi Thalib. Mereka adalah seorang Muslim yang juga sekaligus pemimpin kaum Muslim yang akan sangat sukar dijumpai padanannya saat ini.
Persoalan mendirikan negara Islam bukan saja semata-mata tentang dalil untuk mendirikannya, akan tetapi juga tentang bagaimana menghadirkan figur-figur yang memiliki ketaqwaan matang. Figur-figur yang sadar betul akan bagaimana cara berjuang di jalan Tuhan. Bersih dari politik-politik praktis dan benar-benar mampu mengayomi dan menjadi contoh masyarakat pada umumnya. Terjebak dengan logika tunggal, menyalahkan dan menyangka bahwa dasar dan atau sistem negara sebagai dalang dari kebobrokan moral hari ini, menggantikannya dengan slogan negara Islam tanpa mencetak pribadi-pribadi yang mampu benar-benar meneladani Nabi, apakah tidak sama saja seperti halnya mengganti kulit kacang dengan isi kacang yang tetep busuk.
Menciptakan masyarakat yang menanamkan betul nilai-nilai ajaran Islam tentu tidak hanya menyangkut persoalan-persoalan dasar dan atau sistem negara, serta politik belaka. Nabi membangun masyarakat Madinah dengan penuh kesabaran, ketelatenan, dan juga kasih sayang. Benar bahwa nilai-nilai ajaran Islam akan dapat mengatasi krisis moralitas hari ini, tapi apakah harus dengan cara dengan logika tunggal mendirikan negara Islam adalah solusi yang mungkin justru akan banyak menuai persoalan di sana-sini.
Yang mungkin lebih berbahaya dari itu, tidak lain dan tidak bukan adalah perpecahan antarsesama anak bangsa. Jika sudah demikian, negeri yang kaya raya ini justru bukan tidak mungkin akan dimanfaatkan oleh segelintir orang yang memiliki kepentingan. Oleh sebab itulah, bukankah justru akan sedikit lebih kiranya jika misalnya pendidikan sebagai wadah tempat bernaungnya ilmu pengetahuan terus dikembangkan dan dipastikan telah sampai ke seluruh anak bangsa. Mendirikan dan mengembangkan pusat-pusat pelatihan kerja, kerajinan, dan sebagiannya.
Pada saat yang sama, kepekaan atas persoalan-persoalan sosial dan merosotnya moralitas juga meski terus digodok. Jika sudah demikian, bukan tidak mungkin tanpa slogan negara Islam masyarakat dengan sendirinya akan begitu kental dengan nilai-nilai yang diajarakan oleh Islam.