Dibanding kejadian-kejadian serupa sebelumnya, yang sedikit beda dari peristiwa-peristiwa mutakhir di Prancis ialah respons dari otoritas pemerintahan di sana yang kian cenderung ke pendulum politik ultranasionalis. Ini berarti diskursus anti-Muslim kian menguat, populisme kanan-jauh akan meraup keuntungan politik, dan gejala-gejalanya menunjukkan bahwa sekularisme ekstrem Prancis, atau laïcité, belum akan melunak hingga beberapa waktu ke depan.
Telusurilah linimasa peristiwanya: 1) Hebdo mempublikasikan ulang kartun lima tahun lalu untuk menandai dimulainya pengadilan atas pelaku teror 2015 terhadap staf majalah itu; 2) Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan akan melawan ‘Islam separatis/radikal’, dan juga mengeluarkan pernyataan yang cukup banyak disalahpahami bahwa “Islam berada dalam krisis di seluruh dunia” sehingga memicu protes banyak negara mayoritas Muslim; 3) guru di Paris memperlihatkan kartun Hebdo itu di kelas sebagai contoh kebebasan berekspresi; lalu di kemudian hari ia dibunuh oleh teroris (remaja 18 tahun) yang bukan anak sekolah itu; 4) ribuan demonstran turun ke jalan membela kebebasan berekspresi dan laïcité, lalu kartun Hebdo disiarkan di TV dan dipampang di beberapa tempat publik; 5) serangan terhadap jemaah gereja di Nice oleh orang Tunisia (21 tahun) yang baru beberapa pekan tiba di Prancis; 6) otoritas Prancis menutup sejumlah organisasi Muslim yang mereka pandang punya kaitan dengan ‘Islam radikal’ walau tidak berhubungan langsung dengan kasus teror itu (ironisnya atas nama menjaga kebebasan berekspresi); 7) pemerintah Prancis berencana membuat UU untuk memperkuat sekularisme sebagai identitas Prancis, satu manuver yang bisa menguntungkan Macron guna menarik konstituen dari kelompok kanan-jauh untuk menghadapi pemilu Prancis 2022.
Dalam percakapan populer di sini (juga di banyak tempat lain), sebagian tanggapan terhadap peristiwa-peristiwa di Prancis itu cukup tipikal. Beberapa menyebut bahwa ini persoalan agama, yakni bahwa Islam adalah agama yang menjustifikasi terorisme, atau, dalam kalimat yang lebih lugas, sumber masalahya adalah Islam itu sendiri. Beberapa yang lain membela kebebasan berekspresi yang isinya mencakup olok-olokan terhadap simbol-simbol sakral bagi komunitas lain sembari menekankan bahwa ini merupakan warisan sejarah Pencerahan di Prancis. Beberapa lainnya menguatkan pernyataan Macron dengan mendukung penegakan laïcité secara lebih tegas.
Menanggapi perbincangan yang demikian, yang sebagian besar darinya saya dapati di media sosial, izinkanlah hamba yang daif nan fana ini untuk menyampaikan lima tesis berikut ini.
#1 Aksi teror itu tidak merepresentasikan Islam, dan perbincangan tentang apakah Islam bertanggungjawab atas aksi teror dilatari oleh diskursus ‘Barat vs Islam’ yang timpang.
Ya, kalimat awal tesis pertama ini tetaplah harus diulang kepada mereka—khususnya di Barat tapi juga sebagian pihak di sini—yang menganggap bahwa aksi teror itu benar terinspirasi oleh ajaran Islam meskipun tahu (atau tidak mau tahu?) sejumlah besar kelompok arus utama Islam mengecam tindakan itu, tentu juga atas nama Islam, dan bahkan sampai harus mengutarakannya berulang kali, antara lain karena tekanan diskursus di Barat. Tekanan itu, dalam kalimat yang tanpa segan, kurang lebih berbunyi: “Jika kalian tidak mengecamnya, berarti kalian adalah bagian dari para teroris itu.”
Sayangnya, kecaman yang disampaikan oleh tokoh atau ulama yang diikuti sebagian besar kaum Muslim, menurut mereka yang berpandangan seperti di atas, tampak dipandang kurang Islami dibanding aksi teror itu. Padahal, dalam kasus teror terakhir Prancis, pelakunya masih sangat muda (18 dan 21 tahun—saya duga kuat pelakunya belum begitu mendalami keilmuan agama), dan di sebagian besar kasus-kasus lain pelakunya berafiliasi atau bergerak sebagai lone wolf dari ‘instruksi’ entah al-Qaeda atau ISIS di Timur Tengah. (Teror di Vienna yang terjadi hari ini, ketika esai ini ditulis, juga dilakukan oleh seorang simpatisan ISIS, berusia 20 tahun.)
Pola pikir semacam di atas sesungguhnya mirip dengan menganggap ISIS lebih setia pada Islam, sementara ratusan ulama dan cendekiawan Muslim yang menentangnya, dengan berangkat pada argumen keislaman, dianggap tidak mewakili Islam. Ini berarti, yang serius merumuskan argumen keislaman dianggap apologetis, sementara ISIS (yang sebagian pelaku kekerasannya adalah berandalan saja, yang kebetulan mendapat saluran kekerasan melalui ISIS; sebagian dari kaum elitenya adalah orang sekuler mantan pengikut partai Baath-nya Saddam di Iraq; dan banyak pengikutnya bukan orang saleh) dianggap lebih tulus dalam beragama.
(Jika Anda tertarik membaca lebih dalam bagaimana argumen keislaman kontra-kekerasan dalam merespons blasphemy, silakan membaca tulisan lima tahun lalu di blog saya ini, yang cukup panjang. Teaser: tidak ada dasar Qurani bagi hukumun bunuh untuk pelaku blasphemy.)
Yang kerap luput dalam perbincangan tentang apakah Islam bertanggung jawab atas terorisme semacam di atas ialah kesadaran akan adanya ketimpangan dalam diskursus. Di Barat, ketika isu yang diperbincangkan ialah soal ‘demokrasi dan Islam’, ‘sekularisme dan Islam’, atau ‘kebebasan berekspresi dan Islam’, yang ditekankan kurang lebih ialah ‘seberapa bisa Islam menyesuaikan diri dengan demokrasi, sekularisme, kebebasan berekspresi, dst’, alih-alih ‘bisakah kita mendialogkan keduanya sehingga tercapai satu titik ketika satu sama lain bisa saling bersepakat?’ Asumsi yang tersembunyi dalam ketimpangan diskursus ini: Islam dalam dirinya mengandung masalah yang membuatnya tidak kompatibel dengan ‘peradaban Barat’.
Dalam iklim diskursus yang demikian, Muslim di Barat berada dalam posisi defensif dan didikte oleh kelompok anti-(imigran)Muslim yang dalam tahun-tahun terakhir mendapat ruang politik yang kian luas. Akibatnya, kaum Muslim mudah menjadi pihak tersalah. Bila di pertengahan abad lalu kambing hitam persoalan adalah Yahudi dan melahirkan antisemitisme (ingat sejarah berdirinya Nazi), kini Muslim sasarannya dan melahirkan apa yang kerap disebut dengan ‘Islamofobia’. Sama seperti Yahudi dulu, lebih-lebih mengingat banyak darinya yang menyandang status keturunan imigran, Muslim dianggap warga ‘asing’. Bila dulu problem berkisar pada apa yang disebut ‘the Jewish question’ (meminjam salah satu judul karya Marx), kini sebagian sarjana menyebutnya ‘the Muslim question’.
Sebagai contoh ringan tentang bagaimana diskursus ini bekerja: Ketika Mesut Ozil membawa Jerman juara piala dunia 2014 orang tidak mempermasalahkan latar belakangnya dari keluarga imigran Muslim Turki. Tetapi ketika performa Jerman sangat buruk di piala dunia 2018, latar belakangan keislaman Ozil disorot kencang hingga membuatnya keluar dari tim Jerman. Sebagai catatan tambahan: pada 2018 itu, Prancis, sebagai tim Eropa dengan komposisi keturunan imigran terbanyak (dan sebagiannya Muslim), menjuarai piala dunia, dan orang-orang Prancis saat itu merayakan betapa multikulturalisnya Prancis dan betapa inklusifnya Tim Ayam Jantan terhadap imigran—bandingkanlah ketika isunya menyangkut Charlie Hebdo.
Contoh yang lebih relevan: ketika terjadi aksi teror dan pelakunya Muslim, identitas keislaman pelaku mendapat sorotan tajam, tetapi jika pelakunya non-Muslim, latar belakang keagamaan atau ideologinya cenderung terlupakan. Dibanding white supremacy, adjektiva ‘Islamic’ jauh lebih mudah tersemat ke kata terrorism di pemberitaan media dan komentar pemimpin-pemimpin Eropa. Ingat aksi teror Christchurch di Selandia Baru tahun lalu yang, dengan menyeksamai manifesto pelakunyanya, jelas dan eksplisit terinspirasi gagasan tentang terancamnya supremasi kulit putih oleh imigram Muslim. (Berapa banyak kelompok yang mengampanyekan supremasi kulit putih [sampai harus berulang kali] mengecam aksi teror itu?)
Contoh yang lebih dekat lagi: ketika Anders Breivik membunuh 77 orang di Norwegia, sementara dari aktivisme ideologisnya terekam bahwa ia mendaku diri sebagai ‘sosio-nasionalis’ yang ingin mempertahanakn identitas Eropa dari agresi kultural oleh para imigran, ideologinya tidak tersemat—padahal bisa disebut, misalnya, sebagai socio-nationalist terrorism. Kata yang cenderung dipakai dalam pemberitaan ialah ‘psikopat’ dan setelah dibawa ke psikiatris, ia didiagnosa mengidap gangguan personalitas narsisistik. (Dibanding diskursus tentang ‘Islam dan terorisme’, berapa banyak orang yang kemudian bicara bahwa nasionalisme juga bisa melahirkan terorisme?)
Contoh-contoh semacam ini bisa didaftar lebih banyak. Usulan saya untuk memperbaiki diskursus ini, agar adil, ada dalam dua pilihan.
Jika asumsinya adalah agama dan ideologi bisa menggerakkan seseorang untuk melakukan tindakan teror, maka agama dan ideologi sekuler pun memiliki potensi yang sama mematikannya. Yang membuat diskursus tentang penyebab ideologis bagi kekerasan cenderung tidak fair: dakwaan kesalahan lebih tajam kepada agama, tapi cenderung terlupa jika pelakunya berideologi sekuler. (Lebih dalam lagi soal apakah agama dalam dirinya mengandung unsur inheren yang membuatnya lebih rentan terhadap kekerasan dibanding ideologi sekuler, sila baca tulisan saya ini.)
Pilihan kedua: dengan asumsi bahwa agama dan ideologi tidak bisa secara langsung menggerakkan terorisme dan memerlukan faktor-faktor tambahan lain untuk bisa sampai pada aksi kekerasan, maka: ketika aksi teror dilakukan seorang Muslim, lebih-lebih setelah tahu bahwa pelaku ini tidak benar-benar memahami agama atau tidak saleh beragama, baiknya kita sebut saja pelakunya, seperti dalam kasus di Norwegia itu, sebagai ‘orang gila’.
#2 Terkait terorisme, ideologi bisa berperan, tapi faktor ekonomi-sosial-politik yang menyuburkannya tak boleh diabaikan.
Dalam beberapa contoh kasus, terutama aksi-aksi individual, terorisme bisa didorong oleh motif ideologis yang berisi kebencian terhadap kelompok lain. Tetapi untuk bisa menggerakkan banyak orang, ide membutuhkan kondisi ekosospol yang subur bagi persemaiannya. Istilahnya dalam studi gerakan sosial ialah ‘lingkungan pendukung’ (enabling environment). Ini bisa turut menjelaskan mengapa narasi teroris beresonansi dan karenanya menarik banyak pengikut dari Muslim di Barat yang teralienasi dan merasa diperlakukan sebagai warga kelas dua. Di luar negara mayoritas Muslim, sebagian besar para pengikut ISIS datang dari Eropa.
Dari semua negara Eropa, Prancis memiliki jumlah penduduk Muslim terbesar, dengan jumlah sekitar 7 persen dari total populasinya. Tetapi Muslim menjadi yang terbanyak menghuni penjara-penjaranya. Penghuni pemukiman miskin di sekitar kota-kota besar adalah kaum imigran, dan rasio penganggurannya beberapa kali lipat lebih tinggi dari rata-rata nasional. Seseorang dengan nama yang berbau Arab akan susah mendapat pekerjaan dibanding imigran lain. PM Prancis dahulu, Manuel Valls, ketika berpendapat tentang serangan teror 2015, menyebut kenyataan demografis ini sebagai bentuk “geographical, social, ethnic apartheid” di Prancis. Dulu saat masih berada di partai sosialis, Macron sempat menyatakan ingin membenahi kebijakan imigrasi Prancis yang lebih ramah kaum pendatang. Kini, setelah jadi presiden dan mendapat tekanan dari kelompok kanan, dia memperketat aturan imigrasi.
Bukan semata khas Prancis, imigrasi juga menjadi isu negara-negara Eropa secara umum. Di antara fitur utama populisme-kanan adalah anti-imigran. Namun, ketika kata ‘imigran’ disebut, asosiasi yang segera terbenak ialah kepada kaum Muslim, bukan kepada Yahudi misalnya, sebab penentangan terhadap anti-semitisme kini sudah menjadi norma. Dan sekalipun yang bersangkutan sudah merupakan keturunan kedua atau ketiga (tentu lahir dan besar di Prancis), keturunan Muslim imigran akan lebih cenderung dianggap ‘asing’ dibanding bila yang bersangkutan adalah non-Muslim. Misalnya, presiden Prancis dahulu, Sarkozy, yang memiliki ayah asal Hongaria; atau mantan walikota Paris Bertran Delanoe yang kelahiran Tunisia. Latar belakang leluhur mereka yang imigran hampir tak dipermasalahkan.
Marginalisasi atau, dalam istilah sarjana lain, ‘ghettoisasi’ terhadap Muslim ini, sebagaimana diargumentasikan oleh antropolog yang lama mengkaji Islam di Prancis (juga di Indonesia), John Bowen, dapat memperkuat perasaan teralienasi kelompok Muslim, yakni ketika mereka tidak dipandang sebagai warga Prancis sepenuhnya. Perasaan teralienasi merupakan lahan subur (alias menjadi ‘lingkungan pendukung’) bagi tumbuh-kembang radikalisme.
#3 Laïcité tidak fixed, dan identitas ke-Prancis-an adalah konsep yang dikontestasikan terus-menerus.
Laïcité atau sekularisme khas Prancis itu kerap disebut sebagai identitas nasional Prancis. Komentar pers Macron pascaperistiwa teror menyebut bahwa serangan terhadap kebebasan berekspresi (yang dalam pikirannya tentu mencakup kebebasan membuat kartun yang mengolok-olok simbol sakral agama) adalah sama dengan serangan terhadap laïcité yang menjadi ‘nilai Republik Prancis’.
Dalam studi tentang sekularisme, laïcité biasa dikategorikan sebagai sekularisme asertif. Praktik lainnya ada di Turki masa Kemal Attaturk dulu. Kontrasnya adalah sekularisme pasif, seperti yang dipraktikkan di Amerika, misalnya. Dalam perbandingan yang sederhana: bila sekularisme pasif menjaga freedom of religion (bebas beragama), sekularisme asertif bergerak lebih jauh dengan menerapkan freedom from religion (bebasnya ruang publik dari unsur-unsur keagamaan).
Yang hendak dibahas di sini: apakah penerapan laïcité ini selalu konsisten dan mulus? Sekali lagi mengutip John Bowen, kali ini dari penulusuran sejarahnya yang ia tulis di buku Why the French Don’t Like Headscarves: Islam, the State, and Public Space (2007): pada praktiknya dalam sejarah, Prancis mengakui (dan sebagai konsekuensi juga mendefinisikan apa yang bisa disebut sebagai) agama, yakni melalui biro urusan keagamaan di bawah Kementerian Dalam Negerinya. Jadi, negara sekuler ini juga masih mengurusi agama.
Melalui biro di Kemendagri inilah negara 1) memberi subsisi kepada gereja-gereja Katolik, juga kepada gereka Protestan dan sinagog Yahudi walau dalam kadar yang lebih sedikit; 2) memberikan bantuan finansial ke sekolah-sekolah swasta keagamaan, khususnya Katolik, walau dengan syarat ajaran Katolik hanya menjadi mapel pilihan; 3) negara memastikan ada suplai makanan halal dan kosher; dan 4) mengatur dan mendanai pelatihan pastor, rabi, dan imam.
Ini menunjukkan, dalam paparan Bowen, bahwa konsep laïcité pada mulanya, berkat negosiasi dan kompromi dengan Gereja Katolik, masih ‘lunak’. Faktanya negara masih mengakomodasi kepentingan keagamaan. Pengerasan makna laïcité dalam makna ‘ruang publik bersih dari simbol keagamaan’ baru mulai pada 1970-an. Dalam kerangka makna ini, seseorang yang membawa simbol agama tidak bisa menjadi pejabat negara. Kaum Sikh yang selalu berturban tidak bisa mendaftar jadi aparatur sipil negara. Khusus menyangkut Islam, pelarangan hijab di ‘ruang publik’ (rujukan persisnya: ruang milik negara) baru mulai menjadi perbincangan sejak awal dasawarsa 2000-an. Mulai masa inilah, laïcité kerap dikutip sebagai identitas nasional yang sedang terancam oleh Islam. Kasus pelarangan hijab ini sempat digugat ke pengadilan HAM Eropa, dan hasilnya pengadilan memberi diskresi kepada Prancis untuk mempertahankan identitas nasionalnya.
Semua paparan sejarah ini (lebih detail bisa dibaca buku terkutip di atas) menunjuk pada satu poin: laïcité, sebagaimana lazimnya identitas nasional di berbagai negara, ialah konsep yang pengertian, penafsiran, dan penerjemahan praktisnya terus menerus dikontestasi oleh aktor-aktor politik di dalamnya. Bila nanti rencana Macron untuk memperkuat laïcité melalui UU khusus berjalan mulus, ini akan menjadi momen ‘reifikasi’: laïcité yang sebelumnya cair menjadi beku dan, melihat konteks yang mengitarinya belakangan ini, akan cenderung berpihak pada aspirasi kelompok kanan-jauh.
#4 Laïcité adalah warisan sejarah Prancis, demikian pula dengan banyaknya kaum Muslim di Prancis. Masing-masing punya implikasi.
Satu argumen yang ingin membekukan identitas nasional Prancis menyatakan bahwa laïcité ialah warisan sejarah khas hasil revolusi Prancis melawan cengkeraman Gereja Katolik dan mulai terbubuhkan dalam undang-undang tentang pemisahan negara dan gereja sejak 1905. Namun demikian, penjajahan terhadap negara-negara di Afrika Utara yang banyak penduduknya adalah Muslim juga bagian dari sejarah Prancis. Benar bahwa laïcité diperjuangkan dengan berdarah-darah, tetapi sejarah Prancis juga tidak bersih dari darah-darah bangsa yang dijajahnya. Sejarah penjajahan inilah yang turut menjelaskan mengapa ada banyak kaum Muslim di Prancis yang sebagian besarnya adalah keturunan imigran asal Afrika Utara.
Bila diskursus tentang sejarah dikutip untuk memperkokoh laïcité, sejarah tentang keberadaan Muslim di Prancis juga bisa dikutip untuk menyokong konsep lain yang juga populer, bahkan diucapkan oleh Macron dalam konferensi persnya, yakni le vivre ensemble, ‘hidup bersama’. Keduanya terus dikontestasikan. Bila antisemitisme bisa menjadi norma, dan sensitivitas kultural terhadap kaum Yahudi bisa diakomodasi, mengapa tidak dengan kaum Muslim?
Terhadap pertanyaan terakhir ini, satu keberatan yang acap kali segera mengemuka ialah: antisemitisme menyasar Yahudi sebagai manusia (karena itu Charlie Hebdo memecat stafnya yang mereka anggap telah mengampanyekan antisemitisme), sedangkan kartun Charlie Hebdo menyasar Islam sebagai agama. Benarkah klaim ini?
Pada peringatan setahun teror 2015 terhadap Hebdo, majalah ini mengkarikaturkan bocah pengungsi asal Suriah, Aylan Kurdi, yang meninggal terdampar di pantai. Kata Hebdo, “Apa jadinya jika Aylan dewasa nanti? Jadi peleceh wanita di Jerman.” Baru-baru ini, mantan mufti Bosnia menulis surat terbuka kepada Presiden Macron dan di dalam tulisan itu ia melampirkan contoh-contoh kartun Hebdo yang memparodikan Muslim Bosnia korban genosida. Artinya, yang dileluconkan dalam kasus ini bukan agama, melainkan manusianya. Pemecatan staf majalah itu ialah karena tulisannya yang mencemooh presiden Prancis dahulu, Sarkozy. Kata staf itu dalam tulisannya, Sarkozy pindah agama Yahudi karena ingin menikahi wanita Yahudi. Cemoohan ini belumlah seprovokatif banyak kartun Hebdo lain, tetapi ia dipecat.
Jadi, Prancis bisa sensitif kala isunya menyangkut perasaan orang Yahudi. Tulisan Kevin Couette menyebutkan bahwa intelektual publik yang mengkritik Israel akan jarang tampil di televisi (ada yang malah masuk daftar hitam karena menyebut Isreal dengan “Isra-Heil”) sementara yang mengkritik Islam akan banyak tampil di media. Sejauh ini saya belum menjumpai alasan rasional apa yang bisa menjustifikasi perlakuan berbeda ini.
#5 Kebebasan berekspresi berisi hak—dan tanggung jawab terhadap konsekuensinya.
Tujuan paling esensial dari kebebasan berekspresi dalam demokrasi ialah sebagai mekanisme cek transparansi dan akuntabilitas penguasa, baik penguasa politik maupun agama. Atas dasar tujuan ini, kebebasan berekspresi adalah hak yang mesti dijaga. Blasphemy, atau penodaan/penistaan agama dalam istilah yang lebih populer di sini, idealnya tidak diselesaikan dengan pidana—karena definisinya susah dipancangkan (padahal hukum pidana mesti menyasar tindakan yang bisa terukur jelas), kecuali jika sudah mengandung unsur hasutan kekerasan (incitement to violence). Tulisan lampau saya, sebagaimana sudah disitir di atas, memberikan justifikasi keislaman bagi respons nirkekerasan terhadap blasphemy.
Pun demikian, bagaimana cara menerapkan dan mengatur kebebasan berekspresi itu memiliki variasi. Dalam kasus Prancis, dengan tetap memakai sekularisme sebagai ideal pengaturan hubungan agama dan negara, setidaknya ada dua pilihan skema.
Pertama, Prancis bersikukuh dengan model kebebasan berekspresinya yang sudah berjalan kini, yang mencakup kebebasan mencemooh simbol sakral keagamaan. Ini berarti Muslimlah yang mesti menyesuaikan diri dengan tidak mudah baper. Walaupun lahir dan besar di Prancis, bila seorang Muslim tidak menerima paket laïcité yang demikian ini, berarti ia ‘bukan Prancis sepenuhnya’ dan asimilasinya ke dalam kultur Prancis gagal.
Kedua, walau kecil kemungkinannya untuk terjadi dalam waktu dekat, Prancis berganti haluan ke jenis sekularisme yang lebih sadar akan multikulturalisme. Ekspresi identitas kultural yang beragam diberi ruang di arena publik. Bagaimana terjemahan praktisnya tidak mudah dirumuskan, tetapi setidaknya ada tujuan minimal yang bisa dipancangkan, yaitu, meminjam istilah Manuel Valls terkutip di atas, meminimalisasi ‘aparteid etnis, sosial, dan geografis’, membuat Muslim dan komunitas minoritas lain merasa tidak terasingkan, dan pada gilirannya menyempitkan ruang persemaian ‘radikalisme’.
Secara teoretis, saya berpendapat, pilihan kedua akan lebih memudahkan proses ‘integrasi’, satu konsep yang selalu menyertai perbincangan isu tentang imigran di Eropa. Menurut Anda, para pembaca yang budiman, dan lebih khusus lagi bila ada yang mendalami khusus kajian tentang Prancis, mana yang kira-kira lebih potensial untuk bisa mencapai ideal ‘le vivre ensemble’, ‘hidup bersama’, dari dua skema ini?
*) Artikel ini telah tayang pertama kali di blog penulis