Manusia diciptakan oleh Allah dengan memiliki corak dan karakter masing-masing. Semuanya memiliki rahasia dan hikmah tersendiri. Dalam hal ini manusia dikategorikan menjadi dua. Pertama golongan orang yang beruntung. Kedua golongan orang yang celaka atau buntung.
Abu al-Lais as-Samarkandi dalam Tanbih al-Ghafilin mengutip perkataan Fudhail bin Iyadh menjelaskan bahwa golongan orang yang beruntung mempunyai lima ciri:
Pertama, orang yang mempunyai keyakinan hati yang tinggi akan janji yang diberikan oleh Allah, mulai dari urusan Rizki bahwa setiap makhluknya mempunyai jatah Rizki masing-masing, maka tak perlu sikut-sikutan sampai menghalalkan segala cara.
Kedua, berprilaku hati-hati dalam urusan agama dengan tidak berfanatik buta dalam memahami maupun mempraktikannya, karena banyak orang yang tertipu dengan merasa dirinya paling sesuai dengan ajaran agama, namun tak mengetahui amalan yang bisa menghancurkannya.
Ketiga, mengambil urusan dunia secukupnya dengan tak melalaikan hak orang lain maupun melupakan urusan akhirat. Yang dibutuhkan adalah cara menejemen urusan duniawi agar membawa dampak positif dan bermanfaat sampai akhirat.
Keempat, mampu meredam dan menundukkan kedua mata dari penglihatan yang mengarahkan kepada hal negatif karena berawal dari mata orang bisa terlena akan segala-galanya. Suami bisa lupa istri gara-gara mata yang tak terjaga.
Kelima, mengarahkan badan kita untuk tidak melakukan kejahatan maupun kemaksiatan karena pada dasarnya orang yang melakukan hal yang dilarang sama saja ia tak sayang akan dirinya dan keluarganya.
Kelima hal diatas sangat perlu diterapkan dalam kehidupan supaya menjadi manusia yang beruntung dalam urusan duniawi dan ukhrawi dengan tak mengorbankan kewajiban yang harus dilakukan sehingga mendapatkan predikat dengan golongan orang yang shalih.