Untuk menjalani kehidupan di dunia ini, manusia membutuhkan sesuatu bernama ilmu, sedangkan salah satu sarana untuk memperoleh ilmu adalah dengan membaca. Hal ini senada dengan wahyu pertama Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw tentang perintah membaca.
Di samping itu, dalam hadis yang cukup populer disebutkan bahwa hukum menuntut ilmu itu wajib bagi laki-laki maupun perempuan. Bahkan saking pentingnya ilmu, dalam hadis lain disebutkan bahwa kita diperintahkan untuk menuntut ilmu sampai ke negeri China.
Selanjutnya, muncul pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan ilmu? Berikut penjelasannya:
Secara bahasa, ilmu adalah kata yang berasal dari bahasa Arab علم, masdar dari عَـلِمَ – يَـعْـلَمُ yang berarti tahu atau mengetahui. Adapun Secara istilah, ilmu Menurut Ar-Raghib al-Ashfhani dalam kitabnya al-Mufrodat fi Gharib Al-Qur’an adalah pengetahuan akan hakikat sesuatu.
Penyebutan kata ilmu di dalam Al-Qur’an diulang sebanyak 854 kali. Selain itu terdapat beberapa kata yang mempunyai kesamaan makna, misalnya al-`aql, al-fikr, al-nazhr, al-bashar, al-tadabbur, al-i`tibâr dan al-dzikr. Hal ini tentunya memberikan indikasi bahwa ilmu mempunyai cakupan yang sangat luas.
Para ulama membagi ilmu menjadi dua segi iyaitu nadhari dan amali. Nadhari adalah sesuatu yang apabila diketahui maka sudah memadai (sempurna). Misalnya, pengetahuan tentang adanya alam ini, sedangkan amali adalah sesuatu yang tidak sempurna kecuali dengan diamalkan. Mislanya, ilmu tentang beribadah.
Di dalam al-Qur’an, kata ilmu biasanya digunakan untuk makna mengetahui hakikat sesuatu. Sebagaimana firman-Nya:
أَوَلَا يَعۡلَمُونَ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعۡلِنُونَ
Dan tidakkah mereka tahu bahwa Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka nyatakan? (Q.S. Al-Baqarah : 77)
Akan tetapi, terkadang kata ilmu juga memiliki makna lain sesuai dengan konteks ayatnya. Berikut lima makna ilmu dalam Al-Qur’an:
Pertama, ilmu bermakna ru’yah (melihat secara nyata), sebagaimana firman-Nya:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيۡكُمۡ شَهِيدٗاۗ وَمَا جَعَلۡنَا ٱلۡقِبۡلَةَ ٱلَّتِي كُنتَ عَلَيۡهَآ إِلَّا لِنَعۡلَمَ مَن يَتَّبِعُ ٱلرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيۡهِۚ وَإِن كَانَتۡ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِٱلنَّاسِ لَرَءُوفٞ رَّحِيمٞ
Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia. (Q.S Al-Baqarah: 143).
Menurut Ibnu Kastir dalam kitabnya tafsir Al-Qur’an al-Adzim berpendapat bahwa kata lina’lama bermakna melihat keadaan orang-orang yang mengikuti Rasul maupun yang tidak mengikutinya. Ru’yah yang dimaksud disini mencakup sesuatu yang kongkret saja, tidak mencakup sesuatu yang abstrak.
Kedua, ilmu bermakna al-Idzin (izin), sebagaimana firman-Nya:
فَإِلَّمۡ يَسۡتَجِيبُواْ لَكُمۡ فَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَآ أُنزِلَ بِعِلۡمِ ٱللَّهِ وَأَن لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۖ فَهَلۡ أَنتُم مُّسۡلِمُونَ
Maka jika mereka tidak memenuhi tantanganmu, maka (katakanlah), “Ketahuilah, bahwa (Al-Qur’an) itu diturunkan dengan ilmu Allah, dan bahwa tidak ada tuhan selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (masuk Islam)?”(Q.S. Hud : 14)
Izin yang dimaksud adalah izin Allah Swt. Menurut Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam kitabnya Jami’ al-bayan ‘an Takwil ay al-Qur’an dan Muqatil bin Sulaiman dalam kitabnya Tafsir al-Kabir mengatakan bahwa al-Qur’an itu diturunkan dengan izin Allah.
Ketiga, ilmu bermkana ad-Din (agama), sebagaimana firman-Nya:
وَلَن تَرۡضَىٰ عَنكَ ٱلۡيَهُودُ وَلَا ٱلنَّصَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمۡۗ قُلۡ إِنَّ هُدَى ٱللَّهِ هُوَ ٱلۡهُدَىٰۗ وَلَئِنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم بَعۡدَ ٱلَّذِي جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِ مَا لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن وَلِيّٖ وَلَا نَصِيرٍ
Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya).” Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah. (Q.S. Al-Baqarah : 120)
Agama yang dimaksud pada ayat ini menurut Ar-Razi dalam kitabnya Mafatih al-Ghaib adalah agama yang telah diketahui kebenarannya dengan dalil-dalil yang qath’i (pasti).
Keempat, ilmu bermakna ad-dalil wa al-hujjah (dalil dan hujjah), sebagaimana firman-Nya :
سَيَقُولُ ٱلَّذِينَ أَشۡرَكُواْ لَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ مَآ أَشۡرَكۡنَا وَلَآ ءَابَآؤُنَا وَلَا حَرَّمۡنَا مِن شَيۡءٖۚ كَذَٰلِكَ كَذَّبَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ حَتَّىٰ ذَاقُواْ بَأۡسَنَاۗ قُلۡ هَلۡ عِندَكُم مِّنۡ عِلۡمٖ فَتُخۡرِجُوهُ لَنَآۖ إِن تَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنۡ أَنتُمۡ إِلَّا تَخۡرُصُونَ
Orang-orang musyrik akan berkata, “Jika Allah menghendaki, tentu kami tidak akan mempersekutukan-Nya, begitu pula nenek moyang kami, dan kami tidak akan mengharamkan apa pun.” Demikian pula orang-orang sebelum mereka yang telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan azab Kami. Katakanlah (Muhammad), “Apakah kamu mempunyai pengetahuan yang dapat kamu kemukakan kepada kami? Yang kamu ikuti hanya persangkaan belaka, dan kamu hanya mengira.” (Q.S. Al-An’am : 148)
Menurut al-Baghawi dalam kitabnya tafsir ma’alim at-Tanzil berpendapat bahwa makna ilmu pada ayat ini adalah argumen dan dalil dari Allah SWT.
Kelima, ilmu bermakna al-Fiqh fi ad-din (paham agama), sebagaimana firman-Nya :
وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُۥٓ ءَاتَيۡنَٰهُ حُكۡمٗا وَعِلۡمٗاۚ وَكَذَٰلِكَ نَجۡزِي ٱلۡمُحۡسِنِينَ
Dan ketika dia telah cukup dewasa Kami berikan kepadanya kekuasaan dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. Yusuf : 22)
Menurut al-Baghawi dalam kitabnya tafsir ma’alim at-Tanzil berpendapat bhawa makna hukman adalah kenabian, sedangkan ‘ilman adalah pemahaman dalam persoalan agama.
Selain lima makna di atas, terkadang kata ilmu di-idzafahkan kepada Allah SWT dan terkadang kepada selain-Nya. Adapun contoh penyadaran kepada Allah SWT, Sebagaimana firman-Nya:
كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡقِتَالُ وَهُوَ كُرۡهٞ لَّكُمۡۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡـٔٗا وَهُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّواْ شَيۡـٔٗا وَهُوَ شَرّٞ لَّكُمۡۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah : 216)
Sedangkan contoh penyadaran kepada selain Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَسۡتَحۡيِۦٓ أَن يَضۡرِبَ مَثَلٗا مَّا بَعُوضَةٗ فَمَا فَوۡقَهَاۚ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ فَيَعۡلَمُونَ أَنَّهُ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّهِمۡۖ وَأَمَّا ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ فَيَقُولُونَ مَاذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِهَٰذَا مَثَلٗاۘ يُضِلُّ بِهِۦ كَثِيرٗا وَيَهۡدِي بِهِۦ كَثِيرٗاۚ وَمَا يُضِلُّ بِهِۦٓ إِلَّا ٱلۡفَٰسِقِينَ
Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih kecil dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, mereka tahu bahwa itu kebenaran dari Tuhan. Tetapi mereka yang kafir berkata, “Apa maksud Allah dengan perumpamaan ini?” Dengan (perumpamaan) itu banyak orang yang dibiarkan-Nya sesat, dan dengan itu banyak (pula) orang yang diberi-Nya petunjuk. Tetapi tidak ada yang Dia sesatkan dengan (perumpamaan) itu selain orang-orang fasik. (Q.S. Al-Baqarah : 26)
Demikianlah beberapa makna ilmu yang dikemukakan oleh beberapa mufassir di dalam Al-Qur’an. Walaupun masing-masing maknanya mempunyai konteks yang berbeda. Namun, secara umum maknanya tidaklah jauh dengan hakikat dari ilmu itu sendiri.
Wallahu A’lam