Pakar hukum islam, Abu Zahrah, dalam Tarikh Madzahib al-Islamiyah mencatat penyebaran dan penguatan mazhab biasanya tidak lepas dari campur tangan pemerintah.
Menurut Abu Zahrah, pemerintah atau khalifah pada masa itu sering mengangkat hakim dari mazhab yang berlaku. Di Irak misalnya, ketika Daulah Abbasiyah menjadikan kota Baghdad sebagai ibu kota, khalifah memilih ulama-ulama dari kalangan hanafiyah untuk mengisi pos-pos hakim.
Bahkan ketika suatu saat khalifah memilih ulama dari kalangan Mazhab Syafi’i, tepatnya pada masa Khalifah al-Qadir Billah (w. 422 H), terjadi kegaduhan oleh penduduk Baghdad karena fatwa yang dikeluarkan. Hingga akhirnya khalifah pun mencopot ulama yang bermazhab Syafii tersebut. Begitu juga dengan Mazhab Maliki.
Jika penyebaran Mazhab-Mazhab sebelumnya, baik Hanafi maupun Maliki, terjadi melalui bantuan pemerintah pada saat itu, dengan menjadikan mazhab tersebut sebagai mazhab resmi negara, maka berbeda halnya dengan persebaran Mazhab Syafi’i.
Mazhab Syafii berkembang bukan berawal dari campur tangan pemerintah. Mazhab ini tersebar luas karena tangan dingin murid-murid Imam al-Syafi’i dan para pengikutnya.
Syekh Ali Jum’ah dalam Tarikh Ushul Fiqh mencatat ada 5 fase perkembangan Mazhab Syafii. Mulai mazhab tersebut dibangun oleh Imam al-Syafi’i hingga tersebar luas sampai sekarang. Hal ini didukung dengan beberapa literatur lain, seperti Manaqib al-Syafii karya Imam al-Baihaqi, Fakhruddin al-Razi dalam kitab yang berjudul sama, dan Adab al-Syafii wa Manaqibuhu karya Abdurrahman bin Abi Hatim.
Fase pertama persebaran mazhab ini dimulai pada tahun 178 H, yakni setelah Imam Malik wafat dan berlangsung hingga 16 tahun. Fase ini berlangsung hingga Imam al-Syafi’i kembali lagi ke Baghdad untuk kedua kalinya pada tahun 195 H.
Fase kedua, munculnya mazhab lama (qadim). Fase ini dimulai ketika kedatangan Imam al-Syafi’i ke Baghdad yang kedua kalinya, tahun 195 H, hingga al-Syafii hijrah ke Mesir pada tahun 199 H. Pada fase inilah muncul fatwa-fatwa Imam al-Syafi’i yang dikategorikan dan sering disebut sebagai kaul qadim.
Sedangkan fase ketiga dimulai pada tahun 199 H, hingga wafatnya Imam al-Syafi’i. Bahkan bisa dibilang pada fase ini mazhab baru (jadid) Imam al-Syafi’i telah sempurna, atau sering disebut sebagai kaul jadid.
Setelah fase ketiga, fase-fase selanjutnya dimulai dengan periwayatan Mazhab Syafi’i oleh para muridnya (ashab al-syafiʻi). Pada fase keempat ini, para murid Imam al-Syafi’i cukup gencar dan massif dalam meriwayatkan masalah sesuai metode istinbath(penggalian hukum) ala Imam al-Syafi’i.
Fase ini dimulai pada abad ke-5 Hijriyah dan berakhir pada abad ke-7 Hijriyah. Pada fase inilah muncul ulama-ulama hebat murid Imam al-Syafi’i yang menulis ulang mazhab dan pemikiran Imam al-Syafi’i.
Salah satunya, Imam al-Muzanni (w. 264 H). Ia menulis kitab al-Mukhtashar, ringkasan kitab al-Umm, kitab fikih karangan Imam al-Syafii. Usahanya ini disebut termasuk sebagai bagian dari penyebaran atau periwayatan Madzab al-Syafi’i.
Selain al-Muzanni, ada juga al-Buwaithy (w. 231 H), al-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi 270 H) dan murid-muridnya yang lain.
Setelah fase periwayatan selesai dan berakhir pada abad ke-7, fase selanjutnya adalah pengokohan dan penguatan rancang bangun mazhab.
Fase ini dilalui dengan menarjih (memilih pendapat yang paling kuat) dan menuliskannya dalam kitab-kitab ringkas (mukhtashar). Setelah dituliskan dalam kitab-kitab ringkas, kemudian muncul kitab-kitab penjelas (syarh) dari kitab ringkas tersebut.
Di antara lima fase tersebut, yang paling menonjol adalah fase ketiga, ketika para murid Imam al-Syafi’i dengan sangat massif meriwayatkan fatwa sekaligus metode penggalian hukum yang dilakukan Imam al-Syaf’ii.
Fase ini dinilai sangat penting karena tanpa adanya fase ini, Mazhab Syafi’i tidak akan bisa berkembang hingga sekarang. Berapa banyak mazhab yang hilang dan tidak sampai di masa kita sekarang karena minimnya periwayatan.
Bahkan menurut Ahmad Timur Basya dalam Nadhrah fi Tarikh Huduts al-Madzahib al-Arba’ah, penyebaran Mazhab Syafi’i tidak terlepas dari melimpahnya karya-karya para penganutnya. Dari karya-karya tersebutlah banyak orang belajar dan mengetahui seluk beluk, metode dan fatwa kalangan Syafi’iyah.
Wallahu a’lam.