Sebagai Ormas, Muhammadiyah memang memiliki geneaologi gerakan kritis dalam merespon gejala sosial. Tidak saja dalam hal ritual keagamaan, tetapi Muhammadiyah juga menaruh perhatian yang cukup besar untuk pendidikan. Ini terbukti dari melimpahnya lembaga pendidikan di bawah naungan Muhammadiyah, selain Rumah Sakit tentunya.
Maka, cukup masuk akal jika Muhammadiyah, lewat Ketum Haedar Nashir, menjadi pihak yang awal sekali merespon draf rancangan rumusan terbaru Visi Pendidikan Indonesia 2035. Menurut dia, hilangnya diksi ‘agama’ dalam draf rumusan terbaru Visi Pendidikan Indonesia 2035 berpeluang jadi masalah. Dia bahkan mengaku heran jika pemerintah justru memakai diksi ‘budaya’ dalam visi pendidikan tersebut.
“Saya bertanya, hilangnya kata agama itu kealpaan atau memang sengaja? Oke kalau Pancasila itu dasar (negara), tapi kenapa budaya itu masuk?” kata Haedar dalam keterangan resmi, Senin (8/3).
Untuk diketahui, Visi Pendidikan Indonesia 2035 yang dimaksud adalah berbunyi, “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila.”
Lebih jauh, Haedar menilai bahwa hilangnya diksi ‘agama’ telah melawan konstitusi. Pasalnya, produk turunan kebijakan seperti peta jalan tidak boleh menyalahi peraturan di atasnya yakni Peraturan Pemerintah, UU Sisdiknas, UUD 1945 dan puncaknya adalah Pancasila dalam hierarki hukum di Indonesia.
Ia pun memandang bilamana hilangnya diksi ‘agama’ sebagai acuan nilai akan berdampak besar pada aplikasi dan ragam produk kebijakan di lapangan. Pasal 31 UUD 1945 dan poin pertama Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menjelaskan secara eksplisit bahwa agama sebagai unsur integral di dalam pendidikan nasional.
“Kenapa peta jalan yang dirumuskan oleh Kemendikbud kok berani berbeda dari atau menyalahi pasal 31 UUD 1945? Kalau orang hukum itu mengatakan ini Pelanggaran Konstitusional, tapi kami sebagai organisasi dakwah itu kalimatnya adalah ‘tidak sejalan’ dengan Pasal 31,” ujarnya.
Tidak hanya itu, Haedar juga mempertanyakan tim perumus yang menyusun Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2035 sehingga menghilangkan diksi ‘agama’. Menurutnya, hal itu menjadi problem serius yang perlu dijadikan masukan penting bagi pemerintah.
“Ini alpa, sengaja, atau memang ada pikiran lain sehingga agama menjadi hilang? Agar kita berpikir bukan dari aspek primordial, tapi berpikir secara konstitusional, karena itu sudah tertera langsung tanpa perlu interpretasi di dalam Pasal 31,” kata dia.
Meski begitu, Haedar mengaku setuju jika ide dalam sumber nilai konstruksi kehidupan kebangsaan berasal dari tiga unsur, yaitu Pancasila, agama dan budaya. Oleh karena itu, salah satu unsur itu tidak boleh dihilangkan karena akan menimbulkan kecurigaan publik.
Haedar mengatakan Muhammadiyah sebagai bagian dari elemen bangsa Indonesia menghendaki kritik-kritik konstruktif terhadap Pemerintah. Ia pun memuji keterbukaan pemerintah untuk menerima kritik.
Untuk itu, Ketum PP Muhammadiyah ini berharap agar Pemerintah tak hanya mempertimbangkan aspek pragmatis terkait pasar dan ekonomi dalam perencanaan pendidikan. Justru sebaliknya harus memperhatikan dimensi idealis, aspek etik (moral) dan aspek fundamental sebagaimana tercantum dalam perangkat undang-undang di atasnya.
“Harus ada konsep-konsep tandingan, harus ada narasi alternatif, ada pikiran tandingan yang lengkap dan itu konstruktif menurut saya. Nah kita uji nanti kalau ada konsep yang lengkap tapi (hasilnya) tetap berarti ada sesuatu yang keliru,” katanya.