Larangan Jalsah Salanah Jemaah Ahmadiyah di Kuningan, Ketertiban Sosial atau Ego Beragama

Larangan Jalsah Salanah Jemaah Ahmadiyah di Kuningan, Ketertiban Sosial atau Ego Beragama

Larangan Jalsah Salanah Jemaah Ahmadiyah di Kuningan, Ketertiban Sosial atau Ego Beragama

Jalan terjal masih harus ditempuh dalam penerapan nilai-nilai toleransi di Indonesia. Salah satu isu toleransi yang paling sering muncul ialah kebebasan beragama dan berkeyakinan, termasuk dalam melaksanakan ibadah dan kegiatan keagamaan.

Baru-baru ini, aksi intoleransi itu terjadi di Kuningan. Sejumlah organisasi masyarakat sipil mengecam Pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, yang melarang Jalsah Salanah atau pertemuan tahunan Jemaah Ahmadiyah Indonesia yang rencananya akan berlangsung 6-8 Desember 2024.

Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kabupaten Kuningan kemudian merespons dengan pelarangan Jalsah Salanah 2024 dengan alibi menjaga kondusivitas dan ketentraman masyarakat. Bahkan larangan juga keluar dari dari lisan elit, Penjabat Bupati Kuningan Agus Toyib.

”Dengan alasan keamanan dan kondusivitas wilayah Kabupaten Kuningan, dengan ini secara resmi kami Pemerintah Kabupaten Kuningan tidak mengizinkan dan melarang kegiatan Jalsah Salanah yang diselenggarakan Jemaah Ahmadiyah Indonesia,” ujar Toyib.

Penolakan keras terhadap kegiatan yang dilakukan oleh Ahmadiyah ini sudah lama terjadi. Banyak wacana yang diserukan agar pemerintah daerah segera mengeluarkan peraturan yang melarang keberadaan dan kegiatan Jemaah Ahmadiyah.

Dari dulu Jamaah Ahmadiyah menjadi salah satu komunitas rentan di Indonesia. Kasus Ahmadiyah ini dilegitimasi oleh Surat Keputusan Bersama dari pemerintah pada 9 Juni 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat. SKB itu menegaskan bahwa Ahmadiyah boleh tetap ada, tapi tidak memiliki hak kebebasan beragama seperti umat beragama lainnya. Bayangkan saja kita dihadapkan dengan pilihan seperti ini. Mengubah keyakinan atau hak-haknya akan dibatasi.

Baca juga: Presiden Prabowo Diminta Jamin dan Lindungi Jalsah Salanah Jemaat Ahmadiyah 2024

Namun, meskipun masalah ini dikemas dalam wacana etika sosial, sulit untuk tidak melihat unsur agama yang kental dalam konflik ini. Di satu sisi, masyarakat berhak untuk merasa terganggu apabila ada kegiatan yang mengganggu ketenangan mereka.

Namun, di sisi lain, apakah kita sudah cukup bijak untuk memastikan bahwa kita tidak menerapkan standar ganda dalam menilai kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh kelompok agama lain?

Coba kita ingat kasus pembubaran Doa Rosario di Pamulang beberapa waktu lalu dengan dalih serupa. Sejumlah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam) yang sedang berdoa Rosario dibubarkan paksa oleh massa yang diduga diprovokasi oleh oknum RT 007 RW 002, Kelurahan Babakan, Kecamatan Setu, Gang Ampera Poncol, Tangerang Selatan, Senin (6/5/2024). Kita bisa melihat pola yang serupa, di mana alasan ancaman terhadap “ketertiban sosial” menjadi dalih untuk membubarkan kegiatan keagamaan.

Sebagaimana yang dicatat, ketertiban sosial seringkali dijadikan alasan untuk menghakimi kegiatan agama tertentu, sementara kegiatan serupa yang dilakukan oleh kelompok mayoritas tidak mendapat perhatian yang sama.

Dalam kasus larangan kegiatan Jalsah Salanah di Kuningan, muncul pertanyaan besar tentang mengapa ada standar ganda dalam menilai “kebisingan” yang sama, misalnya suara toa masjid, yang dianggap wajar, namun menjadi masalah serius ketika itu datang dari kelompok lain?

Saya pernah berbincang dengan seorang guru Katolik yang mengeluhkan suara toa masjid yang mengganggunya, terutama menjelang subuh.

Meskipun ia merasa terganggu, ia merasa tidak bisa (berani) mengungkapkan keluhannya karena takut akan reaksi yang bisa berujung pada konflik.

Ketakutan ini menggambarkan bagaimana ketegangan antar umat beragama sering kali disebabkan oleh eksklusivitas dan egoisme dalam beragama. Kita sering kali merasa bahwa hak kita untuk beribadah lebih penting daripada hak orang lain untuk mendapatkan ketenangan.

Pun, kita tidak bisa membenarkan tindakan apapun yang mengarah pada persekusi atau kekerasan fisik atas nama agama atau ketertiban sosial. Sama halnya dengan peristiwa di Pamulang, tindakan kekerasan dalam kasus Jemaah Ahmadiyah tidak bisa dimaafkan.

Kekuatan fisik yang digunakan untuk memaksa orang lain mengikuti pandangan tertentu tidak akan pernah bisa dianggap sebagai bentuk penyelesaian masalah. Sebagai negara yang mengedepankan nilai-nilai Pancasila, kita harus memastikan bahwa hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dihormati oleh semua pihak, tanpa terkecuali.

Ini merupakan refleksi dari ketidakmampuan sebagian orang untuk menempatkan diri dalam posisi kelompok lain yang memiliki tata cara ibadah yang berbeda. Hal ini bukan sekadar masalah ketertiban sosial, tetapi juga mencerminkan sikap egois dalam beragama, yang akhirnya memperburuk hubungan antar umat beragama.

Kesadaran untuk hidup berdampingan dalam keragaman adalah hal yang mutlak diperlukan. Kita harus bisa membedakan antara norma sosial dan sikap eksklusif yang menciptakan ketidaknyamanan bagi orang lain.

Di sisi lain, kegagalan negara dalam memastikan bahwa hak setiap individu untuk beribadah dan berkeyakinan dijamin juga patut dipertanyakan. Dalam hal ini, bukan hanya kebijakan dari bawah yang diperlukan, tetapi juga kebijakan dari atas yang melibatkan elemen pemerintah dalam menciptakan kehidupan sosial yang harmonis.

Era Prabowo Gibran

Sebagai refleksi, kita perlu mengingat bahwa status agama mayoritas, dalam hal ini Islam, bukanlah alasan untuk memperlakukan orang lain secara tidak adil atau merendahkan hak-hak mereka. Prabowo-Gibran juga membawa keyakinan tentang bagaimana minoritas harusnya diberlakukan. Juga, harus lebih tegas lagi terkait hal ini.

Dan, satu hal penting lagi, penyebutan mayoritas-minoritas dalam hal ini bukan sebagai upaya mengotak-kotakkan masyarakat. Melainkan sebagai bentuk keberpihakan kita kepada mereka yang lemah, mereka yang terpinggirkan, mereka yang terdiskriminasi.

Penyalahgunaan kekuasaan yang mengatasnamakan agama untuk memecah belah masyarakat sangat berbahaya. Sebagai umat beragama, kita harus sadar bahwa hidup berdampingan dalam keberagaman memerlukan saling menghormati dan mengayomi, bukan memaksa dan menghakimi.

Akhirnya, kita semua harus berperan dalam menciptakan citra agama yang penuh kasih dan damai. Bukan hanya umat tertentu yang harus menjaga integritasnya, tetapi seluruh elemen masyarakat, baik dari bawah maupun atas, harus berusaha menjaga kehidupan kebangsaan yang harmonis dan bebas dari kekerasan serta intoleransi.

Apakah kita tidak lelah melihat Islam yang dicitrakan penuh kekerasan dan intoleran? Islam yang emosional, dengan umatnya yang temperamental. Siapa lagi yang akan mengukir citra Islam yang ramah dan penuh kasih kalau bukan kita sendiri?