Mula-mula saya ingin mendedahkan wejangan dari salah satu pembesar empat imam mazhab, yakni Imam Syafi’i, dalam kaitannya dengan adab kita dalam berpendapat dan menulis. Bayangkan, ulama sealim Imam Syafi’i saja masih sempat-sempatnya rendah hati, tidak sampai memutlakkan pendapatnya, apalagi sambil menyalahkan pendapat ulama lain yang berbeda dengannya. Perhatikan maqalahnya berikut ini: “Qauli shawab yahtamilu al-khatha’, wa qaulu ghairi khatha’ yahtamilu al-shawab: pendapatku benar, tetapi ada kemungkinan benar tetapi mengandung kemungkinan salah. Pendapat orang lain keliru, tetapi mungkin benar.”
Maka dalam ikhtiar belajar adab kepada Imam Syafi’i, tulisan saya yang berjudul “Corona, China dan Virus Kebencian“, “Merespon Tulisan Asma Nadia tentang Saat Isu Corona Menyentil Tuhan“, berikut buku-buku yang sudah saya tulis, selalu diniatkan untuk terus menjadi pribadi pembelajar, di mana sekalipun pandangan/pendapat saya benar, saya tidak menutup kemungkinan ada kekeliruan. Saya dan saya pikir kita sekalian tidak boleh merasa puas, merasa selalu benar, menganggap orang lain lebih bodoh dari kita, sambil selalu memposisikan kita sebagai pihak yang serba sempurna dan tak terbantahkan.
Saya pikir, kita tidak boleh begitu. Masih ingat bukan fenomena “keceletot” lidah Ust Adi Hidayat dan KH. Tengku Zulkarnain yang keliru membaca tasrif–dalam ilmu sharaf, sementara Gus Muwafiq menyebut “rembes” kepada (Nabi) Muhammad kecil, semua itu menimbulkan polemik dan caci-maki. Sesama umat Islam malah saling mencaci-maki. Ternyata masih banyak di antara umat Muslim yang belum siap dengan perbedaan.
Terkait dengan tulisan saya yang merespon tulisan Mba Asma, memang mendapatkan respon yang lumayan baik dan hangat. Tercatat hingga pukul 15.00, saat saya menulis tulisan ini, telah dilike mendekati angka 1.000, dengan hampir 800 komentar dan 23 kali dibagikan. Dan angka tersebut mungkin akan terus meningkat. Tapi saya tidak akan bahas soal itu. Saya mau fokus pada bagaimana cara kita membangun adab dan budaya literasi yang baik.
Kita tidak boleh menganggap orang lain, penulis pemula lebih rendah dari kita. Sekalipun kita tahu, ada banyak penulis pemula yang teknik menulisnya masih acak-acak. Saya menyarankan agar kita dapat mengedepankan komentar yang mengapresiasi, ketimbang terang-terangan mengkritik dengan pedas. Kalaupun kita mau memberikan kritik, berilah kritik yang menuntun, bukan menghakimi.
Saya perlu stok sabar yang banyak dalam merespon komentar, apalagi menghadapi komentar-komentar yang emosional, sinis dan sentimen. Su’uzhan, menuduh yang tidak-tidak (dituduh copy paste tanpa bukti, misalnya), berkomentar dengan nada meremehkan dan lain sebagainya. Jujur harus saya akui, bahwa saya tidak akan sanggup menanggapi semua komentar. Ada yang mengapresiasi karena sependapat, ada yang mencak-mencak (karena adat bicara atau sengaja emosional), saya justru hormat pada yang berbeda pendapat tetapi tetap disampaikan dengan santun. Termasuk kita pun tidak boleh sinis dan sentimen terhadap perbedaan agama, Ormas, pandangan dan lain sebagainya. Kita nikmati diskusi dan sharing ini dengan realistis dan apa adanya. Ini adalah ruang kita untuk sharing, bukan untuk “menang-menangan” dan apalagi ada motif menjatuhkan. Na’uzubillah.
Maka saya ingin menyertakan dua dari komentar langsung Mba Asma terkait dengan tulisan saya. “Ketika isu corona (membuat manusia sombong dan dengan kesombongan itu) menyentil Tuhan–konteks judul ini akan bisa dipahami ketika membaca secara utuh dan up date dengan kondisi sekitar–jadi bisa lebih relate.” Lalu Mba Asma melanjutkan: “Kalau kita ga up date dengan aksi-reaksi seputar corona–mungkin kita akan ga relate dan memahami yang dimaksud penulis.”
Tadinya saya berharap Mba Asma akan merespon balik tulisan saya, tentu saja agar ada penjelasan lanjutan yang lebih utuh, bukan hanya sekadar judul tulisannya saja, melainkan sejumlah poin-poin yang didedahkan Mba Asma yang kemudian saya sandingkan dengan pandangan lain dari saya. Ada kesan yang kurang berimbang dari Mba Asma dalam memosisikan dirinya, saya dan warganet yang lain. Mestinya Mba Asma memosisikan dirinya setara dengan siapapun dalam konteks ini.
Saya memang mempersoalkan sejak dari judul tulisan. Kalau yang dimaksud Mba Asma adalah Tuhan dalam arti pemimpin yang sombong, mulai dari Fir’aun, Abrahah dan Qarun, yang kemudian disepadankan dengan Presiden China yang oleh Mba Asma dianggap sombong–layaknya Tuhan. Mestinya kalau demikian, kata “Tuhan” dalam judul tersebut diberi tanda kutip.
Lebih daripada itu, saya sebetulnya hendak menawarkan perspektif dan pemahaman lain terkait dengan corona, China, Presiden China dan berbagai hal yang dianggap Mba Asma sebagai kesombongan mutlak Presiden China. Saya lebih memilih berbeda dengan Mba Asma dalam menyikapi fenomena ini. Saya melihat Mba Asma begitu tendensius terhadap China, sampai mengutip sejumlah penguatan tentang sejarah pemimpin sombong, kutipan pidato Presiden China, tenggelamnya kapal Titanic dan ceramah Alm MZ. Semua dihubung-hubungkan atau dalam bahasa saya “cocokologi” agar khalayak ikut menganggap bahwa Presiden China memang 100 persen sombong dan pantas mendapat azab corona.
Fir’aun, Abrahah, Qarun adalah sengaja diabadikan Allah dalam Al-Qur’an sebagai pemimpin yang sombong–yang mendaku Tuhan. Tetapi itu bukan berarti membuat kita melampaui Allah untuk kemudian mencap Presiden China sebagai Presiden yang sombong yang setara dengan Fir’aun, Abrahah dan Qarun. Kita tetap harus hati-hati, jangan sampai melampaui wewenang Allah dengan seenaknya mencap Presiden dan Negara lain yang sombong dan patut dibenci warga Negara sedunia. Jangan ah, jangan begitu!
Bagi saya, kesombongan pihak manapun, baik secara individu, institusi maupun Negara, itu bukan tugas kita layaknya hakim. Hati saya terlalu sempit untuk menampung secuil saja virus kebencian. Namun hati saya terlalu luas untuk menyedot sebanyak apapun hikmah di balik musibah sekalipun. Saya sudah tidak punya kebencian terhadap orang ataupun siapapun yang membenci dan zalim kepada kita sekalipun.
Karena itulah, saya haqqul yaqin, tidak pernah punya benci dan sumpah-serapah kepada China, Amerika Serikat, Arab Saudi, Iran, Rusia, bahkan Israel sekalipun. Sudah tidak ada ruang di hati saya untuk menampung kebencian terhadap Negara-negara adidaya tersebut, berikut terhadap para Presidennya. Lebih baik saya habiskan energi dan potensi saya untuk mengejar ketertinggalan, Indonesia harus bisa menjadi Negara adidaya berikutnya, mampu menciptakan inovasi, canggih dalam teknologi, semakin kuat pada empat pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika), dan istikamah dalam beribadah kepada kepada Allah. Saya tidak mau menghabiskan waktu dan usia ini hanya untuk menebarkan virus kebencian, umpatan dan sumpah serapah. Corona ini wabah virus global. Kita tidak boleh “muas-muasin” China sebagai biang kerok.
Saya pikir sikap itu sangat tidak bijak. Bayangkan, kalau suatu saat virus atau penyakit mematikan lain muncul di Indonesia atau Arab Saudi (Mekah-Madinah), lantas apakah kita tega “muas-muasin” Negara sendiri, sambil dipuas-puasin warga sedunia? Begitu bisa terjadi kepada Arab Saudi. Nah perspektif dan pemahaman inilah yang menjadi substansi respon saya. Jadi bukan hanya soal judul tok, atau hanya menyuruh membaca ulang! Hmm. Semoga ruang diskusi maya ini membuat kita bisa semakin mempererat persaudaraan dan tidak menutup kemungkinan bisa bertemu melalui silaturahim secara langsung.
Wallaahu a’lam