Hingga saat ini, setidaknya dari yang sudah saya temui, ada dua bentuk keberatan dari kalangan yang bersikukuh bahwa Ahok tetaplah menista al-Quran sekalipun ada kata “pakai” dalam pernyataanya. [Sebelumnya baca: Ahok Tidak Menista Al-Quran]
Pertama, analogi yang dipakai seharusnya sama-sama dengan kalimat pasif. Dalam postingan di atas, misalnya, analoginya adalah “makan pakai tangan” dan “makan tangan”.
Keberatan ini mudah dipatahkan. Yah, tinggal diganti saja dengan kata kerja pasif: “dimakan pakai tangan” dan “dimakan tangan”. Gampang, to? Maknanya sama saja. Karena titik tengkarnya bukan pada kata kerjanya aktif atau pasif, tapi pada siapa subjeknya antara dengan “pakai” dan tanpa “pakai”. Mau dibuat aktif (“makan pakai tangan”) atau pasif (“dimakan pakai tangan”), selama ada kata pakai di situ, maka kata setelah pakai tetap berfungsi sebagai alat, bukan subjeknya.
Kedua, bahwa meski sudah ada kata “pakai”, kalimat itu tetap berarti bahwa al-Quran menjadi alat pembohongan, dan ini menghina al-Quran. Yang problematis dalam keberatan ini ialah: dari statemen “al-Quran menjadi alat untuk berbohong” tiba-tiba meloncat pada kesimpulan “menghina al-Quran”.
Mari tidak menutup mata: ada orang-orang yang dengan al-Quran telah menjadikannya alat untuk membenarkan kebencian, kekerasan, bahkan pembunuhan terhadap orang lain yang dianggapnya menyimpang, sesat, kafir, dan semacamnya. Tapi kita juga fair: ada orang-orang yang dengan al-Quran telah menjadikannya sebagai alat yang menginspirasinya untuk menebar keadilan dan cinta.
Sebagai alat, ia netral saja. Yang menggunakan alat itulah, yang menjadikan baik atau buruk.
Analoginya: pisau bisa menjadi alat untuk membunuh, tapi juga bisa menjadi alat untuk memasak. Media sosial bisa menjadi alat untuk menyebar dusta dan fitnah, tapi juga bisa menjadi alat untuk melakukan advokasi atas nama keadilan dan perdamaian. Yang membuat pisau dan media sosial ini bernilai baik atau buruk tergantung pada penggunanya. Alat tidak bisa bergerak independen; ia bergerak dengan digerakkan penggunanya.
Analogi ini tidak bisa diterima karena pisau dan media sosial bukan sebuah teks seperti al-Quran? Baik, kita ambil analogi yang lebih dekat. Misalnya, hadis.
Orang bisa memakai hadis yang menyatakan bahwa perempuan itu nilai akal dan agamanya setengah untuk merendahkan perempuan. Tapi orang juga bisa memakai hadis yang menyebut ibu tiga kali berbanding ayah yang cuma sekali sebagai dalil untuk menghormati perempuan karena perempuan adalah dari “kaum ibumu”.
Atau, langsung saja analoginya dengan ayat al-Quran. Orang bisa menjadikan al-Quran sebagai alat untuk membenarkan potong tangan untuk pencuri, cambuk 100 kali untuk pezina, atau—seperti ayat “hirabah” yang disebut oleh Wasekjen MUI di sebuah acara TV—agar para penista Islam “dibunuh, disalib, dipotong tangan-kakinya, atau diusir.” Tapi orang juga bisa menjadikan al-Quran sebagai alat untuk meyakinkan umat Islam bahwa, meski ada ayat-ayat tersebut, syariah tidak boleh lepas dari porosnya, yaitu keadilan (al-‘adl atau al-qisth).
Al-Quran juga bisa dipakai untuk meyakinkan umat Islam bahwa, meski ada perintah yang secara sekilas tampak memerintahkan untuk berhukum dengan hukum Islam (yang lalu ditafsirkan secara formal bahwa negara harus juga negara Islam), al-Quran juga memerintahkan untuk menepati janji; bahwa kita bersepakat, negara ini didirikan untuk “semua buat semua”, bersendikan “bhinneka tunggal ika”, dengan konstitusi yang berasaskan prinsip kesetaraan warga negara tanpa memandang agamanya.
Jadi, sekali lagi, sebagai alat, ia netral: tidak bernilai baik atau buruk. Yang menggunakan alat itu yang menjadikannya baik atau buruk. Al-Quran menjadi “alat kebaikan” karena “pemakainya” menggunakannya untuk menebar kebaikan. Al-Quran menjadi “alat keburukan” karena “pemakainya” menggunakannya untuk menebar keburukan.
Yang seperti ini belum memahamkan? Baiklah saya nukilkan terakhir pernyataan terkenal, yang terekam antara lain dalam Tarikh at-Thabari, dari Ali ibn Abi Thalib terhadap orang Khawarij yang mengafirkan khalifah keempat itu sebab tidak mau berhukum dengan al-Quran. Beliau, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad shallallahu ‘alayh wa sallam itu, berkata:
“Hadza al-Quran innama huwa khatthun masthurun bayna daffatayn; la yanthiq wainnama yatakallamu bihi ar-rijal”
Artinya: “Al-Quran ini hanyalah tulisan yang terbubuhkan di antara dua sampul; ia tidak bicara; orang (penafsirnyalah) yang berbicara atas namanya.”
Perhatikanlah kalimat itu, Ali ibn Abi Thalib memberikan atribusi terhadap al-Quran sebagai “hanya tulisan” dan “tidak bicara”. Pernyataan itu, sesuai dengan pandangan di atas, menjadikan al-Quran sebagai alat, yang nilai baik atau buruk tergantung pada “penafsir yang berbicara atas namanya.”
Begitulah. Analogi-analogi di atas semoga cukup. Kalau tidak cukup, maka tiada yang bisa kita lakukan kecuali tawakkal saja. Barangkali untuk bisa memahamkan yang bersangkutan sudah berada di luar batas kemampuan kita.