Chelsea sedang terseok-seok musim ini. Di bawah pelatih Graham Potter, Chelsea hanya menghuni papan tengah klasemen Liga Inggris hingga pekan 27 ini. Namun, performa Chelsea yang angin-anginan itu sangat kontras jika dibandingkan dengan aksi Chelsea di luar lapangan.
Klub berjuluk the Blues itu mencatatkan sejarah sebagai klub pertama di Liga Inggris kasta teratas yang mengadakan buka puasa bersama di dalam stadion. Jawara Liga Champions 2020/2021 ini mengadakan buka puasa bersama di Stamford Bridge, London, Inggris pada Minggu, 26 Maret 2023 waktu setempat.
Dalam momen itu, azan juga dikumandangkan sehingga menggema memenuhi setiap sudut-sudut stadion Stamford Bridge. Panggilan untuk shalat wajib tersebut dilantunkan oleh Imam Imran Abu Hassan. Momen bukber di Stamford Bridge itu tentu saja mengundang atensi sejumlah komunitas muslim. Mereka menjadi pengisi acara dalam buka puasa bersama tersebut.
Acara kemudian dilanjutkan dengan menyantap makanan yang sudah disediakan. Mereka menikmati makanan secara bersama-sama di tempat yang sudah disediakan, tepatnya di bawah tribun penonton.
Setelah itu, hadirin kemudian diarahkan untuk shalat maghrib berjamaah di Stamford Bridge. Momen ini menjadi kiblat keragaman untuk semua orang di London, terutama insan sepak bola di Inggris Raya. Melalui venue ini, Liga Inggris masih lekat dengan predikat negara yang ramah pesepakbola dan suporter muslim.
Liga Paling Kompetitif
Perlu di ketahui, Liga Premier Inggris mengalami kebangkitan pesat dalam dua dekade terakhir. Memang, La Liga Spanyol, Seria-A Italia, dan Bundesliga Jerman masih menjadi minat para insan sepak bola dunia. Namun, atmosfer kompetitif dan banyaknya pemain bintang yang mulai bermunculan di Liga Inggris membuatnya mentasbihkan diri sebagai liga nomor satu dunia hingga saat ini.
Tak hanya itu, Tim-tim di liga Inggris memiliki fanbase terbesar di dunia, terutama tim-tim “big six” yaitu Manchester United, Liverpool, Arsenal, Manchester City, Tottenham Hotspurs, dan Chelsea. Manchester United menempati peringkat ketiga klub dengan fans paling banyak di dunia, yakni 133,7 juta fans, disusul oleh Barcelona di peringkat kedua dan Real Madrid di peringkat pertama.
Bahkan, tim-tim seperti Leeds United dan Newcastle United saja memiliki fanbase yang begitu besar, terutama di Indonesia. Jika dijumlahkan, keberadaan fans klub-klub Liga Inggris jauh lebih banyak dibandingkan fans klub-klub di tiga liga yang disebutkan tadi.
Dalam perspektif pasar, Liga Inggris memiliki strategi marketing yang paling baik di antara liga-liga Eropa lainnya. Liga Inggris merupakan salah satu liga yang menayangkan pertandingannya secara prime time, terutama di benua Asia, yang merupakan benua dengan penggemar sepak bola paling banyak.
Liga-liga Eropa lainnya, seperti Serie-A Italia, yang memiliki peminat yang terbilang banyak pun tidak menayangkan pertandingan secara prime time. Tidak hanya itu, Klub-klub liga Inggris memiliki kekuatan ekonomi yang tinggi, sehingga tim-tim tersebut dapat membuat serta menyusun pemasaran yang baik dalam rangka meningkatkan peminat.
Bisa dibayangkan, value pendapatan tiket dan hak siar televisi satu klub papan tengah Liga Premier Inggris saja bisa mengalahkan akumulasi value dari seluruh tim di Liga Belanda.
Iming-iming iklim kompetitif plus jaminan finansial yang tinggi itu sudah lebih dari cukup untuk menarik minat pesepakbola berstatus bintang yang tersebar di seluruh dunia.
Tak pelak, Liga Inggris, hingga saat ini, menjadi parameter apakah pesepakbola itu sudah mencapai kesuksesan karirnya atau belum. Pemain-pemain terbaik seperti Mohamed Salah, Kevin De Bruyne, Bruno Fernandes, N’golo Kante, Virgil van Dijk, Erling Haaland, Alisson Becker, Harry Kane dan masih banyak pemain kelas dunia lainnya bermain di Liga Inggris.
Yap benar, beberapa di antaranya adalah pemain Muslim. Mohamed Salah, misalnya, menjadi pemain Muslim paling bersinar di Liga Inggris hingga saat ini. Ini membuat Liga Inggris menjadi sarat dengan multi-identitas. Apalagi, Bahasa Inggris merupakan Bahasa Internasional, yang dipakai dan dipahami oleh sebagian besar penduduk dunia.
Liga-liga Eropa lain tentunya menggunakan Bahasa dari negara-nya masing-masing. Liga Spanyol menggunakan bahasa Spanyol, Liga Italia menggunakan bahasa Italia, dan seterusnya. Hal ini membuat para pendatang itu semakin betah, karena dalam segi komunikasi pun, mereka seolah “difasilitasi”.
Konsekuensi Multi-kultur di Liga Inggris
Oleh karena itu, Inggris, sebagai negara mayoritas Kristen, mau tidak mau harus menanggalkan atribut-atribut eksklusif pada sepak bola. Sepak bola harus dilepaskan dari ras, agama, suku, dan kelas sosial. Dan, melalui event bukber di Stamford Bridge itu, Liga Inggris tampak berhasil melakukannya.
Akun Twitter @OpenIftar mencuit Stamford Bridge bukan hanya rumah bagi The Blues, melainkan juga tempat penyambutan bagi semua agama.
Selain Chelsea, Blackburn Rovers juga mencitrakan semangat yang sama ketika menggelar shalat idul fitri di Stadion Ewood Park, markas timnya. Klub divisi Championship (liga kasta kedua Inggris) itu mensponspori festival tahunan idul fitri yang diadakan di Corporation Park selama bertahun-tahun hingga akhirnya menyelenggarakan shalat idul fitri tahun 2022 di lapangan Ewood Park.
Sebagaimana diketahui, Chelsea memiliki beberapa pemain muslim, antara lain N’Golo Kante dan Wesley Fofana (Prancis), Hakim Ziyech (Maroko), Edouard Mendy dan Kalidou Koulibaly (Senegal), dan Denis Zakaria (Swiss).
Sebelumnya, Chelsea juga memiliki beberapa pemain muslim yang kini telah meninggalkan klub, seperti Antonio Rudiger (Jerman), Kurt Zouma (Prancis), Demba Ba (Prancis/Senegal), dan Mohamed Salah (Mesir).
Banyaknya pemain Muslim di kesebelasan Chelsea ini secara tidak langsung turut membentuk wajah Chelsea menjadi klub yang toleran dan inklusif. Chelsea mungkin bisa menjadi inisiator bagi hadirnya ekosistem multi-kultur yang sehat di Liga Inggris, bukan hanya untuk Islam saja, tetapi untuk semua agama yang ada di Inggris.
Saya setuju dengan cuitan @OpenIftar lainnya, bahwa mendengar lantunan Azan di Stamford Bridge adalah “tujuan” sejati bagi komunitas Muslim dan “kemenangan” sepak bola dalam mempromosikan persatuan dan keragaman.
Chelsea seolah hendak mengatakan bahwa sepak bola bukan tentang 11 pemain di lapangan hijau saja, namun juga tentang jutaan manusia di luar stadion yang membutuhkan sepak bola untuk menjaga perdamaian di antara mereka.