Dalam khazanah sufistik, sebagaimana dituturkan Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahuLlah, manusia merupakan “bagian” dari Ruh Alah Swt. Ini dikukuhkan oleh surat Shad ayat 73: “Maka apabila telah Kusempurnakan ciptaan-Ku dan Kutiupkan kepadanya sebagian dari Ruh-Ku….”
Pemahaman terang begitu tidak diterangkan dengan “terang” oleh kalangan yang tidak berlandas kepada spirit sufisme murni, seperti paparan Prof. Quraish Shihab dalam Al-Mishbah, yang menafsirkan ayat tersebut sebagai manusia adalah makhluk ciptaan-Nya semata.
Namun begitu, seminim-minimnya, terdapat benang merah antar dua contoh tafsir itu bahwa manusia telah diikat ikrar beriman oleh Allah Swt sejak di alam rahim ibunya. Itu artinya secara rohaniah sejatinya semua manusia telah dicenderungkan kepada fitrah keimanan kepada Allah Swt–atau dalam bahasa umum kita kerap disebut “hati nurani”. Betul, hati nurani bukankah selalu cenderung kepada kebaikan?
Dan, jika kemudian disandarkan pada ungkapan Ibnu Katsir di bagian awal kitab tafsirnya, “Segala kebaikan, yang disegerakan atau diundurkan, bersumber dari ketauhidan; segala keburukan, yang disegerakan atau diundurkan, bersumber kepada kesyirikan.”, yang selaras dengan firman Allah Swt tentang “segala yang baik datang dari sisi Allah Swt dan segala yang buruk datang dari sisi manusia.”, ia mengandung pemahaman bahwa andai manusia selalu berpegang kepada fitrah hakikinya niscaya ia akan selalu selaras dengan ketauhidan dan kemaslahatan.
Lantas, seiring perjalanan hidup manusia yang amat luas limpah keragamannya–dan ini juga merupakan khittah dari Alah Swt yang menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku—pada dasarnya logis dan alamiah belaka untuk terbentuk beragam jalan hidup –termasuk pemahaman keislaman yang semuanya menyebut sebagai jalan menujuNya—yang diyakini baik dan benar. Semua pejalannya menyatakan begitu.
Dalam kerucut yang lebih detail, semua penganut mazhab apa pun, sebutlah akidah Sunni maupun Syiah, fiqh Syafii maupun Hanbali, dan sebagainya, pasti mengatakan “inilah jalan yang lurus dan benar yang akan membawa kami kepada keselamatan dan ridhaNya”.
Tak ada yang salah dengan perasaan hati yakin maupun ucapan begitu, bahkan memang seyogianya begitu saat kita sedang melakukan suatu perjalanan di sebuah jalan yang kita yakini benar akan mengantar kita kepada tujuan. Sepanjang dikatakan dan diekspresikan dengan bijak, tepat, dan tidak menimbulkan ketersinggungan dan sakit hati bagi firqah lainnya, ia bagian nyata dari maqashid syariat Islam. Demikian keterangan Imam Syatibi dalam Al-Muwafaqat.
Hal-hal normal begitu seyogianya telah selesai untuk kita perselisihkan, apalagi bertikai dan bermusuhan. Sayangnya, fakta sejarah kerap bekerja sebaliknya dari ideal harmoni itu. Begitu banyak catatan luka dan darah serta kematian yang tumpah di muka bumi ini akibat pertikaian antarmazhab atau jalan keselamatan itu. Semoga kita semua tidak menjadi bagian dari golongan yang melampaui batas itu.
Kamajemukan yang berbingkai harmoni hidup itulah kiranya yang dimaksud oleh surat Al-Maidah ayat 16 ini: “Allah Swt memberikan petunjuk (dengan al-Qur’an) kepada orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya kepada jalan-jalan keselamatan/keselamatan (subulas salam) dan (dengan kitab itu pula) Allah Swt mengeluarkan mereka dari dari aneka kegelapan menuju cahaya yang terang benderang dengan seijin-Nya dan menunjuki mereka kepada jalan lebar yang lurus (shiratal mustaqim).”
Saya sengaja menyeratakan kata bahasa Arabnya dalam dua kata kunci di ayat tersebut, yakni subulus salam dan shiratal mustaqim. Inilah bagian yang ingin saya wedarkan luas di sini.
Mari mulai dengan menukil surat A-Baqarah ayat 2: “Itulah kitab (al-Qur’an) yang tidak ada keraguan padanya (kebenarannya) sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” Keterangan lanjutan tentang “orang-orang yang bertakwa” bisa diketemukan pada ayat 3 dan 4 berikutnya. Silakan rujuk langsung.
Hal-hal pokok yang bisa didedahkan di sini ialah, pertama, al-Qur’an merupakan kitab petunjuk yang hanya akan berdaya-guna peran petunjuknya bila dilandasi oleh keimanan dan ketakwaan. Tanpa hal pokok itu, al-Qur’an takkan pernah dianggap, apalagi diikuti, sebagai petunjuk. Anda bisa rujuk lagi surat Al-Isra’ ayat 45.
Kedua, keimanan dan ketakwaan merupakan jalan menuju “mengikuti keridhaan–Nya”. Wajar saja bila tanpa adanya iman dan takwa terlebih dahulu, musykillah al-Qur’an migunani, sebab itu berarti bukan golongan orang yang berkenan untuk “mengikuti keridhaan-Nya”.
Ketiga, ini clue besarnya pada bagian kajian ini, berdasar iman dan takwa tadi, al-Qur’an lalu memancarkan cahaya petunjuk kepada kita untuk menapaki subulus salam (jalan-jalan keselamatan). Perhatikan redaksinya yang berbentuk jama’ (plural), bukan mufrad (tunggal). Jelas redaksi jama’ pada subulus salam ini bukanlah tanpa makna mendalam.
Dalam bahasa Arab, sabil (bentuk jama’nya adalah subul) artinya adalah jalan yang kecil; ia berbeda dengan kata shirat (bentuk tunggal) yang berarti jalan yang lebar. Secara asal asal katanya, shirat berarti “menelan”. Maka yang bisa “menelan” pastilah jalan yang lebar, dan yang ditelan adalah jalan-jalan yang kecil. Jadi, subulus salam ditelan oleh shiratal mustaqim. Mari imajinasikan….
Dan, uniknya (mari renungkan), al-Qur’an tak pernah menuliskan bentuk jama’ bagi shirat ini alias selalu menggunakan kata tunggal shirat, seperti shiratal muqtaqim. Di dalam al-Qur’an, kata shirat digunakan sebanyak 45 kali dan semuanya mengandung makna hubungan dengan Allah Swt. Ya, hanya dengan Allah Swt belaka.
Semetara kata sabil dalam al-Qur’an, ada yang berbentuk jamak dan tunggal, serta ada yang berkaitan dengan Allah Swt (misal sabilillah), dengan orang yang bertakwa (sabilul muttaqin), tetapi ada pula yang terhubung dengan kesesatan atau jalan setan (sabilut taghut), dan selainnya. Demikian keterangan Prof. Quraish Shihab, yang berdasar pada keterangan Al-Maraghi secara etimologisnya.
Jika dua makna jalan yang diungkapkan dengan redaksi berbeda itu (sebagaimana diterakan ayat di atas) dipersuakan, kita akan mendulang pemahaman bahwa “jalan-jalan keselamatan (subulus salam) yang dibimbingkan Allah Swt kepada orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada-Nya dengan menghadap ridha-Nya merupakan jalan-jalan yang banyak, luas, dan karenanya beragam yang semuanya berakhir di shiratal mustaqim (jalan lurus yang besar/lebar).”
Keempat, walhasil, seyogianya perkara ini menjadi sanat rasional dan sederhana kini buat kita semua betapa shiaratal mustaqim yang kita impikan semua untuk kita masuki (ihdinas shiratal mustaqim) merupakan jalan maha besar yang bisa menampung jalan-jalan (mazhab-mazhab) apa pun (subulus salam) sepanjang tidak bertentangan dengan syariat-Nya dan tuntunan Rasul-Nya Saw. Penyapihan “bertentangan dengan syariat-Nya dan tuntunan Rasul-Nya Saw” dari golongan shiratal mustaqim bisa diandaikan sebagai jalan-jalan paham atau aliran yang mengikuti jalan setan dan iblis.
Adakah orang berislam yang malah mengikuti jalan setan dan iblis?
Tentu ada.
Ingatlah pada dialog Tuhan dengan iblis di surga sesaat sebelum iblis diusir, yakni sikap tidak patuh iblis kepada perintah Allah Swt dan sikap sombong iblis dengan merasa dirinya lebih baik dari Adam As. Dari dua sifat dan perbuatan yang menjadi sebab dikeluarkannya iblis dari surga-Nya ini, dapat didulang pemahaman yang sangat telak akan kemungkinan tergusurnya seseorang dari jalan yang dianut dan diikutinya dari antara jalan-jalan keselamatan yang termasuk ke dalam jalan besar shiratal mustaqim, yakni ketidakpatuhan pada sebagian atau seluruh perintah Allah Swt dan Rasul-Nya Saw dan denyaran sombong dalam ucapan dan perbuatan, bahkan dalam hati, dengan menabalkan dirinya lebih baik dari liyan.
Mari perhatikan benar bagian ini. Ketika iblis berkata sombong “ana khairun minhu, aku lebih baik darinya”, seketika Allah Swt menitahkan “keluarlah engkau dari surga, sungguh engkau terkutuk, dan sungguh engkau ditimpa laknat-Ku….”
Secara logis, sebab keterlemparan diri dari shiratal mustaqim akibat sombong begitu tak mengenal batasan amal-amal dan ilmu-ilmu. Maksud saya, bahkan umpama pun seseorang begitu lebat amal ibadahnya dan ilmu-ilmunya, bila ia sombong, ia tersingkir dari shiratal mustaqim.
Ingatlah bahwa selama di surga, sebelum menentang perintah Allah Swt untuk bersujud kepada Adam As akibat deraan sombong itu, iblis adalah “bagian dari malaikat” yang khusyuk beribadah pada Allah Swt. Imam Ja’far ash-Shadiq mengatakan, “Janganlah engkau mendahulukan akalmu dalam urusan agama, sebab makhluk yang pertama kali menggunakan akalnya di hadapan perintah Allah Swt adalah iblis dan ia terlaknat.” Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahuLlah mengatakan: “Jika hanya ilmu yang engkau andalkan, ketahuilah bahwa iblis adalah makhluk yang sangat berilmu.”
Baiklah, itu hanya tamsil satu jalan bagi kemungkinan terlemparnya seseorang dari shiratal mustaqim. Semoga kita semua selalu ditetapkan-Nya dalam jalan keselamatan-Nya. Amin.
Poin besarnya telah terang sampai di sini betapa karunia rahmat Allah Swt kepada kita semua dalam rupa dibenarkan-Nya banyak jalan keselamatan (subulus salam), bukan tunggal, sebagai sama-sama terwadahi dalam jalan besar yang lurus-Nya (shiratal mustaqim), sepanjang tidak bertentangan dengan syariat-Nya dan risalah Rasul-Nya Saw, hendaknya cukup betul untuk mengendalikan diri kita untuk terus mendaku dan mengklaim sebagai pemangku satu-satunya jalan keselamatan menuju Allah Swt dan Rasul-Nya Saw.
Jangan begitu.
Luasnya rahmat Allah Swt ini janganlah kita paksa batas-batasi sebegitu reduktifnya. Biarkanlah kerahmatan-Nya ini tetaplah dalam keluasan bentuk-bentuk ejawantahnya berdasar setiap pemahaman, pentaklidan, dan pengamalan kita masing-masing.
Silakan, misalnya, Anda bermazhab A sebagai pilihan dan keyakinan Anda atas satu bagian dari subulus salam itu, sebagaimana saya berhak penuh memilih mazhab A sebagai pilihan dan keyakinan saya atas satu bagian dari subulus salam itu, dan sebagaimana dia bermazhab C sebagai pilihan dan keyakinannya atas satu bagian dari subulus salam itu–yang semuanya sama-sama berhak menyatakan tertampung dalam shiratal mustaqim. Tidak pantas dan sahih ada negasi-menegasi di antara para pejalan kebenaran itu, jatuh-menjatuhkan, klaim-mengklaim, angkuh-mengangkuhi.
Justru selayaknya kita senahtiasa sadar pikir dan hati dengan tawadhu’ bahwa hasrat dan ekpsresi begitu (mengklaim jalan diri sendiri sebagai jalan keselamatan dan selainnya sebagai jalan kesalahan dan kesesatan) amatlah rawan menjerembabkan diri kepada kesombongan iblis (ana khairun minhu) yang akibatnya menyebabkan iblis terlempar dari surga-Nya dan dilaknati-Nya pula.
Sungguh ini memang bukanlah tugas yang mudah. Sangat tak mudah. Untuk menyegarkan ingatan, Anda bisa merujuk kembali bagian pertama yang bicara tentang jenjang-jenjang perjalanan rohani yang amat panjang sebagaimana dituturkan Imam Ghazali.
Mari selalu ingat pada hakikat “kebenaran” jalan-jalan keselamatan yang disebutkan jamak, tidak tunggal. Prof. Quraish Shihab menggambarkan filosofi kebenaran ini dengan sangat elok: “Kebenaran bukanlah bagai 5 ditambah 5 sama dengan 10; melainkan 10 bisa dicapai dengan 2 dikalikan 5 atau 2 dikalikan 4 ditambah 2 atau 2 ditambah 5 ditambah 3 atau 20 dibagi 2, dan sebagainya….”
Semoga Allah Swt senantiasa melimpahkan hidayah dan taufik-Nya kepada kita semua untuk menjadi bagian dari pejalan di subulus salam-Nya yang diregkuh penuh Rahman Rahim dalam shiratal mustaqim-Nya. Amin.
Baca Juga Kultum Ramadhan Lainnya di Sini