
Saudara-saudara yang dirahmati Allah, kita berada di bulan suci Ramadan, bulan yang penuh berkah dan ampunan. Di bulan ini, kita diajak untuk merenungkan dan memperdalam iman kita. Salah satu cara untuk memahami keimanan kita adalah dengan merujuk kepada hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ. Pada kesempatan kali ini, mari kita bahas sebuah hadis yang sangat penting mengenai tanda-tanda seorang mukmin dari hatinya.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal dan al-Hakim disebutkan,
عن أبي أُمَامَة: (أَن رجلا سَأَلَ رَسُول الله، ﷺ: مَا الْإِيمَان؟ قَالَ: إِذا سرتك حَسَنَة وساءتك سَيِّئَة. فَأَنت مُؤمن. قَالَ: يَا رَسُول الله ﴿مَا الْإِثْم؟ قَالَ: إِذا حك فِي صدرك شَيْء فَدَعْهُ)
Artinya, “Dari Abu Umamah: seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apa itu iman?” Rasulullah SAW menjawab, “Jika kebaikanmu membuatmu senang dan keburukanmu membuatmu sedih, maka engkau adalah seorang mukmin.”
Dari hadis ini kita mulai bisa memahami banyak hal, salah satunya tentang bagaimana seharusnya hati seorang mukmin berfungsi. Ketika kita melakukan kebaikan, hati kita seharusnya merasakan kebahagiaan dan kepuasan. Sebaliknya, ketika kita terjerumus dalam keburukan, hati kita akan merasakan kesedihan dan penyesalan. Ini adalah tanda bahwa iman kita masih hidup dan berfungsi dengan baik.
قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَمَا الْإِثْمُ؟ قَالَ: إِذَا حَاكَ فِي نَفْسِكَ شَيْءٌ فَدَعْهُ
Laki-laki itu kemudian bertanya lagi kepada Rasulullah SAW, “Apa itu dosa?” Rasulullah SAW menjawab, “Jika sesuatu menggelisahkan hatimu, maka tinggalkanlah.”
Ketika kita merasa ragu atau gelisah setelah melakukan suatu perbuatan, itu adalah tanda bahwa perbuatan tersebut mungkin tidak benar. Dalam konteks ini, Rasulullah SAW mendorong kita untuk meninggalkan hal-hal yang meragukan dan berpegang pada apa yang jelas dan baik.
Ali al-Qari, dalam Mirqat al-Mafatih, menjelaskan lebih lanjut tentang hadis ini. Ia menyatakan bahwa seorang mukmin yang sempurna dapat membedakan antara ketaatan dan kemaksiatan. Ia merasa bahagia ketika melakukan kebaikan dan merasa sedih ketika melakukan keburukan. Ini menunjukkan bahwa seorang mukmin memiliki kesadaran akan konsekuensi dari setiap perbuatannya, baik di dunia maupun di akhirat.
Ali al-Qari juga menekankan pentingnya meninggalkan hal-hal yang meragukan. Ketika hati kita tidak tenang dan ada keraguan, sebaiknya kita menjauhi perbuatan tersebut. Ini sejalan dengan prinsip yang diajarkan oleh Rasulullah SAW : “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.”
Saudara-saudara, Jemaah sekalian
Seorang yang sudah terbiasa melakukan keburukan, seperti korupsi, menunjukkan bahwa hatinya telah mengeras. Mungkin pada awalnya, ketika pertama kali melakukan korupsi, ia merasakan keraguan dan dilema. Namun, ketika perbuatan itu diteruskan, perasaan tersebut perlahan menghilang. Ini mirip dengan penyakit; pada awalnya tubuh akan merasakan gejala, tetapi ketika sudah terbiasa, tubuh seolah-olah menjadi kebal. Oleh karena itu, saat pertama kali melakukan kemaksiatan, jangan dilanjutkan, jika tidak ingin hati menjadi keras dan tidak merasakan lagi dosa.
Bulan Ramadan adalah waktu yang tepat untuk melakukan introspeksi. Mari kita tanyakan pada diri kita sendiri: Apakah kita merasa bahagia setelah melakukan kebaikan? Apakah kita merasa gelisah setelah melakukan keburukan? Dengan merenungkan pertanyaan-pertanyaan ini, kita dapat lebih memahami posisi kita di hadapan Allah.
Ramadan adalah bulan untuk memperbaiki diri, meningkatkan kualitas iman, dan mendekatkan diri kepada Allah. Mari kita gunakan kesempatan ini untuk memperkuat hubungan kita dengan-Nya, dengan cara melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan.
Dalam hadis tadi, kita diajarkan bahwa tanda seorang mukmin terletak pada hatinya. Kebahagiaan dalam kebaikan dan kesedihan dalam keburukan adalah indikator iman yang sejati. Mari kita jaga hati kita agar tetap bersih dan penuh dengan kebaikan. Semoga Ramadan ini menjadi momentum bagi kita untuk menjadi mukmin yang lebih baik, yang selalu mendengarkan suara hati dan mengikuti petunjuk Allah. Aamiin.
Wallahu a’lam.