Senja itu, di bawah pohon yang rindang, Budha bercengkrama dengan murid-muridnya. Tiba-tiba datang seorang laki-laki menghampiri dan langsung meludahi wajah Budha.
Spontan Budha mengusap wajahnya dengan jubah bagian bawah seraya berkata :
“Lalu, apa yang ingin kau sampaikan ?”
Sementara itu, murid-murid Budha merasa terhina dengan perlakuan itu. Ananda, salah satu murid Budha, bangkit dari duduknya sambil bersuara lantang :
“Ini keterlaluan. ! Dia harus dihukum. Jika dibiarkan semua orang akan melakukan hal yang sama..!”
Budha-pun menenangkan Ananda seraya memberi petuah :
“Kau hendaknya tetap tenang. Dia tidak menghinaku, justru kaulah yang menghinaku. Dia orang asing yang tidak mengenalku secara mendalam. Tampaknya ia mendengar sesuatu tentangku dari orang lain. Bisa jadi aku dituduh atheis, suka menyesatkan orang, atau suka membangkang. Pikiran laki-laki ini telah dipenuhi prasangka buruk tentangku. Ia, sejatinya, tidak meludahiku tapi meludahi prasangka buruknya sendiri”
Ananda tertunduk dan kembali duduk. Sementara itu, sang laki-laki peludah berdiri dengan tertunduk malu.
“Jika ditengok ke dalam” Budha melanjutkan “sejatinya ia meludahi pikirannya sendiri, bukan meludahiku. Dan, aku sama sekali tidak merasa terhina. Aku justru terhina olehmu, Ananda, kau telah bertahun-tahun bersamaku tapi masih bereaksi keras terhadap hal ini. Kendalikan egomu, berpikirlah jernih..!”
Sang lelaki peludah hanya tertegun, diam, dan malu begitu rupa. Dalam deru hati berkecamuk, ia meninggalkan Budha dan murid-muridnya.
Esoknya, laki-laki itu kembali datang dan langsung bersimpuh menghaturkan sungkem. Air mata mengalir membasahi pipinya.
Budha bertanya :
“Lalu, apa yang ingin kau sampaikan?”
Sambil menoleh ke Ananda, Budha berujar :
“Lihatlah Ananda, laki-laki ini kembali datang kepada-ku dengan emosional. Kata-kata tidak cukup untuk mengungkap segenap emosi dalam dirinya”
Kepada Sang Budha, laki-laki itu, dengan terbata-bata dan berurai air mata memohon:
“Maafkan perbuatanku kemarin yang telah meludahi wajah Anda dengan penuh kemarahan. Anda benar, pikiranku penuh dengan prasangka buruk tentang Anda.. maafkan daku…!”
Budha merendahkan tubuhnya dan memegang tubuh laki-laki itu, menuntunnya untuk berdiri, seraya berucap :
“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku bukan orang yang kemarin kau ludahi. Sungai Gangga terus mengalir, tidak pernah sama di tiap waktu. Setiap manusia adalah sungai yang terus mengalir di tiap waktunya.
Aku mirip dengan aku yang kemarin, tapi tidak persis sama. Ada banyak peristiwa dalam 24 jam yang mengubah banyak hal tentang diriku dan juga tentang dirimu. Aku tak bisa memaafkanmu karena tidak ada rasa dendam dalam diriku. Bahkan, ketika kau meludahiku pun, tidak ada dendam dalam diriku”
“Kau adalah manusia baru” Budha meneruskan “kau bukan laki-laki kemarin yang penuh murka, sekarang kau adalah laki-laki yang berhati lembut. Lupakan yang kemarin, mari berbincang-bincang tentang hal yang lain”
Budha, dalam narasi di atas mengajak kita untuk melawan api dengan air, melawan kemarahan dengan pemaafan dan cinta. Kemarahan dibalas dengan kemarahan berujung pelipat-gandaan kemarahan. Kemarahan dibalas dengan cinta berujung pada “semua makhluk berbahagia”