Ayat-ayat perang dalam al-Qur’an seperti yang telah dijelaskan dalam artikel sebelumnya bukanlah ajakan untuk jihad/perang. Ayat-ayat tersebut ialah untuk mengkondisikan pasukan supaya terbakar semangatnya dalam berperang. Jadi ayat-ayat ini jelas ayat-ayat “keras” di waktu dan kondisi yang mengharuskannya untuk keras. Surat at-Taubah termasuk ke dalam kategori ini.
Masa iya di waktu peperangan, yang turun justru ayat-ayat berkenaan dengan minta maaf, berbuat baik dan seterusnya. Jelas tidak logis. Ini akan bikin tentara jadi lembek. Jadi sekali lagi saya tekankan bahwa dalam al-Qur’an tidak ada seruan untuk jihad/perang, yang ada hanyalah pengkondisian pasukan untuk siap tempur melawan musuh. Itu yang terjadi. Jadi wajar yang muncul ialah redaksi jaahidu, qaatiluu, i’taduu yang semuanya artinya ialah “perangilah oleh kalian”.
Abdullah Azzam malah memahami ayat ini sebagai bentuk kewajiban individual umat Islam. Dalam konsepsinya, jihad itu seperti rukun Islam yang keenam, yang kalau ditinggalkan, hukumnya sama saja dengan meninggalkan shalat dan puasa. Dalam konsepsi Azzam, puasa dan shalat merupakan syariat Allah, yang kalau tidak kita laksanakan, sama saja kita tidak mengakui hakimiyyah/kepemerintahan Allah. Karena itu, seorang yang meninggalkan shalat dan puasa atau sebut saja hukum-hukum Allah layak disebut kafir.
Pandangan seperti ini juga berimbas bagi umat Islam yang tidak berjihad, mereka sama saja dengan orang-orang yang tidak berhukum dengan hukumnya Allah dan implikasinya ialah jadi kafir. Ini implikasi serius dari pandangan-pandangan jihad Abdullah Azzam yang cukup berpengaruh bagi gerakan-gerakan ekstremisme di kemudian hari.
Terkait hukum jihad/perang apakah wajib atau tidak wajib, sebagian besar ahli fikih memandang status hukumnya sebagai fardhu kifayah, yakni jika dilaksanakan oleh sebagian, gugurlah kewajibannya bagi sebagian yang lain. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda:
من آمَنَ باللهِ وبرسولِه وأقامَ الصلاةَ وصامَ رمضانَ كان حَقّاً على الله أن يُدْخلَهُ الجنَّة، جاهدَ في سبيلِ اللهِ أو جلَسَ في أرضهِ التي وُلِدَ فيها
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan rasulnya, melaksanakan shalat dan puasa di bulan Ramadhan, maka Allah akan memasukkan orang itu ke dalam surga, entah jihad/perang di jalan Allah atau pun cuma diam saja di tanah kelahirannya.”
Jadi menurut jumhur ulama, jihad tidak wajib kecuali jika dalam rangka membela diri. Sebab itu, jumhur ulama menegaskan:
إذا حميت الأطراف وسدت الثغور سقط فرض الجهاد، ولا يتعين وجوبه إلا لثلاثة أسباب: أن يفاجئ العدو بعض بلاد المسلمين فيتعين عليهم دفعه، استنقاذ أسرى المسلمين من أيدي الكفار، أمر الإمام، فمن عينه الإمام وجب عليه الخروج. ولا يجب الجهاد على الذي عليه دَين حل أجله. كما لابد فيه من إذن الأبوين
“Jika sudah tepi kota sudah terlindungi dan banteng-benteng kota sudah tertutup, hilanglah kewajiban jihad, dan wajibnya jihad berlaku karena tiga alasan; musuh menyerang negeri umat Islam sehingga mereka wajib membelanya; menyelamatkan tawanan-tawanan dari umat Islam yang ada di tangan musuh; kebijakan pemimpin. Jadi orang yang ditunjuk pemimpin untuk jihad, wajiblah jihad untuknya. Jihad tidak wajib bagi orang yang memiliki hutang yang harus dilunasi, seperti syarat lainnya, yakni harus ada izin orang tua dan tidak boleh meninggalkan anak istri dalam keadaan terlunta-lunta…”
Adapun di wilayah yang sudah dalam pangkuan Islam pasca perang, pemimpin Islam harus mengirim para dai yang mengajarkan Islam bagi para warga yang masuk Islam. Adapun yang belum masuk Islam mereka tetap diberi hak kewarganegaraan dan tidak boleh dipaksa masuk Islam. Namun mereka memiliki kewajiban untuk membayar jizyah, semacam pajak yang diwajibkan oleh Negara bagi para warganegaranya. Jizyah ini bagi non-muslim ibarat zakat bagi muslim.
Para ulama fikih juga bersilang pendapat soal siapa yang wajib membayar jizyah; Imam al-Syafi’i berpandangan bahwa jizyah tidak boleh diterima kecuali dari ahli kitab saja, baik orang Arab maupun orang non-Arab. Orang Majusi juga wajib diambil jizyahnya sesuai dengan adanya perintah dari Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Imam Malik berpandangan bahwa jizyah wajib ditarik dan ditagih dari semua orang non muslim, baik orang Arab maupun non-Arab, baik Quraish maupun non-Quraish, siapapun yang penting non-muslim wajib ditarik jizyah.
Ini artinya penduduk lokal yang tanahnya dibebaskan oleh umat Islam saat itu dan yang negaranya dikalahkan oleh mereka tidak boleh dibunuh, bahkan mereka tetap dianggap sebagai warga Negara Islam, dan tetap diperbolehkan menganut agama sebelumnya, namun harus membayar jizyah. Mereka juga boleh masuk Islam, dan tentunya pungutannnya berganti nama dari jizyah menjadi zakat disamping harus melakukan berbagai rukun Islam lainnya