Di negara majemuk seperti Indonesia, dialog antaragama menjadi sangat penting sebagai upaya untuk merawat nilai-nilai hidup bersama, upaya mencegah konflik, dan upaya untuk menginklusi ruang publik yang ramah bagi semua. Pada dasarnya, praktik sosial ini penting karena dapat meningkatkan pemahaman keberagaman dan rasa respek antar penganut agama yang berbeda, serta mempererat kebersamaan dalam perbedaan agama.
Sederhananya, dialog antaragama penting karena dapat membantu kita mencegah konflik dan kekerasan yang dipicu oleh perbedaan identitas agama, stereotip terhadap agama tertentu, dan pemahaman yang buruk terhadap perbedaan agama. Dengan kata lain, dialog antaragama dapat membantu kita mengokohkan persatuan (social cohesion) dan menebalkan rasa ke-saling-an kita.
Untuk mencapai tujuan mulia itu, diperlukan keterlibatan berbagai pihak. Dalam konteks Indonesia, misalnya, gerakan dialog antaragama telah diusahakan oleh berbagai organisasi, termasuk lembaga pemerintah, kelompok agama, organisasi perempuan, lembaga pendidikan, dan seterusnya. Keterlibatan berbagai aktor ini merupakan upaya untuk mempromosikan sikap toleransi dan saling menghormati antaragama yang berbeda, serta untuk mengurangi risiko konflik dan kekerasan atas nama agama.
Dalam konteks beragamnya agama, sekali lagi, dialog antaragama menjadi alat yang krusial demi mempromosikan perdamaian dan mencegah konflik keagamaan, sekaligus dapat menjadi strategi edukasi yang efisien bagi masyarakat luas untuk menciptakan kesalingpahaman antar penganut agama.
Kritik atas Formalitas Dialog Antaragama
Sayangnya, manfaat dialog antaragama dalam masyarakat religius yang majemuk, seperti Indonesia, seringkali tidak mudah dicapai, terutama karena praktik yang diusahakan masih cenderung berbentuk formal. Formalitas dialog antaragama biasanya tergambar lewat aktivitas dialog yang diselenggarakan dalam bentuk diskusi atau perjumpaan resmi, yang sebelumnya telah direncanakan sedemikian rupa, diorganisir secara struktural (top-down) dengan tujuan semata-mata membicarakan ajaran agama masing-masing (doctrinal).
Bentuk dialog semacam ini biasanya dilaksanakan dengan menghadirkan perwakilan dari berbagai agama atau kepercayaan yang akan terlibat dalam aktivitas dialog. Memang dialog antaragama formal ini kadang-kadang tetap punya kegunaan. Tetapi, dalam banyak hal, dalam banyak konteks, praktik dialog semacam ini punya banyak kelemahan dan keterbatasan.
Salah satu kelemahannya dialog antaragama yang dilakukan secara formal-struktural itu cenderung dangkal dan ruang sentuhnya terbatas pada orang-orang tertentu. Dialog mungkin saja terjadi antar penganut agama yang terlibat, tapi yang berbicara hanya orang-orang tertentu dan seringkali eksklusif. Karena berbasis tekstual-dokrinal, hanya orang-orang dengan kapasitas dan kualifikasi tertentu yang bisa berbicara.
Alih-alih mendiskusikan pengalaman keagamaan yang kompleks, praktik dialog antaragama semacam ini hanya mengupas bagian kulit dari keberagamaan. Dialog semacam ini juga hanya melibatkan orang-orang yang hadir di ruang formal, yang biasanya terkhusus pada kelas-kelas tertentu.
Fakta terakhir itu mengantarkan kita pada titik lemahnya yang lain, yakni praktik dialog yang cenderung didominasi oleh perwakilan institusional atau elit tertentu. Sederhananya, dialog semacam ini tidak melibatkan komunitas beragama yang lebih luas sehingga terjadi keterputusan antara dialog dalam suasana formal dan penghayatan orang-orang biasa secara informal dalam keseharian mereka.
Begitu pula, ketika mendekati musim pilkada, sebagaimana pengamatan saya—tentu saja pengamatan saya ini bisa diperdebatkan, ada kecenderungan praktik dialog antaragama digunakan sebagai medium kampanye politik. Dialog antaragama formal adalah salah satu forum kampanye yang paling disukai oleh para politisi untuk menggalang lebih banyak pendengar dari berbagai agama.
Sepintas, itu memang tidak bermasalah. Tetapi, praktik dialog antaragama seperti itu sudah pasti dangkal. Praktik dialog antaragama seharusnya menjadi upaya yang tulus membangun kesalingpahaman, bukan upaya politis yang cetek. Singkatnya, praktik dialog semacam ini hanya akan menampilkan interaksi masyarakat yang artifisial daripada benar-benar menumbuhkan keterlibatan dan kesalingpahaman yang bermakna antar penganut.
Lebih parah lagi jika dalam dialog antaragama yang formal itu terdapat relasi kuasa yang tidak seimbang. Misalnya, institusi agama dominan tertentu yang mengatur agenda diskusi dan mengendalikan keseluruhan dialog. Praktik semacam ini dapat melanggengkan struktur yang mendominasi dan mensubordinasi kelompok keagamaan dengan kuasa yang lebih kecil.
Media Sosial sebagai Alternatif
Setelah melihat kelemahan-kelemahan praktik dialog antaragama yang formal, salah satu yang bisa kita ajukan sebagai alternatif adalah praktik dialog antaragama dalam keseharian atau yang terbangun dalam interaksi nonformal sehari-hari. Praktik dialog antaragama dalam keseharian menjadi penting karena keterlibatan agama dalam kehidupan sehari-hari memberi kesempatan bagi penganut agama yang berbeda untuk saling membangun kepercayaan, saling memahami, dan menjalin hubungan yang lebih bermakna. Interaksi keseharian antar penganut agama dapat memupuk perasaan ke-saling-an: saling berbagi, saling hormat, dan saling empati satu sama lain.
Dengan terlibat dalam praktik bersama (engage), penganut agama tertentu dapat memperoleh wawasan tentang keyakinan dan nilai-nilai hidup penganut agama yang lain, serta belajar menghargai perbedaan agama itu secara langsung. Mereka akan belajar memperlakukan penganut agama yang berbeda itu sebagai manusia. Praktik keterlibatan sehari-hari oleh penganut berbeda agama juga dapat berfungsi sebagai landasan bersama bagi para penganut agama yang berbeda itu untuk saling bersatu dan bekerja kolektif untuk tujuan bersama, seperti bersama-sama mempromosikan keadilan sosial, perdamaian, dan kesetaraan.
Melalui keterlibatan dan interaksi keseharian semacam ini, para penganut agama yang berbeda dapat mengatasi kesalahpahaman dan stereotip satu sama lain. Kelebihan utama dari praktik dialog antaragama keseharian adalah sifatnya yang dinamis, setara, dan kontekstual—semua itu adalah kebalikan dari versi yang formal.
Praktik dialog antaragama yang dinamis, setara, dan kontekstual juga sebetulnya dapat diterapkan dalam praktik dialog antaragama yang berbasis konten media sosial, misalnya konten YouTube. Sederhananya, YouTube dapat digunakan sebagai platform alternatif untuk mempromosikan praktik dialog antaragama anti-formalitas, setara, menghibur, dan kontekstual.
Terbukti, YouTube memungkinkan pengguna (penganut agama) untuk mengakses dan berinteraksi dengan konten dari berbagai sumber dan perspektif, termasuk konten yang berasal dari tradisi keagamaan yang berbeda. Dengan tersedianya konten antaragama di YouTube, penganut agama tertentu dapat meningkatkan keterpaparan mereka terhadap keyakinan dan praktik agama yang berbeda. Sehingga, hal itu dapat membantu meruntuhkan stereotip dan miskonsepsi terhadap agama tertentu.
#LogIndiClosetheDoor: Konten Dialog Antaragama
Salah satu konten YouTube yang mengafirmasi bahwa platform media sosial atau YouTube dapat menjadi medium alternatif bagi praktik dialog antaragama adalah konten #LogIndiClosetheDoor. Dalam konten di kanal YouTube milik Deddy Corbuzier tersebut, tampil dua penganut agama berbeda, Habib Husein Ja’far Al Hadar, yang beragama Islam, dan Onadio Leonardo, yang beragama Katolik. Keduanya membahas isu-isu keagamaan dengan cara yang humoris. Mereka menggunakan humor dan komedi untuk membahas topik yang berkaitan dengan ajaran agama mereka satu sama lain, sekaligus menyoroti persamaan dan perbedaan antara kedua agama tersebut. Dengan ditayangkannya di YouTube, konten #LogIndiClosetheDoor dapat ditonton oleh banyak penganut dari agama berbeda. Dan tentunya juga menyediakan kesempatan dialog dan keterlibatan (indirectly).
Ada beberapa kelebihan konten YouTube #LogIndiClosetheDoor sebagai praktik dialog antaragama. Pertama, konten #LogIndiClosetheDoor memfasilitasi dialog dan interaksi antara individu dari keyakinan agama yang berbeda, dalam konteks ini antara Habib Ja’far dan Onad. Selain itu, konten ini juga memberi mereka peluang yang setara atau ruang yang selow untuk saling berdiskusi, berbagi, berdebat, dan saling belajar.
Kedua, konten #LogIndiClosetheDoor itu secara signifikan meningkatkan pemahaman dan empati antar penganut agama yang berbeda dengan menyajikan cerita personal mereka satu sama lain. Dengan berbagi cerita dan pengalaman personal, mereka membuka ruang apresiatif sebagai manusia yang beragama melampaui perbedaan agama itu sendiri.
Ketiga, konten #LogIndiClosetheDoor dapat mendorong penyampaian pesan yang positif dan menangkal ujaran kebencian. Seperti yang kita tahu, media sosial menjadi tempat ujaran kebencian dan intoleransi dengan mudah digoreng, terutama terhadap agama minoritas. Dengan adanya konten ini, setidaknya ada upaya untuk mempromosikan pesan positif dan menangkal ujaran kebencian.
Kelebihan penting lain dari konten #LogIndiClosetheDoor, bagi saya yang telah menonton beberapa episode, adalah kemasannya yang menggunakan humor dan komedi. Humor dan komedi, dalam konteks praktik dialog antaragama di #LogIndiClosetheDoor, berguna untuk meningkatkan relasi kuasa yang setara, serta meruntuhkan sekat atau perbedaan agama antara Habib Ja’far dan Onad.
Sederhananya, humor dapat menciptakan ruang bersama bagi mereka sebagai penganut agama berbeda. Perasaan yang sama akan dialami oleh para penonton konten tersebut, dari latar belakang agama apapun mereka berasal. Saya, misalnya, setelah menonton beberapa episode, merasa menemukan titik temu di semesta humor yang mereka berdua sajikan. Habib Ja’far dan Onad, bahkan para penganut agama berbeda yang menonton konten tersebut, dapat menemukan cara menertawakan diri masing-masing dan meruntuhkan perbedaan-perbedaan, sekaligus menemui perasaan ke-saling-an, kesamaan.
Sebagai penutup, saya ingin mengatakan, konten dialog antaragama #LogIndiClosetheDoor mengajari saya satu hal penting. Bahwa dalam menghadapi perbedaan agama dan keberagaman identitas, sebaiknya kita tertawa saja! [NH]