Mayoritas ulama menyepakati ibadah haji diwajibkan bagi setiap umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan, khususnya bagi orang yang sudah memenuhi persyaratan haji. Kewajiban haji ini didasarkan pada firman Allah SWT surat al-Maidah ayat 97:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
Artinya:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah” (QS: Ali Imran [3]: 97).
Ibnu Katsir menafsirkan kata “sabila” pada ayat di atas dengan bekal dan kendaraan. Artinya, bagi orang yang memiliki bekal dan kendaraan menuju baitullah diwajibkan haji atas mereka. Ulama fikih menjelaskan ayat ini lebih detail dan spesifik. Istitha’ah (mampu) dalam pandangan ahli fikih dapat dibagi menjadi dua kategori:
Pertama, istitha’ah bi al-nafsi, yaitu orang yang mampu melaksanakan haji sendiri, meskipun nanti dalam pelaksanaannya dia harus dibimbing orang lain, seperti orang buta, dan dia mampu membayar upah orang yang membantunya; Kedua, istitha’ah bi ghair, yaitu orang yang tidak mampu melaksanakan haji, karena usia ataupun fisiknya tidak kuat, sehingga dia harus meminta orang lain untuk menggantikannya haji.
Kategori kedua ini biasanya disematkan pada orang yang memiliki banyak harta, tetapi fisiknya tidak kuat untuk beribadah haji dan tampaknya tidak akan mungkin bila dia melakukan haji sendiri ataupun dibantu orang lain. Sebab itu, dia lebih baik mewakilkan pelaksaan hajinya kepada orang lain. Sementara maksud kategori pertama adalah orang yang mampu secara fisik dan finansial.
Selain dua kategori di atas, ulama fikih juga menjelaskan bahwa seseorang dapat dikatakan mampu melaksanakan haji bila dia sudah memenuhi beberapa persyaratan:
Pertama, orang yang memiliki uang untuk membayar ongkos haji pulang-pergi dan biaya hidup selama melaksanakan haji, dan biaya tersebut: Kedua, perjalanan dari tempat tinggal sampai tempat melaksanaan haji aman; ketiga, ada bekal ataupun air di jalan yang akan dilalui pada saat menuju baitullah; keempat, tersedianya alat transportasi dan kendaraan yang digunakan dipastikan tidak berbahaya dan memberikan mudarat.
Dari kriteria di atas dapat dipahami bahwa siapapun yang memiliki uang untuk membayar ongkos haji, dia wajib melakukan haji selama uang tersebut tidak diperoleh dari hasil pinjaman dan pada saat melaksanakan haji dia mampu meninggalkan nafkah bagi keluarga yang masih menjadi kewajibannya.
(Disarikan dari kitab Taqrirat al-sadidah yang disusun oleh Hasan bin Ahmad al-Kaf)