Kota dan Asal-Usul Takjil Kita

Kota dan Asal-Usul Takjil Kita

Kota dan Asal-Usul Takjil Kita
ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/ama/18.

Buka puasa selalu dinanti oleh semua orang. Namun tidak semua orang selalu mendapat makanan buka puasa. Tulisan ini akan menjelajahi bagaimana sebuah kota, dalam arti ruang hidup dan interaksi masyarakat di dalamnya, sangat menentukan tersaji atau tidaknya buka puasa bagi seseorang. Jogja dan Bekasi akan menjadi dua kota yang dibandingkan.

***

Di Jogja, Masjid selalu ramah bagi mahasiswa. Di luar bulan Ramadhan, sebagian besar masjid menyediakan nasi bungkus selepas solat Jum’at.  Di bulan Ramadhan, masjid-masjid itu hampir setiap hari membagikan Takjil. Ada yang isinya lengkap: makanan berat, ringan, hingga minuman dingin. Ada juga yang menyediakan tanpa makanan berat.

Takjilnya bervariasi. Mulai dari nasi kucing, ayam geprek bahkan hingga nasi biryani; dari risoles, kroket hingga kudapan dari pastry ternama; dan dari es teh hingga cocktail. Kalau berkunjung di masjid yang agak beken, bisa dipastikan makanan buka puasanya enak. Di Jogja, masjid adalah tempat yang sangat berjasa bagi perut mahasiswa.

Ini sepertinya sudah terjadi selama bertahun-tahun. Kalau menjelang magrib di bulan puasa, masjid selalu penuh sesak oleh anak muda. Orang akan mudah menebak “oh ini mahasiswa.” Dugaan ini pasti benar, meski kadang di pagar masjid terparkir gerobak Cilok, Cilor, Cimol ataupun gerobak jajan SD lain yang biasanya penjualnya seumuran dengan para mahasiswa itu, dan ikut membaur dalam antrian takjil.

Di beberapa masjid yang berdekatan dengan Mall, kadang baris jamaahnya diwarnai oleh orang dengan seragam biru muda, hitam atau krem yang tertempel pin nama departemen store tertentu. Usia mereka terlihat tidak berbeda jauh dengan para mahasiswa. Berbuka di masjid sepertinya bukan pilihan yang buruk jika dibanding harus membeli makanan di Mall, mengingat usia mereka yang sedang berada dalam fase ekonomi yang belum mapan.

Akan tetapi, pergumulan anak muda, khususnya mahasiswa, di Jogja tidak hanya di masjid. Di lampu merah simpang jalan yang dekat dengan pusat aktivitas masyarakat, seperti pasar tradisional, kampus, ataupun Malioboro, biasanya ada kerumunan anak muda yang membagi-bagi takjil. Setiap kali lampu lalu lintas menyala merah, mereka akan membagi takjil dengan seksama, mana yang termasuk orang yang membutuhkan takjil, dan mana orang tidak membutuhkan.

Takjil biasanya diberikan kepada mbah-mbah pesepeda yang membawa muatan (entah itu sayur, jajanan kecil, ataupun logistik tradisional lain), tukang becak, pengendara motor yang motornya ngebul menahan beban muatan di kantong ekstensi jok belakang, ataupun kepada pekerja informal lain yang melintas di lampu merah simpang jalan.

Sementara itu, pengendara yang kelihatannya tidak termasuk dalam kategori pekerja informal, dan mahasiswa yang kebetulan sedang tak punya uang namun masih terperangkap di jalan, mau tidak mau hanya bisa menonton keberuntungan yang sedang berpihak pada mereka yang mebutuhkan.

Keberuntungan bagi pekerja informal tidak hanya diberikan oleh mahasiswa di sudut-sudut lampu merah simpang jalan. Tukang becak, tunawisma, atau pekerja informal lain yang berdiam di pinggir jalan biasanya dikejutkan oleh seorang yang tak dikenal memberikan nasi bungkus. Dermawan misterius itu kadang ditemani oleh kawannya yang membawa mobil sambil agak melipir pelan. Mereka menyusuri jalan berdasarkan rute yang telah mereka tentukan untuk mencari orang-orang yang membutuhkan takjil.

***

Berbeda dengan Jogja. Di Bekasi, hubungan sosial dan lokasi tempat tinggal jauh lebih berperan bagi proses sirkulasi makanan dibanding Masjid. Hal ini dapat ditelusuri dari hakikat Bekasi sebagai kota yang terdiri dari gelembung-gelembung pagar perumahan yang di sela-sela pembangunannya menyisihkan ‘kampung kota’―yakni sekelumit area sudut yang sering dilabeli ‘kumuh’, ‘tak beradab’, ‘miskin’, ‘udik’, ‘tidak modern’, dan sejenisnya oleh mereka yang menikmati pembangunan modern.

Baik perumahan ataupun di kampung kota, keduanya tersusun dari etnisitas yang beragam. Hanya saja, orang asli Bekasi ataupun Betawi asli lebih banyak bermukim di kampung kota. Mungkin karena sejak moyang mereka telah mewarisi tanah di situ sehingga kini harus rela bergempita dengan perumahan sekitar yang isinya kebanyakan orang dari berbagai daerah.

Para perantau kemudian menetap di Bekasi. Kualitas hidup mereka terus meningkat. Kedaraan dan harta-benda lain yang telah diraihnya perlu dilindungi. Dari sini tumbuh imaji soal keamanan, soal jalanan yang tidak aman, soal kampung kota yang kumuh, dan soal orang pinggiran yang perlu dicurigai.

Imaji-imaji itu mengkristal menjadi pagar, yang setiap tahun semakin rapat, tinggi dan runcing. ‘Kampung’ akhirnya punya dua makna yang berbeda dalam benak perantau: kampung halaman yang asri, dan kampung kota yang meresahkan.

Akan tetapi, meski sering dianggap remeh, orang kampung kota punya jasa besar bagi kehidupan orang perumahan. Tanpa mereka, maka tak akan ada tukang sayur keliling; tak ada tukang bunga keliling; tak akan ada pedagang buah, penjual bahan pokok, penjual Soto Mie, Nasi Uduk, Laksa Betawi, Kue Pukis, Lontong Padang di pasar sudut pusat niaga kelurahan; tak akan ada buruh cuci-setrika langganan; dan tak akan ada juga kios-kios pulsa yang setia menunggu warga perumahan yang baru pulang kerja. Mereka yang berhasil memperbaiki kehidupan lewat usaha-usaha itu, kadang menyekolahkan anaknya di sekolah yang sama dengan anak dari warga perumahan.

Dari situ interaksi sosial antara dua jenis masyarakat yang berbeda terjalin. Predikat ‘langganan’ dan predikat ‘mama-nya si X’ menjadi modal tukar utama yang memungkinkan terjadinya sirkulasi makanan yang menembus pagar perumahan. Predikat-predikat ini penting sebagai token kepercayaan-sosial, selain token utama yakni predikat ‘tetangga’.

Soal sirkulasi makanan, masjid di Bekasi tidak banyak berperan karena sebagian besar jamaahnya adalah warga komplek perumahaan yang berkecukupan. Jadi, pihak masjid sering kali hanya menyediakan teh dan snack kecil, yang jumlahnya hanya cukup untuk dimakan oleh pengurus masjid dan jamaah seadanya.

Di masjid kampung kota, takjil sangat jarang tersedia. Mungkin sebab keterbatasan aliran dana, di mana sebagian besar orang yang ekonominya mapan terkonsentrasi di perumahan, jadi sumbangannya tak mengalir ke kas masjid kampung kota.

Sebaliknya, sirkulasi makanan jauh lebih lancar melalui dua predikat tadi. Warga kampung kota yang kurang beruntung dapat menerima, mulai dari kolak, oleh-oleh, masakan rumah, makanan restoran fast-food, atau bahkan kadang juga menerima sarung, THR dan sejenisnya selama mereka termasuk salah satu dari dua predikat tadi.

Akan tetapi, dengan demikian, maka mereka yang tak memiliki predikat apa-apa akan tersisih dari kesempatan itu, kecuali kalau mau mengandalkan santunan dari pemerintah daerah ataupun dari swasta (sembako, atau apapun). Tukang kembang, penjual cilok, penjual lontong sayur ataupun makanan daerah sejenis, dan tukang sayur, adalah beberapa pekerjaan informal yang sulit untuk mendapatkan salah satu dari dua predikat tadi.

Itu adalah sekelumit bagaimana sirkulasi makanan menembus pagar, di samping utamanya, makanan hanya beredar di dalam pagar komplek perumahan.

***

Apa yang terjadi di Jogja dan Bekasi sama-sama berkaitan erat dengan ketimpangan. Bedanya, ketimpangan di Jogja sebarannya lebih terdistribusi dan lebih delusif―tentu ini tidak dapat dilepaskan dari tiga faktor: masifnya pembangunan pusat-pusat kapital (hotel, kafe, dll), tingginya jumlah mahasiswa, dan tingginya jumlah warga asli Jogja yang tersisih dari pusat-pusat kapital (baik itu sebab usia, pendidikan, ataupun modal).

Ketimpangan dapat disaksikan di setiap pinggir jalanan Jogja. Sebab, Jogja pada dasarnya adalah kampung yang ter-kota-kan. Jumlah perumahan di Jogja jauh lebih sedikit dibanding Bekasi.

Di Jogja, tukang becak, mbah-mbah kuli panggul dan pekerjaan informal sejenisnya terlihat tidak sebagai korban ketimpangan, sebab profesi-profesi itu membaur dengan estetika suasana wisata Jogja.  Sedangkan ketimpangan di Bekasi tak terselubung apa-apa, hanya tergeletak di sudut-sudut tanah sisa perumahan begitu saja―meski kadang diasporanya menampakkan diri di parkiran minimarket, pasar kelurahan, ataupun sudut ATM.

Ketimpangan di Jogja dapat terangkul dengan baik berkat mahasiswa. Meski sebagian dari mereka adalah kelas menengah yang belum dewasa secara finansial (mampu membeli barang tapi kadang rela tak makan), namun kelekatan mereka dengan dunia literasi telah menumbuhkan empati sosial atas potret ketimpangan yang mereka saksikan sehari-hari. Maka diberikanlah berbagai rupa bantuan melalui berbagai macam upaya dan kanal.

Di Bekasi, rangkulan sejenis itu sulit untuk ditemukan. Kesibukan kerja dan terkotaknya sebuah komunitas oleh pagar adalah dua hambatan yang signifikan. Iklim kepemudaan juga tentu tak bisa dibandingkan dengan Jogja.

Di Bekasi, Milenial dan Gen Z lebih banyak beraktifitas di rumah dibanding di pusat kegiatan sosial. ‘berada di rumah’ punya tiga kemungkinan konotasi: (1)sedang menikmati liburan setalah berbulan-bulan merantau (kuliah di luar kota); (2)lelah sebab baru pulang kerja di area terdekat; atau (3)membantu ekonomi keluarga sebab keterbatasan privilege. Empati sosial mungkin ada, namun tertahan di dalam dan tak menetes ke kelompok-kelompok yang membutuhkan.

Sebagai penutup. Di Jogja, sirkulasi makanan yang inklusif dapat terjadi berkat kerja komunitas yang terintegrasi dengan ruang hidup. Kelompok yang membutuhkan bantuan kemudian dapat tercakup sebagian besar. Di Bekasi, sempitnya sirkulasi makanan terjadi karena kurang ramahnya ruang hidup dan eksklusifnya kanal empati dan kepercayaan sosial. Sebagian besar kelompok yang membutuhkan bantuan akhirnya tak tercakup dalam arus sirkulasi makanan.

Takjil yang kita makan setiap magrib hanya datang dari dua kemungkinan sumber: dari privilege, atau dari kebaikan ruang hidup.