Bahasa dan budaya itu dinamis. Telah terjadi pertemuan antar bangsa, baik lewat jalur perdagangan ataupun lainnya, yang membuat terjadinya penyerapan bahasa maupun percampuran budaya. Termasuk juga bahasa Arab. Dan karena al-Qur’an turun dalam bahasa Arab, maka penyerapan berbagai istilah dan nama non-Arab pun ikut terserap ke dalam kosa kata al-Qur’an.
Apakah dengan demikian ada bahasa non-Arab di dalam al-Qur’an? Saya kutip penjelasan Tafsir al-Qurthubi:
لَا خِلَافَ بَيْنَ الْأَئِمَّةِ أَنَّهُ لَيْسَ فِي الْقُرْآنِ كَلَامٌ مُرَكَّبٌ عَلَى أَسَالِيبَ غَيْرِ الْعَرَبِ، وَأَنَّ فِيهِ أَسْمَاءٌ أَعْلَامًا لِمَنْ لِسَانُهُ غَيْرُ الْعَرَبِ، كَإِسْرَائِيلَ وَجِبْرِيلَ وَعِمْرَانَ وَنُوحٍ وَلُوطٍ. وَاخْتَلَفُوا هَلْ وَقَعَ فِيهِ أَلْفَاظٌ غَيْرُ أَعْلَامٍ مُفْرَدَةٍ من كلام غير الْعَرَبِ، فَذَهَبَ الْقَاضِي أَبُو بَكْرِ بْنُ الطَّيِّبِ وَالطَّبَرَيُّ وَغَيْرُهُمَا إِلَى أَنَّ ذَلِكَ لَا يُوجَدُ فِيهِ، وَأَنَّ الْقُرْآنَ عَرَبِيٌّ صَرِيحٌ، وَمَا وُجِدَ فِيهِ مِنَ الْأَلْفَاظِ الَّتِي تُنْسَبُ إِلَى سَائِرِ اللُّغَاتِ إِنَّمَا اتُّفِقَ فِيهَا أَنْ تَوَارَدَتِ اللُّغَاتُ عَلَيْهَا فَتَكَلَّمَتْ بِهَا الْعَرَبُ وَالْفُرْسُ وَالْحَبَشَةُ وَغَيْرُهُمْ، وَذَهَبَ بَعْضُهُمْ إِلَى وُجُودِهَا فِيهِ، وَأَنَّ تِلْكَ الْأَلْفَاظَ لِقِلَّتِهَا لَا تُخْرِجُ الْقُرْآنُ عَنْ كَوْنِهِ عَرَبِيًّا مُبَيِنًا، وَلَا رَسُولَ اللَّهِ عَنْ كَوْنِهِ متكلما بلسان قومه، فالمشكاة: الكوة وو نشأ: قَامَ مِنَ اللَّيْلِ، وَمِنْهُ” إِنَّ ناشِئَةَ اللَّيْلِ” و” يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ” أي ضعفين. و” فَرَّتْ مِنْ قَسْوَرَةٍ” أَيِ الْأَسَدِ، كُلُّهُ بِلِسَانِ الْحَبَشَةِ. وَالْغَسَّاقُ: الْبَارِدُ الْمُنْتِنُ بِلِسَانِ التُّرْكِ. وَالْقِسْطَاسُ: الْمِيزَانُ، بِلُغَةِ الرُّومِ. وَالسِّجِّيلُ: الْحِجَارَةُ وَالطِّينُ بِلِسَانِ الْفُرْسِ. وَالطُّورُ الْجَبَلُ. وَالْيَمُّ الْبَحْرُ بِالسُّرْيَانِيَّةِ. وَالتَّنُّورُ: وَجْهُ الْأَرْضِ بِالْعَجَمِيَّةِ.
قَالَ ابْنُ عَطِيَّةَ:” فَحَقِيقَةُ الْعِبَارَةِ عَنْ هَذِهِ الْأَلْفَاظِ أَنَّهَا فِي
الْأَصْلِ أَعْجَمِيَّةٌ لَكِنِ اسْتَعْمَلَتْهَا الْعَرَبُ وَعَرَّبَتْهَا فَهِيَ عَرَبِيَّةٌ بِهَذَا الْوَجْهِ.
Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan pendapat bahwa al-Qur’an berisikan kata yang disusun dari term dan nama yang berasal dari non Arab. Misalnya: Israil, Jibril, Imran, Nuh dan Lut.
Namun demikian mereka berbeda pandangan apakah ada kata lain yg non-Arab? Imam Qurtubi menyebut nama Qadhi Ibn at-Thayyib, at-Thabari dan ulama lainnya yang percaya bahwa al-Qur’an itu murni berbahasa Arab dan tidak ada kata lain yg non Arab dalam al-Qur’an.
Kalaupun ada kata yg tersusun dari bahasa non Arab, menurut mereka, itu hanya kesamaan saja antara bahasa Arab dan non Arab seperti Habasyah, Persia dan lainnya.
Imam Qurtubi juga menyebutkan bahwa ada pula yang berpendapat kalaupun ada kosa kata non Arab jumlahnya hanya sedikit dan tidak menghapus kenyataan bahwa al-Qur’an murni berbahasa Arab.
Imam Qurthubi kemudian menyebutkan beberapa contoh kosa kata tersebut seperti Misykat (QS 24:35), Nasya-a (QS 73:6), Qaswarah (QS 74:51). Ini contoh kosa kata yang berasal dari Habasyah (Ethiopia).
Imam Qurthubi juga menyebut al-Ghassaq (QS 38:57) dari Turki, Qisthas (QS 17:35) dari Romawi. Sijjil (QS 21:104) dari Persia. Dan contoh-contoh lainnya.
Imam Qurthubi kemudian mengutip Ibn ‘Athiyyah yang mengatakan: “hakikatnya adalah kosa kata tersebut asing namun orang Arab telah menggunakannya dan mengarabkannya. Jadi kosa kata itu juga dianggap bahasa Arab.”
Mungkin untuk memahami penjelasan di atas kita bisa lihat sendiri dengan bahasa Indonesia yang seringkali telah bercampur dengan bahasa asing dan kemudian kita gunakan sehari-hari dan menjadi bahasa Indonesia. Misalnya kata rakyat, musyawarah, wakil, tunggal, mutakhir, adil, introspeksi, dan lain sebagainya. Ada yang diserap dari bahasa Arab, Inggris, sanskrit, melayu dan lainnya.
Sekali lagi itu menunjukkan betapa dinamisnya bahasa itu.
Nah, satu hal yang tidak disebut dalam penjelasan kitab Tafsir al-Qurthubi di atas, ternyata ada juga bahasa Nusantara yang diadopsi dalam al-Qur’an.
إِنَّ الْأَبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur (QS 76: 5).
Sejak abad 4 Masehi (atau lebih awal lagi), kapur barus yang berasal dari daerah Barus di Sumatera telah terkenal di dunia Arab dan Asia. Maka itulah sebabnya al-Qur’an mengdopsi kata “kafur” ini. Al-Qur’an menyebutkan bahwa penduduk surga kelak akan minum dari mata air di surga yang airnya seputih, sewangi, dan sedingin kapur barus, tapi tidak rasa dan bahayanya.
Penjelasan di atas diperoleh dari Tafsir ar-Razi:
أَنَّ الْكَافُورَ اسْمُ عَيْنٍ فِي الْجَنَّةِ مَاؤُهَا فِي بَيَاضِ الْكَافُورِ وَرَائِحَتِهِ وَبَرْدِهِ، وَلَكِنْ لَا يَكُونُ فِيهِ طَعْمُهُ وَلَا مَضَرَّتُهُ
Dahulu kafur ini komoditi yang sangat mahal (konon seharga emas) dan dicari oleh banyak pihak. Kafur digunakan sebagai wewangian, bumbu masak, bahkan untuk obat-obatan. Di surga kelak, minuman yang dicampur dengan kafur inilah yang dihidangkan untuk orang-orang beriman. Kafur ini menjadi simbol kemewahan. Interaksi awal perdagangan antara wilayah Nusantara dengan dunia Arab bisa dilacak dari diserapnya kosa kata ini ke dalam tradisi Arab, sehingga turut pula masuk dalam bahasa al-Qur’an.
Saat ini kapur barus di tanah air dikenal dengan camphor atau kamper. Masih dipakai untuk wewangian di dalam lemari pakaian. University of Texas dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa kamper bisa menyembuhkan batuk, gatal-gatal di kulit, dan bisa pula membantu untuk menumbuhkan rambut untuk pria gundul, serta manfaat lainnya. Bahkan ada yg mencampurnya ke dalam teh untuk meraih efeknya. Namun para peneliti mengingatkan bahayanya bila konsumsinya tidak terkontrol.
Sampai di sini kita menyadari bahwa bukan saja relasi antara Nusantara dengan Arab sudah terjadi sebelum masa turunnya wahyu al-Qur’an, tapi juga begitu dinamisnya bahasa (dan juga budaya) itu. Kosa kata Arab diserap dalam bahasa Indonesia, sementara kosa kata dari Nusantara malah diadopsi dan diabadikan dalam al-Qur’an.